Rabu, 02 Februari 2011

KISAH 47 RONIN


Judul asli: THE 47 RONIN STORY by John Allyn
PENDAHULUAN


Di awal abad ke-18, Jepang dilanda kekacauan. Pada masa itu, istana Shogun yang berada di Edo (sekarang Tokyo), marak dengan pameran kemewahan, korupsi, serta pesta-pora di kota tua Kyoto. Sama sekali jauh dari aturan sosial. Kesenian makin berkembang; teater populer mulai lahir. Dengan makin berkuasanya kias pedagang, masa itu juga merupakan awal dari berakhirnya pengaruh prajurit bayaran, atau samurai. Hilangnya pengaruh ini sangat mereka rasakan, terutama karena para samurai sangat membenci segala bentuk usaha yang bertujuan mencari keuntungan.
Di tengah perubahan yang membingungkan itu, kekacauan sering muncul. Kekacauan utama terjadi akibat petani dikenakan pajak di luar batas kemampuan mereka oleh Shogun, penguasa di seluruh Jepang. Samurai jarang sekali menimbulkan kekerasan, suatu sikap yang merupakan bentuk penghormatan atas tingginya latihan serta disiplin mereka.
Namun balikan seorang samurai pun memiliki batas kesabaran. Khususnya bagi seorang daimyo muda yang terpaksa harus berurusan dengan tradisi istana yang sama sekali tak bermanfaat.
Peristiwanya terjadi di Edo tahun 1701. Dalam keadaan marah dan kecewa,

Lord Asano dari Ako menyerang seorang pejabat istana yang korup sehingga memicu serangkaian peristiwa yang berakhir dengan balas dendam paling berdarah dalam sejarah kekaisaran Jepang. Rangkaian peristiwa ini mengejutkan seluruh negeri sehingga Shogun pun menghadapi kebuntuan hukum dan moral. Ketika semuanya berakhir, Jepang memiliki pahlawan baru - yaitu empat puluh tujuh ronin (mantan samurai) dari Ako.
Fakta sejarah atas tindakan mereka sangat jelas; tapi keterangan rinci tentang peristiwa itu sangat kabur. Berbagai versi telah dikisahkan dalam bentuk lagu, cerita, drama dan film.
Buku ini dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah catatan tentang apa yang mungkin terjadi di masa itu, ketika Jepang
dikucilkan oleh dunia dan tradisi lama masih mengatur kehidupan manusia.*

SATU


13 Maret, 1701.
Matahari yang mulai tenggelam membuat perairan di sekeliling kepulauan Jepang memerah. Di barat daya, di jalan dekat Laut Pedalaman, seorang laki-laki tinggi menunggang kuda yang tidak terawat. Dia melindungi mata dari sinar matahari sambil berkuda melewati hutan pinus.
Namanya Oishi Kuranosuke Yoshitaka; kepala samurai Klan Asano. Dia dalam perjalanan kembali ke kastil di Ako setelah berkeliling kota bersama putri majikannya yang menunggang kuda poni di sebelahnya. Surai kuda poni itu dibiarkan panjang tanpa dipotong.
Mereka merupakan pasangan yang aneh. Oishi adalah laki-laki tampan berumur empat puluhan dengan dahi menonjol, rahang persegi, dan sikap yang tenang berwibawa. Rambut, sarung hakama serta dua bilah pedang menunjukkan bahwa dia samurai, kias ksatria. Sedangkan anak itu mungil dan periang, bercahaya laksana kupu-kupu dalam balutan kimono dan obi. Keduanya tampak nyaman. Si gadis merasa terbebas dari disiplin ketat yang diterapkan orangtuanya; sedangkan Oishi merasa bebas bersama anak kecil, terutama anak orang lain, untuk melepas sikap resmi dan bahkan sedikit bercanda.
Sekarang, dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara seperti sebelumnya. Oishi terkejut dengan apa yang dilihatnya di kota.
Seumur hidupnya Oishi selalu menentang kekerasan sesuai ajaran Budha, meskipun kadang dia terpaksa membunuh untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, atau membunuh hewan untuk mendapat makan. Secara pribadi, dia menyesalkan kekejaman yang terjadi dalam pertandingan memanah anjing dan
dia tidak keberatan bila olahraga semacam itu dilarang. Akan tetapi, Undang-Undang Pelestarian Hidup yang dikeluarkan Shogun ternyata sangat merugikan. Sekarang ini binatang lebih beruntung dibanding manusia, dan ini membuat negeri berada di tepi jurang kekacauan ekonomi.
Di kota, Oishi melihat petani yang dulu sangat berhasil kini mengemis mencari kerja karena dilarang membunuh hama yang merusak tanaman. Serigala, musang, burung dan serangga berkeliaran dengan bebas di ladang, sementara petani hanya dapat melihat tanpa dapat berbuat apa-apa.
Oishi tahu bahwa unggas diperdagangkan secara diam-diam di ruang belakang beberapa toko terkenal, namun pelanggaran atas undang-undang ini hanya sedikit. Bukan saja karena perangkat administratif pemerintahan Shogun sangat berhasil dalam menangkap para pelanggar hukum, tapi juga karena denda bagi mereka yang melukai makhluk hidup sangat besar. Dan bila membunuh binatang, "pelaku kejahatan" itu akan dihukum mati.
Ada golongan lain yang senasib dengan petani. Para pemburu, pemasang jerat, dan penyamak kulit juga beramai-ramai memenuhi kota untuk mencari nafkah. Dan yang membuat mereka tidak berdaya adalah lapangan kerja yang tersedia sangat sedikit sementara harga makanan tak terjangkau oleh rakyat biasa karena hasil panen tidak mencukupi. Satu-satunya yang bisa diperoleh dengan murah adalah gadis untuk menemani tidur karena makin banyak petani yang menjual anak gadis mereka ke rumah pelacuran.
Oishi sering menyusuri pusat-pusat hiburan itu ketika menemani putri Lord Asano berkeliling kota, tapi kini rumah pelacuran telah menyebar hingga ke jalan utama.
Sebenarnya, golongannya kurang merasakan kesulitan ekonomi ini, tapi dampak dari keputusan Shogun memengaruhi mereka dalam bentuk lain.
Kini tak ada lagi latihan atau pertandingan memanah karena mereka tak boleh mencabuti bulu angsa untuk panah. Juga tak ada
lagi lomba burung elang karena semua burung harus dilepas bebas. Bahkan Burung Elang Utama milik Shogun pun dilepas. Lomba ketangkasan berkuda menjadi seni yang hilang karena kuku kuda tidak boleh dipotong dan surainya tidak boleh dipangkas. Dan, menurut Oishi, yang paling parah dari semua itu adalah menurunnya nilai-nilai moral yang menyebar mulai dari ibukota Shogun hingga ke propinsi.
Dia mendengar berbagai laporan bahwa tari-tarian dan sandiwara yang membanjiri ibukota Shogun Tokugawa Tsunayoshi mulai memengaruhi samurai di kota ini. Dia bahkan mendengar desas-desus bahwa ada samurai yang datang ke teater kabuki di Kyoto, kota hiburan sekaligus kota kuil, meskipun dia tidak memercayai berita ini.
Sebenarnya hal itu sudah berlangsung beberapa lama, tapi Oishi belum menyadari betapa hal-hal buruk telah merambah sampai ke kota ini. Saat memikirkan laporan yang akan disampaikan pada Lord Asano, dia menoleh ke gadis kecil yang berkuda di sampingnya. Gadis itu tersenyum kepadanya tapi kemudian terlihat lebih serius. Sang anak juga telah memerhatikan perubahan yang terjadi di daerah.
"Paman," tanyanya "mengapa pertanian ini tidak dirawat? Apakah tidak sebaiknya Paman laporkan pada ayah karena para petani tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya?"
Oishi tertawa perlahan. Belum sempat dia menjawab, gadis cilik itu melanjutkan, "Mungkin sebaiknya kita jangan menyalahkan para petani sebelum mendengar penjelasan mereka. Tapi apa alasan mereka menelantarkan ladang seperti itu?"
"Mereka terpaksa, gadis kecil, karena berdasarkan Undang-Undang Pelestarian Hidup, mereka dilarang membunuh binatang yang merusak ladang."
"Kenapa ada larangan membunuh binatang -terutama yang benar-benar mengganggu?"
"Karena Shogun sudah melarang membunuh binatang. Dan, karena kami setia pada ayahmu sehingga kami tak berpikir untuk mempermalukan beliau dengan melanggar perintah pemimpin-nya, yaitu Shogun."
"Tapi kenapa dia membuat undang-undang yang keras itu?"
Oishi menghela napas panjang. Walaupun menyakitkan, dia bisa memahami alasan Tsunayoshi memberlakukan undang-undang itu.
"Karena dia sangat ingin punya anak. Anak manis sepertimu. Kau tahu, dia pernah kehilangan seorang anak - putranya yang berusia empat tahun meninggal dunia. Dan pendetanya mengatakan bahwa untuk bisa punya putra lagi, dia harus bertobat - mungkin dia pernah menghilangkan nyawa beberapa makhluk hidup. Kau sudah tahu kalau kita tidak lagi menggunakan anjing dalam pertandingan - itu karena Shogun dilahirkan pada Tahun Anjing, Sekarang, membunuh anjing akan dihukum mati."
"Walaupun saat kita diserang?"
Oishi diam beberapa saat. "Dalam hal itu, membunuh anjing mungkin dapat dibenarkan - tapi akan lebih baik bila ada saksi bahwa anjing itu yang menyerang lebih dulu."
Oishi tersenyum. Si gadis membalas senyumnya, meskipun tidak yakin apakah Oishi bergurau atau tidak. Dia memutuskan untuk menaijyakan hal ini bila ayahnya sudah kembali dari Edo.
Sambil berteriak, dia menghentakkan kaki ke panggul kuda yang segera berlari kencang. "Aku akan mendahului Paman sampai di rumah," teriaknya yang sudah sepuluh langkah di depan Oishi. Rambut panjangnya yang tergerai melambai-lambai.
Oishi berteriak dahsyat laksana seorang ksatria yang hendak menyerang lalu berpacu mengejar gadis itu. Dia tetap mempertahankan jarak, dan bersama-sama mereka melewati jalan berliku menuju bukit terakhir. Dari puncak bukit mereka dapat melihat kastil yang jauh di bawah, di tengah dataran yang luas. Letak kastil begitu strategis hingga penyerang takkan dapat mendekat tanpa diketahui. Pemandangan itu selalu tampak luar
biasa, dengan tembok yang tinggi serta menara yang beratap putih. Namun kali ini mereka tidak berhenti untuk mengagumi keindahan tersebut.
Matahari yang terbenam memantulkan bayangan panjang saat mereka berlomba menuruni bukit menuju kastil. Terlintas di benak Oishi bahwa bila matahari yang sama terbit kembali esok pagi, maka itu akan menjadi awal dari hari terakhir Lord Asano di Edo. la berharap seluruh upacara akan berjalan lancar di ibukota Shogun. Ketika si gadis memasuki gerbang, dan Oishi mengikuti dari belakang untuk menerima penghormatan dari penjaga, pikiran itu datang lagi; besok akan menjadi hari terakhir Lord Asano di Edo.*

DUA

Fajar yang dingin tiba menyelimuti Edo, ibukota Jepang kuno. Hari itu akan menjadi hari yang suram tanpa matahari. Angin dingin yang bertiup dari puncak gunung yang bersalju menghentak atap rumah di daerah pinggiran kota, menghembuskan debu di sepanjang jalan pos dari barat daya lalu memasuki kota.
Dalam perjalanannya, angin membawa serta bau kotoran manusia dari daerah persawahan, bau batu bara dari dapur, serta bau garam dari perairan asin di Lembah Edo.
Angin kehilangan kekuatannya di dataran rendah saat melewati lorong-lorong sempit yang berkelok-kelok di antara bangunan-bangunan kayu yang merupakan tempat tinggal dan tempat usaha bagi sekitar tujuh ratus ribu pedagang dan seniman. Di atas atap bangunan, angin terus bertiup keras ke dataran tinggi di tengah kota, menukik menyeberangi saluran air yang terbuat dari susunan batu lalu melewati menara-menara pengawas dan istana-istana di Kastil Edo tempat Shogun Tsunayoshi, pemimpin tertinggi.
Angin berhembus begitu kencang hingga menimbulkan bunyi keras. Menyapu pemakaman dan lapangan tempat pelaksanaan hukuman mati. Deru angin membuat seekor anjing kampung menyalak lalu diikuti anjing lain. Deru angin kian kencang dan
menakutkan ketika berhembus melewati gubuk para pengemis dan istana-istana bangsawan, memekakkan telinga baik orang miskin maupun kaya....
Lord Asano bersama Oishi sedang berkuda di padang rumput yang berkabut. Mereka melompati bangkai seekor babi hutan yang selalu mengancam para petani. Ketika mereka masuk ke kabut yang tebal, suara yang menakutkan membuat kuda Lord Asano gelisah. Oishi berhenti di belakangnya, tapi dengan tidak sabar Lord Asano semakin memacu kuda dan menghilang dari pandangan.
"Tuanku Asano!" teriak Oishi dengan rasa kuatir, "kembalilah, kembali!"

Rasa bangga Lord Asano takkan membuatnya berbalik dan kembali. Dia terus maju menembus kabut sampai bunyi yang aneh itu berubah menjadi lengkingan lalu terdengar lolongan yang memekakkan telinga. Dia merasakan kengerian yang mencekam ketika makin terbawa suara itu dan kehilangan arah. Dalam kabut putih yang menyilaukan itu, dia tak bisa melihat sehingga kehilangan keseimbangan lalu jatuh. Suara itu makin keras. Dia tahu bahwa dia harus berjuang untuk tetap hidup dan melepaskan diri dari setan-setan yang sedang menantinya. Dia berteriak minta tolong, dan pada saat itulah dia terbangun. Ternyata dia berada di rumah peristirahatannya yang terletak di dekat kastil Shogun. Lolongan anjing itu menghilang terbawa angin.
"Suamiku!" teriak istrinya ketika dia bangkit melihat suaminya hendak menarik pedang yang ada di sampingnya. "Ada apa?"
Setelah benar-benar terbangun, Lord Asano lalu menggelengkan kepala dan melempar pedangnya. "Anjing itu," gumamnya. "Anjing-anjing sialan itu."
"Kembalilah tidur," kata istrinya dengan senyum menenangkan. "Seharusnya kau sudah mulai terbiasa dengan mereka."
"Aku takkan terbiasa dengan lolongan anjing-anjing itu dan semua yang berhubungan dengan tempat suram ini."
"Satu hari lagi," istrinya mengingatkan. "Setelah itu kita akan kembali ke Ako."
"Satu hari lagi," ulangnya dengan nada penuh harap sekaligus sedih. "Satu hari lagi yang tidak menyenangkan."
la berusaha kembali tidur namun jantungnya masih berdebar karena mimpi buruk. Matanya tak bisa terpejam. Dengan gelisah dia menatap mentari pagi yang menyelinap melalui tirai. Lord Asano mengeluh dan keluar dari selimut tebalnya lalu berdiri dengan menggigil dalam pakaian dalam, la mengenakan jubah tebal, mendorong pintu kertas lalu berjalan keluar di lorong yang dingin.
Dia berjalan dengan langkah panjang di lantai kayu yang licin akibat tergosok kaus kaki orang yang melewatinya. Satu sisi lorong itu ditopang tiang kayu cedar wangi yang dibatasi papan shoji yang dicat; di sisi yang lain ada kerai untuk memisahkan koridor dari taman yang ada di luar, dan Lord Asano menggigil saat angin menggoyangkan tirai-tirai itu. Dia seakan kembali mendengar gonggongan anjing dalam mimpinya tadi.
Dia membuka pintu sorong menuju dapur lalu melangkah masuk. Dapur itu besar, lantainya terbuat dari papan dengan perapian dari tanah liat yang tertanam di dalam lantai. Dua orang samurai yang berasal dari rombongannya sedang duduk menghangatkan diri. Ketika dia mendekat sambil menggumamkan salam, mereka langsung berlutut dan membungkuk.
Kataoka, samurai yang kurus tapi kuat dengan wajah mirip kera, hendak bergurau, tapi mengurungkan niatnya setelah melihat wajah majikannya. Lord Asano adalah orang yang kaku, namun pagi ini dia kelihatan lebih kaku dari biasa. Samurai yang lain berwajah garang berumur lima puluhan. Namanya Hara. Matanya sayu dan kurang cerdik; dia hanya mengikuti sikap Kataoka yang duduk dengan posisi bersila di tepi perapian ketika sang majikan duduk.
"Kau tidak perlu bangun sepagi ini," kata Lord Asano pada Hara. "Aku hanya memerlukan Kataoka hari ini, dan yang akan dia lakukan hanyalah berdiri di luar kastil sambil memandangi menara dan melamun tentang rumahnya."
Hara menggerutu dan melirik sebentar, kemudian menunduk kembali lalu mengangkat mangkuk nasi dan makan. Kataoka menunduk sambil menyeringai seperti kera, senang atas kehormatan itu, tapi kemudian dia terbatuk karena asap perapian yang menyerbu wajahnya. Saat Lord Asano meraih teko yang tergantung di atas perapian, asap masuk ke matanya hingga dia memaki sambil mengembalikan teko ke tempatnya.
"Mimura!" dia memanggil, dan bunyi langkah yang diseret dari dapur kecil menandakan bahwa Mimura mendengar panggilannya.
Pelayan itu, pemuda bertubuh tinggi dan kaku, cepat-cepat memasuki dapur dan menunduk ke arah majikannya. Saat mengangkat kepala, dia melihat asap yang menyebar ke segala arah, tidak ke lubang asap. Dia segera meraih ke dalam tungku untuk mengambil kayu bakar berwarna hijau yang menyebabkan asap.
"Siapa yang meletakkan kayu itu di sana?" tanya Lord Asano dengan marah. "Kau seharusnya lebih tahu, Mimura. Tidak bisakah kau bantu mengawali hari yang suram ini dengan lebih baik?"
Mimura memohon maaf dalam kata-kata yang sangat sopan dan menggumam soal kebodohan pelayan api yang baru. Setelah itu dia berjalan ke pintu dapur kecil lalu memanggil.
Setelah beberapa kali memanggil barulah pelayan itu datang. Mimura memarahi atas kelalaian pelayan itu, tapi jika dia mengharapkan permintaan maaf maka dia akan kecewa. Pelayan itu, dengan suara keras, mengatakan bahwa Mimura dapat menyalakan perapian jika tidak banyak bicara, lalu dia pergi sambil membanting pintu dapur.
Semua yang berada dekat perapian kaget. Hara langsung berdiri dan mengambil pedang.
"Apa maksudnya bicara seperti itu?" serunya sambil melangkah ke pintu dapur.
"Jangan, tunggu," kata Lord Asano pelan namun berwibawa. "Dia hanya anak-anak. Lagi pula, kau akan mendapat masalah bila
melukai anak itu. Hukum di sini berbeda; kita tidak bisa bertindak seperti di daerah kita."
"Tapi menghina pelayan Anda berarti menghina Anda," Hara bersikeras. "Setidaknya aku potong lidahnya, bila Anda tidak mengizinkan aku memenggal kepalanya."
"Duduk dan minumlah teh. Kau harus mulai belajar kebiasaan di Edo. Di sini, kedatangan dan kepergian daimyo dari berbagai propinsi adalah hal yang biasa sehingga mereka tidak takut, bahkan bagi seorang pelayan."
Masih menggerutu, Hara menyingkirkan pedangnya lalu duduk. Dia memerhatikan dengan hati-hati ketika Mimura membuka pintu dapur kecil dan melangkah keluar. Tak lama kemudian terdengar bunyi tamparan dan teriak kesakitan. Hara tersenyum ketika Kataoka tertawa keras.
"Itu akan membuat monyet kecil itu kapok," teriaknya dan menyeringai mirip kera. Yang lain tertawa dan Kataoka senang bahwa dia telah membantu majikannya terhibur, walaupun hanya untuk sesaat.
"Seandainya orang Edo tidak susah diatur," kata Lord Asano sambil menghela napas dan mengambil nasi. "Terutama dengan mereka yang memiliki sedikit kekuasaan."
Kedua samurai saling pandang. Mereka tahu maksud majikan mereka.
"Semua pesolek istana seharusnya disingkirkan," Hara menggeram, dan Kataoka mengangguk setuju. "Mereka berbicara dan berpakaian seperti perempuan, dan sama-sama merepotkan."
"Tapi, semuanya akan berakhir besok," kata Lord Asano. "Setelah itu kita pulang ke Ako dan melupakan tempat ini. Coba pikirkan bagaimana rasanya ketika daimyo seperti ayahku harus tinggal di sini selama enam bulan setiap tahun."
Mereka setuju bahwa aturan yang sekarang ini lebih baik daripada dulu, dan mereka pun makan. Dengan sedih Hara menatap mangkuknya dan Lord Asano tahu apa yang sedang dia pikirkan.
"Setidaknya dulu kita bisa makan nasi dengan sedikit daging dan ikan, bukan begitu Hara? Yah, mungkin kelak kita bisa makan daging dan ikan lagi bila Undang-undang Pelestarian Hidup dibatalkan. Undang-undang itu mungkin menguntungkan binatang tapi tidak untuk kita, manusia." Dia meletakkan mangkuk dan menghela napas lagi. "Sebagian besar undang-undang tampaknya hanya dimaksudkan untuk menyiksa kita. Dan peraturan istana soal etika tak bisa kumengerti. Seandainya aku tak bergantung pada perintah orang seperti Kira!"
Dia mengutuk orang itu. Sekali lagi Hara dan Kataoka saling menatap dengan cemas. Mereka tahu kalau sang majikan takkan menjelaskan masalah ini - tak pantas baginya untuk mengutarakan keprihatinan pribadinya pada mereka - tapi mereka tahu bahwa Kira, Pemimpin Upacara Istana, membuat Lord Asano menjadi susah. Dan mereka juga tahu tak ada yang dapat mereka lakukan.
Nama Kira tertancap di benak Lord Asano seperti tulang yang tersangkut di tenggorokannya. Dia tak pernah menikmati kunjungan ke tempat ini. Tapi kali ini dia terpaksa turut dalam tugas resmi, bukan sekadar penonton, dan harus selalu berhubungan dengan bawahan Shogun. Sebenarnya Kira bukan daimyo, karena dia tidak punya wilayah dan juga bukan penguasa. Tapi kenyataan bahwa dia pernah diutus ke Kyoto untuk belajar tata upacara di istana Kaisar telah memberi gengsi dan kekuasaan yang dimanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan lewat suap dari orang yang terpaksa belajar darinya.
Malam sebelumnya Lord Asano sudah menulis surat tentang Kira untuk kepala pengawalnya, Oishi. Dalam suratnya, Lord Asano seolah ingin menawarkan saran soal cara bersikap di kota itu.
"Kau harus berhati-hati pada Kira. Dia menikmati kepercayaan Shogun dan seolah dia orang yang setia, tapi sebenarnya dia suka meminta suap serta memanfaatkan jabatannya. Tampaknya hanya
ada satu cara bila berurusan dengan orang seperti itu, yaitu ikut dalam permainannya, tapi aku menolak cara seperti itu meskipun Kira selalu menyulitkan aku. Tapi, tak peduli apa yang terjadi, aku takkan membayar jasanya yang sudah seharusnya disediakan Shogun. Mungkin ini sikap keras kepala, tapi sepengetahuanku, ini sikap terhormat yang harus dilakukan para samurai. Mungkin aku takkan bisa mengembalikan kemerosotan yang telah melingkupi istana, tapi setidaknya aku akan berusaha bertahan semampuku."
Dia ragu bahwa kata-katanya dapat dianggap sebagai nasihat, tapi setidaknya dia dapat mengeluarkan isi hatinya.
Dia menyelesaikan makan dan bangkit sambil menghela napas.
"Sudah waktunya memakai pakaian 'badut','" katanya pada Kataoka. Mereka lalu keluar dari dapur sementara Hara duduk dengan perasaan marah pada kekuatan yang telah membuat majikannya risau.
Di kastil, Kira juga bangun pagi. Sebagai Pemimpin Upacara untuk semua acara di istana, dia wajib tampil tak tercela, baik dalam berpakaian maupun dalam bersikap. Jubah yang disediakan untuknya memiliki gaya yang sama dengan para daimyo dan pejabat istana yang datang, namun warna hitam gelap dengan hiasan warna putih di bagian atas lengannya yang sangat lebar membuat penampilannya menonjol.
Kira selalu berusaha terlihat lebih tua agar, menurutnya, itu akan membuatnya lebih bermartabat. Namun, selain dua garis di dahi, tidak ada keriput di wajahnya. Badannya yang gemuk pun masih terlihat kuat dan gesit. Giginya, sesuai kebiasaan mutakhir, dihitamkan agar pada saat bicara, orang hanya akan melihat lubang gelap yang tidak bergigi.
Saat ini Kira mencemaskan sikap salah seorang daimyo. Lord Asano adalah samurai yang dididik dengan cara lama dan tidak tahu kalau menyuap orang yang tepat akan menguntungkan. Dan karena alasan inilah dia menjadi ancaman bagi gaya hidup Kira.
Sudah tiga hari Kira mencoba lewat bujukan, isyarat dan akhirnya lewat penghinaan untuk menyampaikan pada Lord Asano bahwa sudah biasa memberi uang kepada Pemimpin Upacara atas jasa-jasanya. Kira khawatir sikap Lord Asano itu akan membawa pengaruh buruk. Gajinya sebagai pegawai istana tidaklah besar dan dia tak ingin kehilangan satu pun keuntungan tambahan karena sikap keras kepala Lord Asano. Dia mencari untuk menyingkirkan daimyo ini. Sejak dulu dia selalu mendapatkan keinginannya dari para bangsawan muda dan dia bertekad bahwa sekarang pun bukan pengecualian.
Seorang pelayan datang dengan terengah-engah dan memberitahukan bahwa Shogun Tsunayoshi ingin bertemu. Kira cepat-cepat memakai jubah sambil mengumpat karena tidak bisa berpakaian dengan santai. Lalu, dengan tergesa-gesa dia keluar dan menyeberangi halaman menuju istana sambil memikirkan apa yang mengganggu Shogun di pagi hari seperti ini.
Selama dua puluh satu tahun memerintah, Tsunayoshi memiliki semua alasan untuk merasa senang. Tidak ada pemberontakan, terutama karena para pendahulunya telah bersungguh-sungguh menyatukan negeri ini. Pertama dengan menaklukkan lalu menempatkan penguasa di lokasi yang strategis untuk saudara sedarah. Para pendahulunya juga telah membantu mengusir orang asing kecuali sekelompok kecil pedagang Belanda di pulau yang terletak di ujung selatan. Pengaruh Kristen tetap hidup selama beberapa waktu setelah pengusiran. Tapi enam puluh tahun sebelumnya, di Shimabara, pembunuhan besar-besaran atas mereka yang menyimpang telah membuat negeri itu terbebas dari gangguan kecil seperti itu.
Kini, setelah bertahun-tahun dalam kedamaian, kota-kota dan kesenian makin berkembang, dan para pedagang kian maju. Memang benar harga beras makin mahal karena kurangnya pasokan dari petani, namun secara keseluruhan Tsunayoshi bebas dari berbagai masalah kenegaraan yang berat.
Saat Kira masuk dengan napas lebih terengah-engah dari yang seharusnya, dia dapat melihat Tsunayoshi sedang gelisah. Kira membungkuk serendah mungkin lalu mengangkat kepala untuk melihat laki-laki kurus tinggi berusia lima puluh tahun yang sedang mondar-mandir di ruang penerimaan tamu.
Ternyata, yang menjadi perhatian Tsunayoshi bukan masalah kenegaraan yang berat, melainkan tentang kelompok tarinya. Tsunayoshi yang memilih dan melatih anak-anak itu dan berkeinginan agar mereka bisa tampil sebaik mungkin. Dia ingin Kira memanggil para penari ke Ruang Seribu Tikar secepat mungkin agar dapat berlatih lagi sebelum tamu kehormatan tiba.
"Kau tak tahu betapa berartinya hal ini bagiku," katanya pada Kira, sambil melambaikan lengan kimono. "Aku sudah bekerja keras agar penampilan ini berhasil - tarian ini harus sempurna!"
Kira menunduk. "Hamba mengerti Yang Mulia, tapi Tuanku tak perlu cemas. Upacara akan dilaksanakan dengan lancar."
"Upacaranya, ya - tapi yang paling penting adalah tarian ini. Ini sesuatu yang baru, dan bila gagal, aku akan ditertawakan semua orang."
"Tak seorang pun akan melakukan itu," Kira menenangkan.
"Orang-orang akan tertawa di belakangku," kata Tsunayoshi. "Tapi sudahlah - semuanya sudah beres, kan? Tidak ada masalah, kuharap?"
"Masalah selalu ada, Yang Mulia, tapi semuanya dapat hamba atasi."
"Bagus," Shogun tersenyum. "Itulah yang ingin kudengar dari bawahanku. Kuharap yang lain juga sama efisiennya sepertimu."
Kira membalas senyum Shogun, menunjukkan giginya yang hitam. "Semua yang hamba tahu, hamba pelajari dari teladan Tuanku."
Dia membungkuk lalu beranjak pergi, tapi kemudian dia ragu-ragu dan berbalik dengan pura-pura enggan. "Ada satu daimyo
muda yang bermasalah, namun hamba berharap dapat memperbaiki kekakuannya sebelum membuat Tuanku malu."
"Maksudmu Asano? Aku perhatikan dia memang tidak setenang yang lain. Apakah kau ingin aku bicara padanya?"
"Tidak - hamba rasa itu tidak perlu. Dia akan baik-baik saja setelah hamba memberi pengertian."
"Yah - kalau begitu, aku serahkan padamu. Tapi bisakah kau panggil anak-anak itu segera?"
"Baik," jawab Kira sambil membungkuk, dan segera pergi. Dia tahu kalau Tsunayoshi bukanlah orang yang sabar.
Setelah memakai jubah upacara yang setiap bagiannya diperiksa berulang kali, Lord Asano pergi ke kastil Shogun dengan menggunakan tandu. Kataoka, yang juga berpakaian lebih bagus dari biasanya, baru saja akan memerintahkan pada delapan pengusung untuk mengangkat tandu ketika istri Lord Asano muncul di pintu sambil memanggil. Kataoka memerintahkan para pengusung menyingkir agar majikannya dapat berbicara dengan istrinya secara pribadi.
"Kumohon," katanya pada suaminya sambil bersandar ke jendela, "Berjanjilah bahwa kau akan menjaga sikap. Tunjukkan pada istana Edo bahwa kita juga tahu aturan. Mungkin - mungkin belum terlambat untuk meletakkan beberapa koin ke tangan yang benar...."
Lord Asano menunjukkan sikap tidak sabar, tapi raut wajahnya melembut ketika melihat keprihatinan istrinya. Kata-kata Lord Asano bernada memarahi, namun sikapnya lembut.
"Dalam acara yang khidmat seperti ini, memberi lebih dari yang seharusnya pada Pemimpin Upacara adalah tindakan yang rendah. Aku menolak untuk merendahkan diriku seperti itu. Semua penasihat setuju..."
"Mereka setuju karena kau sudah menentukan sikap dan mereka tahu tak ada gunanya menentangmu. Aku tahu bahwa jika kau tak
bisa... Setidaknya berjanjilah padaku bahwa kau akan menerima petunjuknya dengan baik dan tidak akan kehilangan kendali. Maukah kau?"
"Aku berjanji," jawab Lord Asano.
Sang istri mundur dan memberi senyum selamat jalan. Lord Asano memberi tanda pada Kataoka dan para pengusung tandu diberi isyarat untuk berjalan.
Ketika berbelok di sudut rumah, Kataoka melihat Hara mengawasi kepergian mereka dan menangkap peringatan yang terpancar dari matanya: "Jaga majikan kita." Kataoka mengangguk ketika melewatinya.
Mereka melewati taman luas yang mengelilingi kediaman itu. Lord Asano merasa taman itu tetap indah dalam cahaya mentari pagi, meskipun pohon-pohonnya tak berdaun. Tak ada keistimewaan yang menonjol, hanya ketenangan alami yang dirancang dengan sangat cermat oleh kakeknya. Kediaman itu digunakan ketika ada perang atau ancaman perang sehingga para daimyo diminta tinggal di ibukota untuk waktu yang lama. Kini, tentu saja, keadaan sudah berbeda. Seingat Lord Asano, belum pernah ada pemberontakan bahkan yang terkecil sekali pun. Terpikir olehnya bahwa hidup pasti lebih menarik di zaman kakeknya, ketika pedang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan, bukan sekadar tanda kepangkatan.
Tandu itu dibawa dengan cepat melewati gerbang. Kataoka mengikuti dari samping. Namun saat memasuki daerah yang hiruk-pikuk, para pengusung segera melambatkan langkah. Sebagian besar orang dan pedagang yang berlalu-lalang menyingkir untuk memberi jalan ketika melihat tandu berlambang daimyo. Sebagian lagi pura-pura tak melihat dan tetap sibuk dengan urusan mereka sampai akhirnya mereka terdorong ke tepi.
Lord Asano tidak pernah terbiasa dengan kumpulan orang dari berbagai kias seperti di Edo ini. Bangsawan hingga orang rendahan berkumpul di pusat perdagangan ini untuk berbelanja pada pedagang yang semakin kaya. Ada juga golongan masyarakat lain
yang hadir di sana, termasuk beberapa ronin atau samurai tak bertuan. Para petani juga datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Jumlah mereka banyak dan mereka tidak mau mengemis. Sangat berbeda dengan para pengemis profesional yang dengan sombong berteriak minta sedekah. Lord Asano teringat pada pelayan yang melakukan kesalahan dengan api tadi pagi. Mungkin pelayan itu sudah dikeluarkan, tapi kelihatannya dia tak peduli. Orang kurang ajar seperti itu hanya perlu sedikit pelatihan agar dapat turun ke jalan untuk minta sedekah atau menjadi pendeta gadungan lalu mengemis dengan alasan yang mulia.
Keramaian kian bertambah, namun ada suara lain yang mengatasi hiruk-pikuk itu. Nyanyian bagi orang mati. Kataoka mengarahkan para pengusung tandu minggir agar rombongan itu bisa lewat. Dari tandu, Lord Asano melihat bahwa rombongan itu hanya terdiri dari dua orang, keduanya pelayan, dan peti jenazah yang dipikul pada sebatang tongkat itu berukuran sangat kecil. Kataoka yang sedang berdiri kebingungan di samping tandu terkejut ketika Lord Asano berkata, "Bukan pertanda yang baik untuk memulai hari ini, benarkan Kataoka?"
Ketika menoleh dan melihat kalau tuannya tidak tersenyum, Kataoka merasa harus melakukan sesuatu. Orang yang memanggul peti jenazah itu sudah berhenti menyanyi dan ketika jarak mereka semakin dekat, salah satu dari mereka menggerutu tentang beratnya beban. Dengan putus asa, dan juga karena terganggu dengan sikapnya, Kataoka memanggil orang itu.
"Hei! Bebanmu ini tidak berat. Mengapa kau mengeluh? Tak bisakah kau tunjukkan rasa hormat pada yang sudah meninggal?"
Orang itu tertawa dan berteriak pada temannya. "Orang ini ingin tahu mengapa kita tidak menunjukkan rasa hormat pada penumpang kita. Haruskah aku tunjukkan padanya?"
"Tentu," jawab temannya. "Kenapa tidak?"
Mereka mendekati tandu lalu berhenti untuk meletakkan peti jenazah itu di jalan. Pelayan yang pertama kali bicara melangkah maju sambil tersenyum lebar ke arah Kataoka, lalu membuka tutup
peti. Dalam peti itu terbaring seekor anjing kecil, yang nyaris putus karena kecelakaan. Pelayan itu mengedipkan mata ke arah Kataoka ketika orang-orang mulai berdatangan. Semuanya ingin melihat apa yang menjadi pusat perhatian.
"Anjing ini tidak pernah diperlakukan dengan baik," kata pelayan itu kepada Kataoka, yang untuk sesaat seperti kehilangan kata-kata.
"Akan kau bawa ke mana dia?" akhirnya Kataoka bertanya.
"Tentu saja ke pemakaman. Ke mana lagi? Tak tahukah kau bahwa undang-undang mengatur bahwa anjing harus dimakamkan seperti manusia? Kami hanya sekadar melakukan perintah Shogun."
Dia menutup peti itu lalu kembali ke ujung pikulannya.
"Setidaknya kalian jangan mengeluh," Kataoka mengingatkan. "Tampaknya kalian tidak sadar betapa beruntungnya kalian karena Shogun yang agung lahir di tahun anjing." Dia berhenti sejenak untuk memberi kesan dramatis saat kedua pelayan itu mengangkat pikulan. "Coba pikir apa yang akan kalian pikul seandainya dia lahir di tahun kuda?"
Kedua orang itu tertawa keras, begitu pula kerumunan orang, dan Kataoka senang melihat Lord Asano juga tersenyum. Dia tertawa geli mengingat kecerdikannya, dan setelah itu memerintahkan para pengusung tandu berjalan lagi.
Di dalam tandu, Lord Asano memikirkan anjing yang mati itu. Baginya, hal itu merupakan tanda kekacauan yang terjadi di Edo, yaitu binatang harus diperlakukan sama seperti manusia. Dia tak dapat memahami tempat ini dan sekali lagi berharap untuk secepatnya keluar dari kota ini. Dia menghela napas, lalu membungkuk ke depan untuk melihat keramaian itu ketika tandu berjalan melewati gang lalu tiba di jalan lebar yang sejajar dengan saluran air kastil.
Air di saluran itu berada di bawah jalan dan hampir tak terlihat. Dan yang terlihat jelas adalah tembok tinggi dari potongan batu granit besar di permukaan air, membentuk penghalang yang tak dapat dilewati di sekeliling kastil. Saat ini para pengusung berbelok
dan berjalan di sepanjang parit, berlari menaiki bukit kecil ke arah gerbang masuk yang melindungi jembatan yang membentang tinggi di atas air yang tenang.
Di gerbang ada penjaga bersenjata tombak dan kapak yang mengawasi ketika tandu mendekat. Para penjaga bersiaga ketika Kataoka melaporkan maksud kedatangan mereka. Lalu, sambil melambai mereka menyeberangi jembatan menuju halaman kastil. Saat masuk, di sisi kanan terdapat bangunan yang merupakan markas penjaga. Orang-orang bersenjata itu kembali memeriksa tandu dan sekali lagi Kataoka harus melewati pemeriksaan.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah teratur, sesuai peraturan keamanan, hingga di bagian luar kastil di mana kaum bangsawan tinggal dengan dikelilingi kediaman pejabat dengan pangkat yang lebih rendah. Di tempat ini hanya terlihat sedikit kegiatan karena sebagian besar bangsawan sedang di dalam kastil untuk menyiapkan acara hari itu.
Melewati daerah ini, di dataran yang tinggi, ada kastil dan kediaman resmi Shogun. Kastil itu juga dikelilingi parit dan tembok granit tebal seperti tembok yang di bawah. Di atas parit itu terdapat jembatan tarik. Dengan perlahan rombongan Lord Asano berjalan menyeberangi jembatan itu. Langkah mereka ditentukan oleh peraturan istana yang tidak dapat diubah.
Di balik tembok, di setiap sudut ada benteng dari tanah yang menunjang pos-pos jaga yang tingginya beberapa tingkat. Di atas kastil terdapat menara putih yang lebih tinggi dari bangunan lain. Ketika melihat menara ini, Lord Asano menatap penuh arti ke arah Kataoka. Menara itu membuat mereka teringat pada daerah mereka. Bangunannya terbuat dari batu dengan jendela kecil berkusen putih serta genteng tersusun rapi, di mana pada setiap ujungnya ada hiasan ikan dari perunggu dengan ekor yang mengarah ke atas. Walaupun kastil di Ako tidak sebesar atau dihiasi seperti ini, tapi hiasan di menara itu sama dan hal itu menggugah kenangan mereka.
Di pintu masuk kastil, tandu berhenti dan Lord Asano keluar. Kakinya langsung menginjak bangku kayu rendah sehingga pengusungnya tak perlu menuntunnya keluar. Ketika melihat dirinya sendiri yang berpakaian warna hijau terang, wajahnya menunjukkan rasa kurang suka. Pakaian seperti ini merupakan salah satu masalah terbesar bagi Lord
Asano. Selain topi menjengkelkan yang dikenakan miring ke satu sisi dan tampak akan jatuh bila memiringkan kepala, dia juga harus memakai jaket kamishimo yang memiliki bahu lebar sehingga membatasi gerakan tangannya. Namun yang paling parah adalah celana tidak praktis yang sedang dirapikan oleh Kataoka sebelum Lord Asano memasuki kastil.
Kaki celana yang sangat lebar itu seharusnya menjuntai di belakang pemakainya untuk memberi kesan estetis. Untuk itu, pemakainya harus berjalan hati-hati dan Lord Asano, yang tidak sabaran, merasa terkurung tanpa berdaya. Dia ingin sekali menyingkirkan celana itu dan melangkah cepat seperti ke-biasannya, tidak berjalan seperti perempuan yang memakai kimono ketat. Ketika selesai merapikan, Kataoka lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Dia akan menunggu di dekat pos jaga bersama para pengusung hingga upacara selesai. Tentu saja dia tak diperkenankan masuk ke dalam kastil. Tak seorang pun yang berpangkat lebih rendah dari daimyo yang diundang ke pesta tahunan yang diadakan khusus bagi para utusan Shogun.
Lord Asano menguatkan diri dan mulai berjalan ke pintu: mengangkat kaki, menyentaknya sedikit ke depan, lalu melangkah. Meskipun tidak jauh, tapi dia merasa seperti tak berujung. Di luar hanya ada dua penjaga yang mengawasi, namun Lord Asano berjalan dengan sangat hati-hati di hadapan mereka seperti juga yang akan dilakukannya di hadapan Shogun. Dia tahu kalau Kira akan mendorongnya tanpa ampun kalau ia melakukan kesalahan, dan ia telah bertekad untuk menunjukkan pada orang-orang Edo bahwa samurai dari daerah juga dapat berperan seperti mereka.
Ketika seorang penjaga membukakan pintu, dia masuk ke ruang tunggu di luar Ruang Seribu Tikar yang sangat luas di mana upacara resmi akan dilaksanakan. Di ruangan itu dia berhenti sebentar untuk membuat matanya terbiasa di ruang yang redup.
Ruang tunggu itu luas dengan langit-langit yang tinggi. Tiang-tiang di ruang itu disepuh dan dihiasi ukiran. Saat melangkah di tikar yang berhiaskan emas, Lord Asano memerhatikan bahwa, walaupun dia tiba awal, ternyata sudah ada beberapa tamu yang datang. Semuanya memakai pakaian istana sama seperti dirinya, dengan perbedaan hanya pada hiasan untuk menunjukkan tingkatan. Satu orang yang pakaiannya sama kecuali warnanya yang coklat keemasan, menatapnya dan dia pun menghampirinya.
Lord Date dari Yoshida, laki-laki bertubuh atletis berusia tiga puluhan, adalah rekan Lord Asano dalam kepangkatan dan tugas. Mereka berdua terpilih menjadi panitia untuk menyambut utusan Kaisar dari Kyoto. Acara tahunan ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara Kaisar, yang menjadi penguasa tanpa kekuasaan, dengan Shogun yang pendahulunya telah mempersatukan wilayah itu dengan kekuatan militer dan merupakan pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya.
Baik Lord Asano maupun Lord Date sudah berusaha menolak kehormatan itu dengan alasan tidak terbiasa dengan aturan kerajaan, tapi tidak berhasil. Mereka pun berada di bawah bimbingan Kira. Tapi Date hanya punya sedikit masalah dengan Kira, sementara Lord Asano sering menjengkelkan karena 'kebiasaan daerah'-nya. Kini, di awal hari terakhir, Lord Date" terlihat tenang dan puas sementara temannya tampak cemas.
"Selamat pagi," kata Lord Asano sambil menunduk sekadarnya.
"Selamat pagi, Lord Asano," balas Date sambil tersenyum. "Anda datang awal, kan?"
"Kau juga," balas Lord Asano. "Mungkin kau lebih gelisah dari kelihatannya."
Date tertawa. "Kau yang gelisah. Setiap orang mengira kau hendak pergi berperang."
"Kuharap memang ada perang," kata Lord Asano tersinggung. "Aku anak daerah yang tak terbiasa bergaul dengan kalangan istana seperti mereka. Orang seperti Kira," dan dia menyebut nama itu dengan nada benci, "pangkatnya lebih rendah, tapi kita harus melompat berdiri begitu dia bicara." Dia menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu mengapa kau kesal pada Kira," kata Date dengan senyum samar. "Dia memerlaku-kanku dengan hormat, walau aku sama cerobohnya sepertimu dalam hal upacara-upacara."
Lord Asano menatapnya. "Jangan mengira aku tidak tahu rahasiamu, Lord Date. Kau membayarnya..."
"Aku tidak melakukan hal seperti itu!" Date menyela dengan marah.
"Berarti penasihatmu yang melakukannya untukmu dan itu pun tak patut dipuji - karena kau tidak tahu apa yang diperbuat bawahanmu!"
Wajah Date memerah. Saat dia hendak membalas ucapan Lord Asano ketika pintu sorong terbuka dan Lord Kira berjalan dengan langkah berat. Dia tersenyum dengan rendah hati pada rombongan tamu, memperlihatkan giginya yang dihitamkan. Lord Asano gemetar karena marah. Menurutnya, Kira adalah contoh dari semua yang salah dengan istana. Korupsi, sombong, dan menganggap diri penting -jauh dari nilai samurai.
Setelah membungkuk hormat pada para tamu, Kira melirik Lord Asano untuk melihat tanda-tanda perubahan sikap sang daimyo. Dia berpikir, pasti ada cara untuk mengubah bangsawan tolol ini. Mungkin hinaan yang lebih keras akan berhasil untuk orang muda yang sangat percaya diri ini. Setidaknya perlu dicoba sekali lagi dan inilah saat yang paling tepat. Dia merasa aman; menghunus pedang di dalam kastil, apa pun alasannya, adalah pelanggaran berat.
Ketika Kira menghampiri, Lord Asano langsung membalikkan badan dengan cara yang hanya dapat diterjemahkan sebagai sikap
menghina. Pemimpin Upacara yang berpakaian hitam itu berhenti karena kaget, lalu dengan marah mengubah arahnya mendekati Lord Dati.
Tindakan yang tidak sopan itu adalah puncaknya dan Kira, yang darahnya mendidih, sadar bahwa saat ini tak ada gunanya terus berusaha mengumpulkan uang suapnya. Dia memutuskan bahwa Lord Asano harus membayar atas kekasarannya itu.
Sementara Kira terus memberi petunjuk pada Lord Date, Lord Asano merasa sangat tertekan. Seandainya Kira mengabaikannya sekarang, ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan selama upacara. Dia sempat panik ketika membayangkan aib keluarganya bila ia melanggar etika. Kini dia harus bersikap baik pada Kira, meskipun dia membencinya.
Dia berusaha menyusun kata-kata untuk meminta maaf ketika pintu terbuka. Detak jantungnya makin kencang ketika membayangkan kalau orang yang datang adalah utusan Kaisar, namun ia lega karena ternyata yang muncul hanyalah seorang pendamping ibunda Shogun. Matanya besar dan badannya gemuk. Namanya Kajikawa, orang yang biasanya takkan diperhatikan Lord Asano, tapi dia tak memperlihatkan perasaannya yang sebenarnya. Saat Kajikawa memandang dengan malu ke sekeliling ruangan, Lord Asano tersenyum.
Senyumannya berhasil. Kajiwaka menghampiri lalu membungkuk hormat. Kemudian dia mengangkat kepala sambil tersenyum....
"Lord Asano," katanya dengan kalimat yang kurang jelas, "hamba dengar ada perubahan acara dan hamba ingin tahu perubahan itu untuk diberitahukan kepada ibunda Shogun. Bila tidak merepotkan...." mengakhiri kalimatnya dengan ketidakpastian.
Tanpa sadar Lord Asano melihat ke Kira sebagai satu-satunya orang yang bisa memberi jawaban dan dia merasa malu ketika tahu Kira sedang melihat ke arahnya sambil tersenyum. Sudah pasti Kira juga mendengar pembicaraan mereka.
"Jangan membuang-buang waktu dengan bertanya pada orang tolol itu," kata Kira dengan suara keras dan berkuasa. "Jika pertanyaannya soal upacara, tanyakan padaku atau Lord Date atau salah satu pelayan - mereka justru lebih tahu dibanding Lord Asano!"
Wajah Kajikawa memerah dan matanya terbelalak ketika membungkuk dengan canggung lalu berdiri dengan ragu-ragu. Lord Asano berdiri kaku seakan dia telah berubah menjadi patung. Kajikawa langsung melangkah keluar menuju ruang pertemuan. Tidak ingin mempermalukan Lord Asano dengan bertanya orang lain di ruang itu, dia memutuskan untuk bertanya pada salah satu petugas istana. Ketika membuka pintu, Kajikawa melihat Kira berjalan dengan anggun untuk menghampiri Lord Asano dan mengatakan sesuatu. Dia tak yakin apa yang diucapkan, namun sepertinya Kira mengatakan sesuatu tentang istri Lord Asano.
Lord Asano juga hampir tidak dapat memercayai apa yang didengarnya.
"Tahukah kau bahwa sebenarnya kau bisa keluar dari semua kesulitan ini?" kata Kira menyindir. "Jika uang memang sangat berarti bagimu, ada cara lain untuk memuaskanku. Aku dengar istrimu cantik..."
Lord Asano tak dapat menahan diri lagi. Kemarahannya sudah sangat menyesak dada, dia menggenggam erat gagang pedang. Kira pun langsung memegang pedang, walaupun dia tak bermaksud menariknya. Ini kesalahan fatal. Lord Asano melihat gerakannya sebagai jawaban atas tantangannya dan dia pun menghunus pedangnya yang mengkilap lalu menebas dengan kemarahan yang meluap. Kira, yang tertebas bahunya, terhuyung dan jatuh. Lord Asano mengangkat tangan untuk menyerang lagi, tapi Lord Date dan orang-orang segera menahannya. Suasana menjadi hening. Keheningan pecah setelah Kajikawa berlari ke ruang dalam.
Lord Asano memandang tubuh Kira yang tergeletak diam dengan rasa benci, juga kepada mereka yang mengambil pedangnya. Dia berdiri tanpa bergerak, matanya berkaca-kaca. Pintu sorong terbuka
dan ternyata Shogun Tsunayoshi yang masuk. Di belakangnya ada sekelompok anak laki-laki dengan kostum menari, semuanya diam tak bergerak.
Tsunayoshi, yang tampak lebih feminin dalam kostum menarinya, tidak siap melihat pemandangan yang menyambutnya. Napasnya memburu, lalu agak terhuyung-huyung seperti hendak jatuh. Beberapa orang yang hadir dapat menduga apa yang ada di benaknya.
Tujuh belas tahun lalu, peristiwa serupa pernah terjadi di ruang ini, dan selama bertahun-tahun Tsunayoshi dihantui oleh peristiwa itu. Pada waktu itu perdana menterinya yang menjadi korban, dibunuh keluarga istana yang marah karena perdana menteri itu mengambil alih begitu banyak kekua-'Saan yang seharusnya dipegang Shogun. Menurut desas-desus, Tsunayoshi yang bertanggung jawab atas penyerangan itu. Pembunuhnya dihukum mati saat itu juga oleh sekelompok penguasa, dan latar belakang dari tindakannya masih menjadi rahasia.
Sekarang, seluruh kejadian itu seperti dimainkan kembali di hadapannya dan tampak jelas kalau dia sangat terkejut. Kemarahan melanda dirinya dan wajahnya berubah merah saat mendekati tubuh Kira yang tak bergerak. Dengan rasa jijik, Shogun memerintahkan dua orang pelayan membawa Pemimpin Upacara yang tak berdaya ke ruang tunggu, lalu menoleh ke arah yang lain.
"Apa yang terjadi?" tanyanya ingin tahu, tapi dia tak langsung mendapat jawaban. "Kau, di sana," katanya menunjuk ke arah Lord Date, "ceritakan apa yang terjadi."
Lord Date melepas tangan Lord Asano dan membungkuk, sambil menelan ludah dengan susah. Dia berdiri tegak dan menjelaskan dengan singkat dan resmi, seolah sedang membuat laporan pada atasannya di medan perang.
"Tampaknya Lord Asano tersinggung atas ucapan Lord Kira. Kami melihat dia sangat terkejut. Kami melihatnya menarik pedang dan menebas Lord Kira. Seolah ada kekuatan yang memaksanya...."
"Dia menarik pedang dan menebas Kira?" sela Shogun. "Adakah yang tahu apa yang diucapkan Kira sehingga dia berbuat seperti itu?"
Tak ada yang menjawab, termasuk Kajikawa yang mengintip melalui pintu.
"Baiklah, kalau begitu, bawa dia kemari," kata Tsunayoshi dengan dingin. Dia menoleh ke arah Lord Asano. "Kau sudah tidak menghormati sopan santun di istana ini?"
"Maaf," kata Lord Asano sambil berlutut dan menunduk hingga menyentuh lantai. "Hamba tidak punya alasan."
"Ada aturan untuk setiap kejadian," Tsunayoshi melanjutkan, "yang dibuat dengan sangat hati-hati agar dipatuhi setiap orang. Aku tidak membuat pengecualian dalam hal ini - balikan tidak untuk keluargaku. Ketidaktahuan soal peraturan itu dapat dipahami, tapi aku yakin kau sudah lama menjadi daimyo, tak dapat mengatakan bahwa kau tidak tahu."
"Tidak... tidak," gumam Lord Asano, yang merasa yakin bahwa dia sedang bermimpi buruk dan bahwa dia akan segera terbangun.
Tsunayoshi melihat pada yang lainnya. "Tindak kejahatannya sudah jelas. Begitu juga hukumannya. Awasi orang ini sementara aku berunding dengan penasihatku. Untuk sementara upacara terpaksa ditunda."
Dia menunjukkan raut wajah jijik saat melihat noda darah di lantai, lalu berbalik dan melangkah keluar ruangan melalui pintu sorong menuju ruang pertemuan. Seorang pegawai istana yang muncul di ambang pintu langsung mundur untuk memberi jalan.
"Sayang sekali," kata Shogun pada pegawai istana itu. "Semua rencana kita kacau hanya karena seorang samurai yang tidak pernah belajar cara bersikap di kastil. Mungkin pertunjukan tari harus dibatalkan."
Mereka semua lalu pergi dan Lord Asano ditinggal dengan para penangkapnya. Dia tetap berlutut dan menatap lantai sementara
yang hadir di ruang itu mengawasinya dengan diam. Wajahnya tetap keras seperti batu, namun perutnya bergejolak sehingga dia berpikir jernih. Dia meneguhkan diri, berusaha tidak menunjukkan kelemahan.
Waktu berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya terdengar langkah kaki. Lord Tamura, daimyo Ichinoseki, melangkah masuk bersama serombongan samurai lalu berdiri dengan ragu ketika melihat posisi Lord Asano yang kaku. Lord Tamura adalah mantan kepala keamanan, mungkin itu sebabnya dia dipanggil Tsunayoshi, tapi dalam hal ini dia tak tahu harus berbuat apa. Lebih mudah memberi perintah bila berurusan dengan pencuri dan perampok, tapi untuk menahan sesama daimyo sangatlah berbeda. Dia mendekat dengan enggan dan menyentuh bahu Lord Asano.
"Atas perintah Shogun," katanya, dan Lord Asano berdiri mengikutinya keluar. Ada tandu yang menantinya di luar dengan selusin samurai serta lebih dari tiga puluh pelayan, namun Lord Asano tidak melihat Kataoka. Saat hendak masuk ke dalam tandu, dia mendengar Tamura mengucapkan sesuatu sambil menyerahkan pakaian pelayan. Lord Asano begitu terkejut dengan kelancangan ini tapi kemudian dia sadar kalau ini demi kebaikan dirinya. Dengan memakai pakaian ini, dia takkan dikenali ketika melewati jalan-jalan di kota Edo dan takkan dipermalukan di depan umum. Dengan raut wajah jijik dia memakai pakaian itu lalu masuk ke tandu, yang kemudian ditutup Lord Tamura dengan jaring lalu diikat dengan tali sehingga tak ada kesempatan bagi tahanannya untuk melarikan diri. Setelah itu dia memberi perintah dan rombongan itu pun berangkat ke kediaman Lord Tamura. Ketika berbelok di sudut dekat pos jaga, mereka melewati Kataoka yang tidak tahu kalau Lord Asano lewat di depannya sebagai tahanan.
Hari menjelang siang saat Kataoka mulai cemas. Tampaknya upacara telah selesai karena banyak tamu yang sudah pulang, tapi majikannya masih belum terlihat. Ketika melihat tandu Lord Date, Kataoka segera menghampiri.
Lord Date masih terkejut dengan peristiwa yang terjadi pagi tadi dan selama beberapa saat dia tak mengerti pertanyaan yang ajukan Kataoka dengan sopan. Dia hanya tahu kalau Lord Asano telah dibawa pergi Lord Tamura. Dia sadar kalau Kataoka tidak tahu penyerangan atas Kira, dan berusaha mencari cara untuk memberitahukan kejadian itu.
"Majikanmu ada di kediaman Lord Tamura. Aku sarankan kau segera ke sana."
"Apa yang terjadi?" tanya Kataoka cemas.
"Kecelakaan... Lord Kira dan majikanmu terlibat..."
Ada keheningan sementara Kataoka berusaha memahami berita itu. Ketika mengerti apa yang terjadi, ulu hatinya terasa sakit dan mulutnya terasa kering.
"Jadi tandu itu tidak perlu menunggu?" katanya gagap.
Lord Date" menggelengkan kepala, lalu berhenti sebentar untuk melihat apakah Kataoka mampu bertindak benar ia sebelum melanjutkan perjalanan. Setidaknya, hanya itu yang dapat dia lakukan untuk temannya.
Sambil membungkuk sebagai ucapan terima kasih, Kataoka segera pergi. Dia tak berani melanggar larangan berlari di halaman kastil, namun dia berhasil mencapai tandu dalam waktu singkat. Dia segera memberi pesan singkat pada pembawa tandu untuk disampaikan kepada Hara. Para pengusung tandu dapat dipercaya, tapi tetap saja mereka dari kalangan rendah dan tak perlu tahu semuanya. Dia hanya memberi pesan bahwa Lord Asano memutuskan untuk mengunjungi Lord Tamura dengan kereta lain. Dia meminta, mereka secepatnya menyampaikan pesan itu kepada Hara untuk segera menyusul ke kediaman Tamura. Kemudian dia berjalan dengan cepat di samping mereka saat keluar dari halaman kastil. Mereka kembali melewati jembatan di atas parit dan menuju kota. Kini dia dapat berlari secepat mungkin. Bagaimana hal ini bisa terjadi, pikirannya masih kacau, bagaimana hal seperti ini bisa terjadi atas majikan yang dicintainya?
Di kediaman Tamura, Lord Asano diperlakukan dengan sopan dan dipinjami jubah sederhana untuk mengganti kamishino dan celana upacara. Mereka yang ada di sana tak mengajak bicara karena tahu statusnya yang belum jelas. Lord Asano ditempatkan di ruang kecil berdinding putih serta diberi kertas dan kuas untuk menulis surat kepada istrinya. Setelah berhasil menenangkan diri, dia lalu menulis secara singkat tentang apa yang terjadi. Tapi dia terganggu oleh kedatangan satu orang dengan dua pengawal di ruang sebelah. Orang itu membawa keputusan resmi Shogun. Lord Asano mendengar mereka berbisik pada Lord Tamura. Dari reaksi Lord Tamura, dia tahu bahwa hukumannya sangat berat dan itu berarti satu hal - hukuman mati! Bisikan mereka selanjutnya tidak terlalu berarti baginya: "...para penasihat menentang... Tsunayoshi tak mau mengubah... beberapa tahun lalu ada pejabat yang diserang dengan cara serupa... contoh harus diterapkan..."
Tak lama kemudian Lord Tamura masuk. "Shogun yang murah hati telah memutuskan bahwa hukuman akan dilakukan dengan cepat sehingga sudah sepantasnya Anda berterima kasih. Berdasarkan pangkat, Anda juga diberi kemudahan untuk mati dengan cara terhormat," katanya. Lord Asano tetap diam, dan Lord Tamura menganggap itu sebagai tanda setuju. Kemudian dia menambahkan: "Seluruh wilayah Anda akan disita dan ditempatkan dalam perlindungan Shogun hingga ada pemberitahuan selanjutnya."
Lord Asano seperti mendengar lolongan anjing dan perasaan tak berdaya seperti dalam mimpinya. Tapi dia hanya menatap hampa ke dinding di depannya sampai Lord Tamura membungkuk dan mengundurkan diri. Setelah beberapa saat, Lord Asano menulis lagi tapi dia masih belum selesai ketika
Lord Tamura datang bersama utusan Shogun. Mereka menunggu sampai dia selesai menulis surat. Ketika tinta mengering, Lord Asano lalu berhenti. Petugas itu maju dan membantunya berdiri. Dengan penuh rasa percaya diri, Lord Asano mengibaskan tangan orang itu dan berdiri sendiri. Dia sedang berjalan mengikuti Lord Tamura menuju halaman ketika ada keributan di jalan masuk. Kataoka tiba
dan dengan napas terengah-engah dia meminta izin untuk bertemu majikannya. Lord Tamura berunding sebentar dengan utusan Shogun dan izin diberikan. Kataoka terlihat ragu bicara di hadapan orang-orang yang hadir, namun dia tak dapat menguasai perasaannya dan sungguh-sungguh minta maaf karena tak tahu peristiwa di dalam kastil. Lord Asano mengangkat tangan.
"Aku senang melihatmu, Gengoemon," katanya, memanggil Kataoka dengan nama kecilnya. "Wajahmu adalah wajah ramah pertama yang kujumpai sejak pagi."
Air mata Kataoka menggenang di pelupuk matanya, tapi Lord Asano pura-pura tidak melihat. Dia serahkan surat itu pada Kataoka.
"Ini saatnya kita berpisah. Sampaikan kepada... kepada istriku." Dia berhenti sejenak dan matanya terlihat menerawang. "Katakan pada semua orang... katakan pada mereka... Oishi pasti tahu apa yang harus dilakukan."
Di taman, di hadapan seluruh pasukan samurai Lord Tamura, tiga tikar telah diletakkan di tanah dan ditutupi selembar permadani putih. Hari mulai gelap dan lampion sudah dinyalakan di setiap sudut panggung yang didirikan seadanya. Lord Asano dibimbing untuk duduk di tengah permadani di depan meja kecil. Di atas meja itu ada pedang berukuran dua puluh tiga sentimeter. Lord Asano mengambil pedang itu, memerhatikannya dengan saksama dan melihat bahwa pedang itu adalah warisan keluarga Tamura. Dia tersenyum sekilas pada Lord Tamura untuk menyampaikan rasa terima kasih lalu mendengarkan dengan tenang saat utusan itu membacakan tentang kejahatan yang telah dilakukan serta keputusan yang sudah diambil. Sekali lagi Lord Asano seperti mendengar anjing-anjing menggonggong. Dia lebih merasakan suara gonggongan itu, bukan mendengarnya, ketika pembacaan selesai. Dia tahu apa yang harus dilakukan dan dia yakin dapat melakukannya dengan bermartabat. Setidaknya, tak seorang pun akan mengatakan bahwa dia tidak tahu aturan.
Dia menggenggam pedang dengan dua tangan dan menggumamkan doa singkat ketika mengarahkan ujung pedang di
bagian bawah perut sebelah kiri. Dia menusuk pedang itu ke perut lalu merobeknya, setelah itu semua suara berhenti ketika seorang pengawas maju untuk memenggal kepalanya dengan satu tebasan pedang panjang.*

TIGA

Kenapa kau tidak datang bersama majikanmu?" marah Oishi ketika Hara yang berkeringat dan kotor dibawa menemuinya di tengah malam. Kondisi samurai tua itu saat ini sangat memalukan, dan Oishi yakin Lord Asano akan malu jika melihat anak buahnya seperti itu. Namun tangisan Hara setelah pelayan yang mengantarnya keluar, membuat Oishi terdiam.
"Pemimpin kita telah tiada," teriak Hara, "dan kastil disita!"
Oishi merasa telinganya seperti dimasuki air saat sedang tidur. Dia tak percaya, tak dapat berkata-kata. Dia meyakinkan diri kalau ini hanyalah mimpi. Dia ingin berteriak meminta Hara berhenti bicara, namun dia memaksakan diri untuk terus mendengar. Lord Asano sudah seperti adiknya, kehilangan dia adalah hal yang sungguh tidak tertanggungkan.
Hara, berlutut di lantai ruang tunggu, menangis tersedu-sedu sambil bercerita sementara Mimura, yang menemaninya dengan berurai air mata.
"Kira yang melakukan semuanya! Kira, Pemimpin Upacara istana, yang memancing majikan kita menarik pedang dan menyerangnya, walaupun dia tahu, seperti juga kita semua tahu, hukuman bagi orang yang menggunakan pedang di kastil Shogun!"
"Dan hukumannya dilakukan begitu cepat?" tangis Oishi, walaupun dia sudah bersumpah dalam hati untuk membalas dendam pada semua orang yang bertanggung jawab.
"Hari itu juga," kata Hara putus asa. "Bahkan sebelum kami semua tahu apa yang terjadi."
"Bagaimana dengan Lady Asano?" tanya Oishi cepat. "Tahukah kau apa yang terjadi padanya?"
"Dia pergi," jawab Hara sambil terisak. "Begitu pemimpin kita meninggal, pasukan istana datang menyita semuanya. Kami diusir dan Lady Asano dikirim kembali ke rumah orangtuanya. Dia takkan kembali ke Ako atau berusaha menghubungi keluarga yang lain atas berita yang menyedihkan ini."
Oishi merasa pedih ketika memikirkan gadis kecil yang sedang tidur di ruang sebelah. Tiba-tiba dia merasakan beratnya beban kesedihan yang menimpa istana Asano. Dia menoleh pada Mimura dan memintanya menjemput Chuzaemon Yoshida, salah satu samurai tertua dari Ako yang nasihatnya selalu diterima.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Oishi pada Hara yang kini menunjukkan kelelahan luar biasa setelah melakukan perjalanan yang berat.
"Kataoka di sana ketika pemimpin kita melakukan seppuku di kediaman Lord Tamura - setidaknya dia diizinkan mati dengan cara seperti itu. Kami baru saat sudah sangat terlambat. Para pengusung tandu terlambat datang karena jalan yang ramai. Begitu menerima pesan itu kami langsung ke sana tapi sudah terlambat. Kami lalu kembali untuk melindungi Lady Asano, tapi pasukan Shogun sudah tiba dengan perintah resmi, dan atas perintah Lady Asano pula kami mematuhi mereka. Tak ada yang dapat diselamatkan. Dalam perintah itu tertulis 'penyitaan segera atas seluruh harta'."
"Kastil di Ako ini juga akan disita?"
"Ya," kata Hara dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Pasukan Shogun akan tiba dari Edo untuk melaksanakan perintah itu."
"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kau tinggal di Edo? Apakah mereka sudah menuju ke sini? Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kita tidak boleh terpisah."
Hara menatap ke arahnya dan menjelaskan. "Aku menugaskan Horibe. Dia dan yang lainnya bertugas menutup usaha kita di Edo,
seperti yang menurutku pasti kau kehendaki. Mereka juga mengawasi kapan musuh - maksudku pasukan Shogun -meninggalkan Edo."
Oishi menatap Hara dengan tajam. Dia memahami sikap ini. Hara merasa perlu bersiap menghadapi pengepungan dan melakukan perlawanan. Dan Hara mungkin benar - setidaknya itu rencana yang baik untuk menyelamatkan kehormatan mereka yang hilang - tapi tetap saja Oishi merasa tidak seharusnya Hara mengambil keputusan penting seperti itu sebelum ada semua fakta yang diperlukan.
Pembicaraan mereka terhenti karena kedatangan Yoshida yang berambut putih, yang wajahnya seperti Budha. Dia terlihat prihatin. Mereka lalu menceritakan apa yang terjadi dan dia pun terkulai lemas di lantai, berusaha mengendalikan ratapannya. Selama menjadi samurai, belum pernah dia alami kejadian yang begitu menyedihkan. Oishi merasa perutnya sakit dan putus asa tapi dia tak mau mengungkapkan perasaannya. Dia memiliki tanggung jawab, teman-temannya menganggap dirinya sebagai teladan. Dia harus dapat mengendalikan diri bila ingin keputusan yang terbaik.
Guna memberi waktu kepada Yoshida untuk memulihkan diri, Oishi minta Mimura menyediakan hibachi tanpa harus mengganggu pelayan yang lain.
Sementara ini, sampai mereka memutuskan tindakan yang akan diambil, akan lebih baik bila tak ada orang lain yang tahu masalah ini. Mimura sudah melayani keluarga Asano sejak kecil dan dapat dipercaya untuk tidak mengatakan apa-apa.
Ketika hibachi yang dipanasi batubara tiba, Oishi minta supaya diletakkan dekat Yoshida yang kini duduk dengan air mata mengenangi pipi. Oishi dan Hara duduk di dekatnya, sementara Mimura melipat kakinya yang panjang dan duduk di dekat pintu sebagai penjaga bila ada yang menguping.
"Mungkin sebaiknya kita panggil Ono," kata Yoshida ragu-ragu. Sebagai bendahara keluarga, Ono sangat memahami masalah keuangan, tapi untuk saat ini Oishi merasa saran orang itu kurang
tepat. Ono cenderung menganggap persoalan keadilan dan kehormatan berada di bawah masalah keuangan, dan Oishi sedang tidak bersemangat untuk berdebat.
"Masalah ini tidak ada hubungannya dengan Ono," katanya kepada Yoshida. "Kita dapat menentukan apa yang harus dilakukan."
Setelah selesai bicara, Oishi menatap Hara yang kemudian mengangguk setuju. Seperti pemimpinnya, Oishi, dia juga menganggap kehadiran Ono tidak diperlukan.
Selama beberapa saat terjadi keheningan karena masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Guna mengurangi kesedihannya, Oishi mengalihkan pikirannya dengan mengenang saat dia masih samurai muda. Pelajaran-pelajarannya diberikan tepat di ruang ini dan dia bisa mendengar peringatan Yamaga Soko bahwa zaman semakin melunak dan bahwa ketaatan pada ajaran Kong Hu Cu telah dirusak para pengkhotbah dari "Kong Hu Cu baru" yang mulai memasuki istana. Itu sebabnya Yamaga diasingkan dari Istana Shogun ke Ako - karena dia tak sesuai dengan zaman. Yamada menemukan pendengar yang baik di kalangan samurai Ako, yang berada sangat jauh dari kelemahan dan politik istana. Oishi seperti mendengar lagi ucapan Yamaga yang menyalahkan istana Edo: "Mengorbankan kemuliaan demi kemewahan." Dan itulah yang terjadi pada Lord Asano.
Dia memikirkan peristiwa penyerangan majikannya pada Kira. Dia yakin itu dapat dibenarkan, bila terjadi di tempat lain!
Dia tidak berhak mengkritik Shogun, tapi sangat mengganggu pikirannya bila mengingat betapa tidak konsistennya Shogun tentang ajaran Budha. Benar, kebencian atas kekerasan dan kekejaman seperti ajaran Budha adalah inti dari Undang-Undang Pelestarian Hidup, namun apakah hal itu juga sudah diterapkan pada Lord Asano? Lalu bagaimana tentang kewajiban untuk menjauhkan diri dari kesenangan, keindahan yang diperoleh melalui hidup menyepi dan meditasi? Tidak, Tsunayoshi hanya mengambil
ajaran Budha yang sesuai dengan tujuannya dan ini membuat kebijakannya dipertanyakan oleh orang yang memiliki cukup keberanian untuk melakukan itu.
Oishi mengangkat mata dari gambar-gambar yang dilihatnya dalam batubara hibachi yang menyala dan melihat bahwa Yoshida sedang menatapnya. Tak diragukan lagi, Yoshida juga pasti memikirkan hal yang sama. Yoshida gemetar dan menggelengkan kepala, lalu mengusap rambutnya yang pendek.
"Kita harus menyusun rencana," dia mengusulkan dengan sikap tidak pasti.
Kalimat itu menyentak Oishi dengan aneh. Dia sangat bergantung pada nasihat Yoshida, tapi kini dia sadar tidak banyak yang dapat diharapkan dari orang ini. Peristiwa seperti ini belum pernah terjadi dalam keluarga Asano, jadi Yoshida juga tidak lebih mampu dari para samurai muda untuk mengatasi ini. Oishi akan sangat senang menerima nasihat orang tua ini, namun dia sadar bahwa mulai sekarang semua keputusan harus datang dari dirinya. Dia berharap bahwa berbagai pertimbangan dirinya dapat diambil dengan hati-hati dan benar-benar yang terbaik untuk keluarga Asano dan untuk jiwa pemimpinnya.
Hara menggosok kedua tangannya dan dengan gelisah mengubah posisi duduknya. Di benaknya, pertemuan ini adalah dewan perang dan sasarannya adalah menyusun rencana untuk mempertahankan kastil.
"Tidakkah sebaiknya kita memanggil semua anggota?" tanyanya.
Oishi tampak ragu dan kemudian bersyukur ketika Yoshida berdehem sebagai tanda bahwa dia yang akan menjawab.
"Mari kita tunggu sampai besok pagi," kata orang tua itu. "Bila kita memerlukan prajurit kita untuk maksud lain, walaupun hanya untuk menerima kabar soal kematian pemimpin mereka, lebih baik jika kita biarkan mereka mendapatkan istirahat yang cukup dulu."
"Aku sependapat dengan Yoshida-sensei," kata Oishi, sambil memberi gelar kehormatan 'guru' bagi orang tua itu atas memberi bobot pada ucapannya. "Besok pagi kita bisa berpikir dengan lebih jernih serta menghadapi masalah ini dengan lebih pasti."
"Kita harus segera memikirkan pertahanan," gumam Hara dengan keras kepala. Oishi, yang kemudian membalikkan badan karena kesal, menangkap tatapan Mimura yang ditujukan pada prajurit tua itu. Oishi merasa bahwa ada sesuatu tentang sikap Hara yang membuat pembantunya merasa terganggu, tapi dia enggan bertanya karena takut membuat pemuda itu malu. Sebaliknya dia menoleh pada Hara.
"Apakah Kau sudah menceritakan semuanya, Hara? Semua yang harus diketahui tentang peristiwa tragis ini? Kira dibunuh lalu majikan kita dijatuhi hukuman mati dan kehilangan semua hartanya -apakah begitu keseluruhan ceritanya?"
Hara bimbang. "Ada keragu-raguan di satu segi... Kira dibawa keluar ruangan dan ada kemungkinan dia selamat, walaupun belum bisa dipastikan. Selebihnya, aku sudah ceritakan semua yang aku tahu. Aku masih tak mengerti mengapa kau ragu untuk menyusun rencana demi mempertahankan kastil. Pasukan Shogun akan tiba setiap saat dan kita harus siap memberikan yang terbaik dari diri kita."
"Kita akan siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, jangan kuatir. Menurutku, rencana yang terbaik yaitu berusaha tidur. Aku membutuhkan lebih banyak waktu untuk berpikir sebelum dapat menyusun rencana yang berguna."
Dia bangkit lalu merenggangkan badan, setelah itu membungkuk hormat sebagai ucapan selamat malam kepada Yoshida dan mengangguk sekadarnya ke arah Hara. Ketika meninggalkan ruangan, Mimura mengikutinya, walaupun tak ada alasan baginya untuk menemani. Ketika sampai di pintu kamarnya, Oishi berpaling kepada pemuda kurus itu.
"Beristirahatlah," katanya pada Mimura. "Besok adalah hari yang berat bagi kita semua. Aku menghargai semua yang telah kau
lakukan dan tahu kalau selalu ada tempat bagimu di hati keluarga Asano."
Ketika dia hendak membalikkan badan untuk pergi, Mimura tiba-tiba berlutut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lantai.
"Aku harus mengatakannya kepada Anda," katanya dengan suara parau. "Hara memaksaku berjanji untuk tidak mengatakan apa-apa, tapi kurasa hal itu tidak adil bagi Anda yang melaksanakan semua tanggung jawab!"
Dengan lembut Oishi memegang pundak mantel pemuda itu yang lusuh dan membimbingnya berdiri hingga akhirnya mereka berhadapan. Dia menunggu sampai pemuda itu tenang.
"Sebelum meninggalkan Edo," akhirnya Mimura bercerita, "kami mengunjungi Daigaku Asano, adik majikan kita, serta pamannya, Lord Toda, daimyo dari Ogaki. Mereka berusaha menekan kesedihan, meskipun seperti Anda tahu, Daigaku sebenarnya lemah dan Lord Toda juga sudah tua. Mereka tahu semua yang terjadi. Mereka tahu perintah untuk menyerahkan kastil Ako pada perwakilan Shogun."
"Dan?"
"Dan mereka menyarankan Hara memberitahu Anda bahwa kita harus menyerah dengan damai agar tidak menambah aib keluarga ini."
Oishi melepas pemuda itu dan mengangguk agar dia pergi. Mimura berlari di sepanjang lorong, berdoa semoga dia telah melakukan hal yang benar. Meskipun begitu, Hara mungkin akan membunuhnya jika tahu rahasia ini telah terbongkar.
Oishi kembali menerima kejutan yang tidak menyenangkan. Dia tak bisa melawan keinginan keluarga dan dia juga tahu mengapa Hara menolak menyampaikan pesan itu. Ketika ada dua sudut pandang yang sah untuk diterima; tidaklah mudah memilih berada di pihak yang benar.
Dia pergi ke kamarnya lalu memakai mantel hangat. Dia sangat terguncang dengan berita tentang majikannya dan tahu tak ada gunanya untuk berusaha tidur. Hanya ada satu tempat di mana dia bisa mendapatkan bantuan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang mengganggu dirinya, maka dengan diam-diam dia keluar kastil. Penjaga yang sedang bertugas di gerbang utama mengizinkannya keluar lewat pintu samping dan berusaha menyembunyikan kekagetan atas tindakan atasannya yang tidak biasa.
Malam itu sangat gelap, dan hembusan angin dingin membuat Oishi menggigil saat mendaki bukit kecil di belakang kastil. Saat mendaki bukit, angin makin kencang dan dia merapatkan mantelnya lebih kencang lagi. Sambil menoleh ke belakang, dia bisa melihat menara-menara kastil yang samar-samar di kegelapan langit malam; di puncak bukit di depannya mulai terlihat sekumpulan kecil nisan. Itu adalah Kegaku-ji, kuil tempat makam keluarga Asano.
Dia memasuki sebidang kecil yang berpagar dan memandang sekeliling. Di sini dimakamkan abu dari seluruh keluarga Asano yang dia kenal dan banyak lagi yang mati sebelum dia lahir. Dengan perlahan dia berkeliling, membaca setiap nama di batu nisan, lalu dia berhenti dan menengadah ke langit.
"Tuanku Asano," katanya dengan sepenuh hati, "Hamba memanggilmu dari dunia roh."
Tak ada jawaban kecuali desau angin yang merintih serta gesekan dedaunan. Tapi Oishi merasa lebih dekat dengan pemimpinnya daripada di manapun juga, merasa nyaman karena bisa mengungkapkan isi hatinya dengan terbuka.
"Andai hamba bersamamu," tangisnya sambil berlutut dengan tangan yang dikatupkan dalam sikap memohon ampun. Setelah itu dia menjatuhkan tangan ke pangkuan dan menatap ke bawah dengan sikap rendah hati.
"Ketahuilah, Tuanku, bahwa kami tidak menyalahkan Anda. Anda melakukan apa yang akan dilakukan laki-laki untuk mempertahankan kehormatan. Kesalahan ada di pihak lain."
Oishi mengenang bahwa selain sifat pemarah, tak ada daimyo lain yang lebih layak dari dia di seluruh Jepang. Bagian wilayah ini dikenal karena kesetiaan mereka pada keluhuran tradisi samurai dan tak seorang pun yang lebih murah hati, lebih berani dan lebih sungguh-sungguh berusaha mewujudkan pemikiran itu selain Lord Asano. la akan mengikuti majikan yang seperti itu, bila perlu sampai mati. la takkan ragu menarik pedang dan bergabung dengan majikannya saat ini juga jika itu dapat menyelesaikan segalanya.
Tangannya menyentuh mata pisau yang terselip di pinggang, tapi kemudian dilepasnya. Tugasnya kini adalah untuk tetap hidup. Demi janda Lord Asano dan putrinya serta untuk semua pelayan serta orang yang tinggal di kastil. Bila waktunya tiba di mana ia perlu bunuh diri, ia siap.
Sekarang, ia harus membuat banyak keputusan dan ia bergantung pada roh Lord Asano untuk membimbingnya dalam mengambil keputusan yang tepat. Apakah majikannya ingin ia menyerahkan kastil dengan damai ataukah bertahan, bertempur hingga titik darah terakhir? Ataukah mereka semua berlutut di depan kastil dan melakukan seppuku bersama-sama sebagai bentuk protes atas hukuman yang tidak adil itu? Ia telah terbiasa melaksanakan perintah, bukan merumuskan kebijakan, dan ini adalah pengalaman yang sulit baginya. Oishi sadar betapa orang-orang bergantung pada dirinya dalam memutuskan yang terbaik dan tanggung jawab ini sangat membebani dirinya. Siapa yang dapat menentukan bahwa keputusan yang diambilnya benar? Suara hening Lord Asano akan membimbingnya, namun pada akhirnya ia sadar kalau ia harus menilainya sendiri. Jalan 'kehormatan akan sangat mudah diikuti bila dapat dilihat. Bila ada pertentangan antara pilihan tindakan, seperti yang disampaikan Hara, jalan keluarnya takkan dapat memuaskan semua pihak.
Di hutan yang rimbun, jauh di atas gunung, serigala melolong. Oishi mengangkat mata. Dia melihat batu nisan yang berdiri di sekelilingnya seperti pagar yang tak dapat dilewati dan dia membayangkan bahwa beginilah roh Lord Asano memandang mereka. Jiwanya tersiksa karena telah membuat Ako menjadi tidak
dihormati, dan dia akan menemukan ketenangan yang sebenarnya hanya bila ada jalan keluar untuk masalah ini. Semuanya tergantung pada Oishi untuk mewujudkan hal ini.
Oishi menghela napas, lalu bangkit dan membungkuk hormat kepada seluruh makam yang ada di sana. Saat membungkuk, dia merasakan dingin di perutnya karena takut. Bayangan akan kepunahan keluarga bangsawan ini secara tiba-tiba merupakan hal tak tertanggungkan. Jika menyerah, pemakaman ini akan terbengkalai dan roh-roh akan sia-sia mencari penghormatan dan perhatian dari keturunan mereka. Sementara yang hidup takkan mendapat berkat dari leluhur dan akan berkelana di dunia roh. Keinginan untuk melawan begitu kuat, tapi dia tahu bahwa menyerang tidaklah berguna. Pada akhirnya mereka pasti kalah dan makam leluhur mereka tetap terbengkalai.
Tiba-tiba, untuk pertama kalinya, ia menyadari masalah yang akan menimpa dirinya. Ia takkan dihormati sebagai samurai; dia akan menjadi ronin, samurai tanpa majikan, menjadi bagian dari orang tak berguna dan tak berjaya. Ia akan menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam, kemiliteran. Setiap pilihan sama menyedihkan. Mungkin Hara benar dan seharusnya dia abaikan perintah Daigaku dan Toda. Lebih baik berperang daripada melihat keluarganya kelaparan dan terpuruk, jatuh miskin.
Ia menghalau semua pikiran itu dan kembali ke kastil untuk memikirkan apa yang akan disampaikan besok. Ia akan meminta istrinya memberitahu putri Lord Asano bahwa ayah dan ibunya tidak akan pulang.*

EMPAT

Keesokan harinya Oishi memberitahukan pada istrinya apa yang telah terjadi di Edo. Istrinya sangat terguncang, namun sebagai orang yang lahir dalam tradisi samurai sejati, dia tidak histeris. Istrinya membungkuk hormat ketika pergi untuk melaksanakan perintah untuk mengurus putri Lord Asano. Masa depan keluarga mereka sendiri belum dibicarakan; akan ada waktunya nanti.
Lelah karena kurang tidur, Oishi berjalan perlahan ke depan kastil di mana pengikutnya telah berkumpul. Ketika mendengar suara saat melewati pintu kamar di mana dia bertemu Hara dan Yoshida semalam, dia lalu berhenti.
Seseorang sedang membaca tulisan Kong Hu Cu dalam nada datar. Dia tak dapat menahan diri untuk mendekat dan membuka pintu sorong.
Pemandangan di dalam ruang itu seperti yang telah dia bayangkan dan membawanya kembali tiga puluh tahun lalu ketika masih muda. Putranya, Chikara, yang berusia lima belas tahun, sedang berlutut di tatami di depan meja yang rendah. Dengan sabar dia menyapukan kuas untuk menulis aksara Jepang yang sulit. Di hadapannya, duduk guru berwajah pucat yang mengenakan topi pendeta serta jubah abu-abu sambil membacakan karya Kong Hu Cu. Oishi tahu bahwa melalui pendekatan pada budaya dan ajaran moral, anaknya akan segera menjadi seperti dirinya sendiri.
Jelas sekali Chikara sudah cukup lama duduk seperti itu dan Oishi melihat dengan bangga bahwa meskipun kedua tangan anaknya sudah memerah karena udara dingin, tapi Chikara tak berusaha untuk merubah posisinya. Dia membayangkan putranya itu akan menjadi laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Dilihat dari usahanya, Chikara akan dapat menyelesaikan latihan dalam waktu singkat.
Dengan perlahan Oishi menutup pintu dan berjalan di lorong hingga suara itu tak terdengar lagi. Ketika mencapai pintu depan kastil, seorang penjaga membukakan pintu. Dia menghela napas panjang ketika berjalan keluar untuk menemui orang yang sudah berkumpul.
Seluruh pelayan Asano dari tingkat samurai telah dipanggil hadir. Biasanya mereka akan berkumpul sesuai pangkat di luar tembok, tapi demi kerahasiaan, Oishi meminta mereka berkumpul di dalam kastil, di bawah menara-menara yang menjulang tinggi. Lebih dari tiga ratus prajurit berkumpul di sekitar pintu masuk hingga di jalan-jalan yang menuju halaman.
Pakaian mereka sama; pakaian semi perang, siap memakai pakaian perang jika diperlukan. Usia mereka bervariasi; dari remaja kekar dan tangkas namun kurang bijak dan pengalaman, dan yang berumur enam puluhan yang mungkin lebih mengganggu daripada membantu.
Sebagian besar lagi berusia sekitar tiga puluhan dan empat puluhan, yang berpengalaman dalam hidup dan perang. Merekalah tujuan utama Oishi mengadakan pertemuan ini.
. Walaupun sudah dicegah, desas-desus sudah mulai tersebar. Kedatangan Hara dan Mimura yang tiba-tiba dan tanpa penjelasan di tengah malam pasti menjadi perhatian dan pembicaraan. Berbagai dugaan muncul di antara mereka sambil menunggu, tapi bisikan mereka segera berhenti ketika Oishi mengangkat tangan agar mereka tenang.
Di udara pagi yang dingin, uap dari napasnya setara dengan kata-katanya yang dingin: "Pemimpin kita telah tiada." Mereka menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Andai dia meneriakkan katakata itu sambil mengayunkan pedang, mereka akan anggap itu sebagai panggilan untuk bertindak, tapi nada suaranya menunjukkan bahwa tak ada harapan dan tak ada lagi yang dapat dilakukan. Saat menjelaskan, ada air mata kesedihan dan kemarahan dari mereka yang tidak pernah menangis.
Oishi lalu menceritakan bagaimana Pemimpin Upacara Shogun telah menghina majikan mereka hingga terjadi pertengkaran. Dia memberitahukan bahwa Lady Asano kini dalam pengasingan dan perwakilan Shogun akan datang mengambil alih kastil dan seluruh tanah di Ako. Terdengar nada marah, tapi mereka diam ketika Oishi mengatakan bahwa Lord Daigaku Asano telah memutuskan untuk menyerahkan kastil dengan damai.
Ketika mendengar kata-kata terakhir itu, Hara langsung melihat kiri-kanan untuk mencari Mimura. Karena hanya seorang pelayan, Mimura tidak hadir dalam pertemuan ini. Hara bersumpah kalau dia akan membuat Mimura menyesali pengkhianatan itu. Dia tak perlu menunggu lama untuk bertemu Mimura. Tanpa diduga, pelayan itu
muncul di gerbang kastil, dan Oishi berhenti untuk mengetahui berita mendesak apa yang membuat Mimura datang.
Ketika kehadirannya telah diketahui, Mimura segera menghampiri Oishi. Semua yang hadir memerhatikan saat dia berbisik sang pemimpin. Oishi tampak terkejut, lalu mengangguk dan pelayan itu pun mengundurkan diri. Oishi kembali berpaling ke arah mereka yang hadir.
"Utusan baru saja tiba dari Edo," kata Oishi. "Gengoemon Kataoka membawa berita terbaru dari ibukota."
Kataoka dengan pakaian lusuh dan kaki pincang karena terluka, menunduk ke arah Oishi. Dia tampak sangat lelah dan kehabisan napas, tapi dia berusaha menguatkan diri.
"Silakan," kata Oishi, "beritahukan apa yang kau tahu. Kau boleh bicara langsung pada kami. Kami semua terlibat dalam masalah ini."
Kataoka bimbang. Dia memandang sekeliling dan mengenali beberapa wajah yang dekat dengannya, kemudian berteriak:
"Kira masih hidup!"
Dengan tiba-tiba, seluruh tujuan dari pertemuan itu berubah. Kesedihan dan rasa tak berdaya berubah menjadi kemarahan dan Hara adalah yang pertama mengungkapkannya.
"Berarti dia harus mati!" teriaknya, dan terdengar teriakan setuju dari semua yang hadir. Keinginan itu juga muncul di hati Oishi, tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha meredam dan menunggu hingga hiruk-pikuk itu surut. Ketika melihat dia hendak bicara, perlahan mereka menjadi tenang walau masih terdengar gumaman bernada bingung melihat dinginnya reaksi Oishi atas berita itu: musuh majikan mereka masih hidup.
"Aku juga setuju kalau Kira harus mati," akhirnya dia berkata. "Tak ada yang lebih kuinginkan selain menyerang dia sekarang juga. Tapi..." dan dia berhenti dengan dagu menegang, "...kita tidak boleh gegabah. Jumlah maupun persenjataan kita tak cukup untuk menyerang orang yang tinggal di balik tembok kastil Shogun. Kita
akan bicarakan ini nanti. Sekarang kita hanya akan memikirkan soal penyerahan kastil dan untuk itu aku memiliki beberapa usulan."
Beberapa orang tak dapat menerima hal itu. Menurut pendengaran Oishi, ucapan-ucapan mereka mengandung nada memberontak namun hanya Hara yang terus terang berdiri dan berbicara. Dia berbicara pada pemimpinnya dengan sikap resmi, tapi nada suaranya datar mengandung keraguan.
"Oishi-dono, kurasa aku tak mengerti maksud Anda. Kita sudah tahu kalau musuh majikan kita, orang yang telah menyebabkan kematiannya, masih hidup, dan Anda mengatakan ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan?"
Dia melihat pada orang-orang untuk mendapat persetujuan dan mereka setuju sambil berteriak. Dengan semakin berani, Hara melanjutkan katakatanya. "Bukankah ajaran Kong Hu Cu mengatakan bahwa tak satu pun manusia boleh hidup di bawah satu langit dengan pembunuh majikannya?"
Orang-orang kembali berteriak setuju sampai Oishi mengangkat tangan dengan sikap memerintah.
"Kau lupa siapa dirimu," katanya. "Kesetiaanmu adalah kepada keluarga Asano. Tugas utama kita yaitu mengikuti perintah saudara majikan kita dan pewaris sah atas wilayah ini." Dia berhenti untuk memandang ke arah Hara. "Tidakkah Kong Hu Cu juga berkata bahwa dari lima kebajikan, kesetiaan mendahului kewajiban moral yang lain?"
"Saudara majikan kita bukanlah majikan kita!" terdengar teriakan dari arah samping lalu terdengar suara-suara bernada setuju. Hara semakin bersemangat dan langsung bicara kepada Oishi.
"Tak ada yang perlu diragukan tentang kesetiaan," katanya. "Kami semua setia. Satu-satunya pertanyaan adalah bagaimana kita dapat menunjukkan kesetiaan dengan cara yang terbaik. Dan menurutku, jika kita tidak balas dendam, maka kita akan dianggap pengecut dan lemah!"
Oishi menjawab dengan dingin. "Dan menurutku, tidak penting apa yang dipikirkan orang lain selama kita yakin pada diri kita bahwa kita benar. Cobalah pikirkan sejenak Lady Asano dan putrinya. Apakah membunuh orang seperti Kira akan membantu mereka mendapatkan kembali rumah mereka? Mungkin mereka malah akan dihukum mati, termasuk kita, bila usaha kita gagal. Pikirkan juga dampaknya terhadap Ako. Apakah para leluhur keluarga Asano akan senang jika makam mereka dinodai akibat kastil yang hancur?"
"Apakah para leluhur itu akan berbaring dengan damai karena pengikut Lord Asano terlalu pengecut untuk membalas kematiannya?" teriak Hara. Ada teriakan setuju dari banyak orang dan Oishi menjadi ragu. Kemudian dengan tenang dia menunjuk pada Yoshida yang berada dalam kumpulan orang-orang itu. Laki-laki beruban itu berdiri dan melangkah maju.
"Aku harus memperingatkanmu, Soemon Hara," katanya tegas, "atas apa yang baru saja kau katakan pada pemimpin kita. Tak ada alasan untuk meragukan kesetiaannya hanya karena dia tidak setuju denganmu. Bagiku, sikapnya memang masuk akal. Dengan tidak menunjukkan perlawanan dan menaati perintah Shogun, kita akan mendapatkan lebih dari apa yang akan kita peroleh melalui pertarungan. Jika tidak melawan, kelak Shogun akan tahu siapa yang sebenarnya bersalah dan dia yang akan menghukum Kira."
"Kelak?" ejek Hara. "Kau sudah tua, Yoshida.
Tidakkah kau ingin melihat keadilan ditegakkan sebelum mati?"
"Aku memang sudah tua," Yoshida setuju. "Dan sebelum mati, aku ingin lihat kastil ini diperbaiki. Menurutku, kita harus mengajukan banding atas keputusan Shogun sebelum bertindak."
Terdengar gumaman bernada setuju sehingga Oishi merasa lega. Setidaknya, tidak semua orang menentangnya. Kini ada kesempatan untuk mencapai kesepakatan yang akan memuaskan semua pihak walaupun untuk sementara waktu. Dia merasa puas karena sudah mengatur sebelumnya bahwa rencana ini harus diusulkan oleh Yoshida agar terlihat sebagai hakim yang netral.
Ono, bendahara, berdiri. Selama beberapa saat Oishi menyesal karena tidak berkonsultasi dengan dia sebelumnya.
Ono adalah orang tua dengan wajah yang selalu waspada, senyum kaku. Pendapatnya cukup berbobot dan dia bisa membuat masalah, tapi seperti yang sudah Oishi duga, dia menyetujui rencana Yoshida. Dia juga ingin menunggu sampai waktunya memungkinkan untuk mengambil keputusan.
"Aku setuju dengan kedua pembicara: kita harus mengajukan banding," kata Oishi setelah Ono selesai bicara. "Tidak bertentangan dengan harapan Daigaku Asano - dari apa yang dapat kupelajari tentang pandangan-pandangannya." Dia menatap langsung Hara yang menyeringai gelisah. "Selain itu, tindakan ini memberi kita kesempatan untuk melakukan persiapan."
"Persiapan untuk apa?" tanya Hara.
"Untuk pengepungan, bila petisi kita ditolak," jawab Oishi.
Inilah pertama kalinya dia memberi isyarat soal suatu tindakan sesuai keinginan anak buahnya. "Aku yang akan menulis petisi itu dan mengirimnya untuk disampaikan ke pejabat yang berwenang di Edo. Sementara itu, kuminta kalian memikirkan tindakan terbaik menurut kalian. Begitu banyak yang telah terjadi dalam waktu yang singkat, maka kuanjurkan kalian memanfaatkan waktu untuk berpikir. Kita akan bertemu lagi besok pagi untuk membahas tindakan pertahanan, bila memang diperlukan, dan kusarankan agar hanya mereka yang siap berperang sampai mati saja yang datang."
Suasana menjadi hening dan Oishi berbicara dengan lebih perlahan sehingga takkan ada kesalahan dalam setiap ucapannya. "Kita bisa berperang dan mati, atau kita bisa memutuskan, bila jumlah kita terlalu sedikit, mungkin sebaiknya kita berlutut di depan kastil dan melakukan seppuku untuk menyambut perwakilan Shogun - jika perbuatan itu tidak dianggap terlalu pengecut."
Kini keadaan menjadi hening. Seppuku adalah cara terakhir untuk memerangi ketidakadilan. Ini merupakan bagian dari latihan seorang samurai agar tahu bagaimana dan kapan waktunya mengambil
langkah penting. Inilah pertama kalinya mereka ditawari untuk melakukannya sebagai pilihan yang sederhana. Oishi memang memberi mereka banyak hal untuk dipikirkan.
Ketika pertemuan itu bubar dan mereka kembali melakukan tugas mereka, Oishi menoleh ke arah Kataoka yang sedang menunggunya untuk bertanya bagaimana keadaan di Edo.
"Baik, baik," kata Kataoka dengan mengangguk cepat. "Horibe telah melaksanakan tugasnya dengan baik."
Lalu dia menceritakan bagaimana Horibe selalu mengawasi jalur keluar kota sehingga dia tahu kapan pasukan untuk mengambil alih kastil di Ako akan dikirim. Dia juga memerhatikan setiap gerakan Kira sehingga tahu kapan waktunya menyerang. Oishi kuatir kalau Horibe, yang mudah naik darah, akan bertindak melampaui batas. Tapi Kataoka meyakinkan bahwa seluruh anggota di Edo telah bersumpah untuk mentaati perintah dari Ako. Lega mendengar hal itu, Oishi menyuruh Kataoka makan dan beristirahat. Ketika berjalan ke istal, dia bertemu Hara yang meminta maaf kepadanya.
"Percayalah, aku menyesal telah mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanmu," katanya. "Aku memang tidak dapat menahan diri jika sedang bersemangat. Aku tahu sikapku hanya akan menimbulkan masalah, tapi aku memang selalu seperti ini dan rasanya tak bisa berubah."
Oishi tersenyum. "Aku cukup mengenal sifatmu itu," katanya. "Dan jangan kuatir dengan apa yang telah terjadi dalam pertemuan tadi. Kau mewakili satu pandangan dan aku senang kau begitu bersemangat. Kita meminta mereka menyerahkan nyawa pada keputusan kita dan mereka harus tahu betul akibat dari pilihan yang ditawarkan. Kita harus memberi mereka kesempatan untuk memutuskan agar mereka yang mengundurkan diri tak kehilangan muka di hadapan teman-teman mereka."
Hara menatapnya dengan rasa hormat. Dia terkesan pada atasannya yang memiliki otak sekaligus semangat untuk berjuang.
"Pasti berat sekali untukmu," katanya dengan sopan, "untuk mempertimbangkan semua pendapat... Kau bisa mengandalkan diriku untuk melaksanakan perintah-perintahmu."
Oishi tersenyum. "Terima kasih, teman. Aku tahu kalau aku dapat mengandalkan dirimu dalam setiap kesulitan."
Hara menunduk sebagai ungkapan rasa terima kasih dan mereka melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di istal, Oishi memeriksa barisan kandang di mana masih ada beberapa ekor kuda yang tak pernah disikat dan surainya dibiarkan tergerai. Dia menggelengkan kepala, terkejut melihat keadaan kuda-kuda itu. Lalu dia panggil kepala kandang. Ketika orang itu muncul, sama berantakannya seperti kuda-kuda yang menjadi tanggung jawabnya, dengan tidak terduga Oishi memerintahkan untuk menyikat serta memotong kuku kuda agar terlihat prima. Petugas itu terkejut mendengar perintahnya dan dengan gembira langsung menyingkir sebelum Oishi berubah pikiran. Hara juga terkejut dengan perintah itu.
"Kau akan melawan?" tanyanya dengan ragu.
"Tak harus begitu," kata Oishi. "Tapi seandainya kita memutuskan untuk mengosongkan kastil ini dengan damai, kita takkan menugaskan pengawal yang berantakan, kan?"
Hara setuju dan kembali mengawasi petugas kandang yang mulai bekerja. Ketika melihat ke arah Oishi, dia merasa bahwa pemimpinnya itu tampak gelisah.
"Aku telah memaafkan ucapanmu tadi," kata Oishi. "tapi aku tak bisa begitu saja memaafkan karena kau tidak memberitahukan soal pertemuanmu dengan Daigaku dan Lord Toda. Tanpa keterangan itu, mungkin aku melakukan kesalahan besar yang bisa membuat kita kehilangan nyawa dengan sia-sia."
"Maa£" gumam Hara.
"Aku akan memaafkan jika kau berjanji takkan membalas Mimura atas keberaniannya."
Hara menyeringai, lalu menunduk dengan segan. Sebenarnya dia sedang menunggu kesempatan untuk memukuli pelayan yang banyak omong itu sampai sekarat.
"Pegang janjimu," kata Oishi, "atau akan aku ceritakan pada semua orang bahwa kau mengkhianatiku. "
Sikapnya menandakan bahwa ini bukan ancaman kosong, dan prajurit itu membungkuk hormat ketika Oishi pergi. Setelah itu dia menggaruk-garuk kepala dan menghela napas.
Kini, Oishi mulai menghadapi ujian pertama atas kepemimpinannya. Bila yang hadir dalam pertemuan kedua ini jauh lebih sedikit, maka harapan untuk balas dendam hilang. Pada saat ini, dari dalam kastil dia memerhatikan para samurai yang mulai berdatangan. Dia sedang menghitung jumlah mereka ketika dikejutkan dengan kehadiran seseorang di sampingnya. Ternyata Hara, yang juga ingin tahu siapa saja yang berpihak pada mereka dan siapa yang tidak. Ketika menghitung bersama-sama, ternyata jumlah yang hadir jauh lebih sedikit dari sehari sebelumnya; pada waktu pertemuan akan dimulai, hanya ada sekitar enam puluh orang dari jumlah keseluruhan tiga ratus orang.
Hara sangat kecewa namun Oishi memandang perkembangan ini secara filsafat.
"Setidaknya kini kita tahu siapa yang bisa diandalkan," katanya sambil tersenyum.
"Bagaimana tentang pengepungan?" tanya Hara dengan cemas. "Kau bilang itu langkah selanjutnya bila petisi kita ditolak, kan?"
Oishi menunjuk pada kumpulan orang-orang di luar. "Takkan ada perang. Tidak dengan hanya sedikit orang di pihak kita. Dan bila kau benar-benar memerhatikan, kau tahu bahwa banyak di antara mereka yang sudah terlalu tua untuk berperang."
Hara menggelengkan kepala. "Kalau begitu tak ada pilihan lain selain menyerahkan semuanya tanpa berjuang."
Oishi tersenyum, bukan senyum yang menyenangkan. "Oh, masih ada satu pilihan lagi." Setelah itu dia melangkah keluar dan mengangkat tangan agar semua tenang. Di tangannya ada dua kertas.
"Aku memegang petisi untuk utusan Shogun guna memohon kelonggaran bagi keluarga Asano agar mereka diizinkan tetap memiliki tanah dan harta lainnya karena sejarah pengabdian mereka yang sudah sangat lama pada Shogun dan para pendahulunya. Ini hanyalah permohonan pemulihan atas nama Lady Asano dan Daigaku Asano, dan apa pun dampaknya kurasa takkan membahayakan. Aku meminta Gengoemon Kataoka menyampaikan petisi ini, walaupun dia lelah, karena dia tahu situasi di Edo dan karena dia mampu berpikir cepat dan dapat memanfaatkan setiap tawaran yang mungkin mereka ajukan."
Kataoka bangkit dari posisi duduknya di hadapan para samurai dan maju untuk mengambil dokumen itu sambil menunduk hormat. Lalu dia duduk kembali sementara Oishi melanjutkan.
"Nah, jika petisi ini diterima, tak ada yang perlu dicemaskan. Sebaliknya, bila ditolak, maka kita harus memutuskan tindakan selanjutnya. Kita hanya punya dua pilihan: berlutut di depan kastil dan melakukan seppuku sebagai bentuk protes, atau menyerahkan kastil ini secara damai... dan setelah itu kita berpisah sambil menunggu waktu yang tepat untuk balas dendam pada Kira!"
Hara yang berdiri dan berteriak untuk pilihan kedua dan yang lain langsung mengikuti. Oishi tersenyum atas semangat mereka, dan mengangkat tangan dengan raut wajah yang lebih serius.
"Kalian harus tahu bahwa betapa pun menariknya tindakan itu bagi ksatria seperti kalian, namun balas dendam bertentangan dengan undang-undang. Jadi, ada baiknya kita ingat bahwa seandainya kita berhasil, kita akan dihukum karena telah melanggar hukum. Harus kutambahkan bahwa hukuman atas tindakan ini adalah mati. Jangan kalian lupa itu. Apakah kita melakukan seppuku atau digantung para algojo, akhir dari perjuangan kita adalah
kematian. Ini akan menjadi kematian bagi kita semua, tapi dengan terhormat!"
Teriakan yang terdengar tak lagi selantang sebelumnya, namun dilakukan dengan sepenuh hati dan Oishi puas bahwa mereka yang hadir dapat diandalkan untuk berjuang hingga akhir. Dia membuka dokumen yang kedua dan meletakkannya di tangga kastil. Dokumen itu berisi janji setia, dan dia minta mereka maju dan menandatanganinya. Ketika para samurai berkumpul dengan penuh semangat, Oishi melihat bahwa ada seorang anak yang belum lagi remaja. Dia menghentikan anak itu dan menanyakan umurnya. Anak itu bersumpah kalau umurnya enam belas tahun. Sikapnya mendukung ucapannya sehingga Oishi tak tega menanyai dia lebih lanjut. Dia pun diizinkan memberi tanda, seperti yang lain.
Ketika tiba giliran Hara, dia menunjuk dengan kuas ke arah gerbang kastil. Oishi menoleh untuk melihat apa yang ditunjuknya. Gerbang itu terbuka sedikit, Oishi melihat Mimura sedang berdiri di sana. Awalnya dia marah karena seorang pelayan begitu lancang mendengarkan pertemuan mereka, namun kemudian dia mengerti maksud Hara.
"Mimura," panggilnya, dan Mimura pun maju ragu-ragu. Oishi memandang ke arah hadirin. "Ada satu orang lagi yang ingin bergabung. Walaupun dia hanyalah pelayan, aku tak keberatan dia ikut dalam pasukan kita. Dia telah menunjukkan kesetiaannya sama seperti kita. Bagaimana menurut kalian?"
Terdengar suara-suara setuju yang dipimpin oleh Hara. Mimura pun diperkenankan memberi tanda tangan. Tandatangannya adalah yang keenam puluh dua dan dengan begitu terbentuklah pasukan balas dendam Oishi.*

LIMA

Setelah kepergian Kataoka ke Edo, Oishi beserta anak buahnya memusatkan perhatian untuk membuat keadaan kastil dan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat baik. Bila mereka
menunggu sampai petisi mereka ditolak dengan resmi, dan mereka harus akui bahwa hal ini sebagai kemungkinan yang paling pasti, mereka takkan sempat mengatur segalanya sebelum pasukan Shogun tiba.
Pekerjaan dimulai dengan melakukan beberapa perbaikan kastil dan melakukan inventarisasi atas seluruh harta. Sebagai bendahara, Ono bertugas membuat pembukuan yang lengkap dan mengumpulkan semua uang yang beredar. Semua itu takkan diserahkan kepada Shogun, tapi akan dibagikan di antara anggota keluarga di saat yang dianggap tepat oleh Oishi.
Dengan menunggang kuda, Oishi berkeliling wilayah itu untuk memeriksa sesuatu yang tidak beres yang mungkin akan diperhatikan perwakilan Shogun. Dia melihat jembatan batu yang roboh, pagar kayu yang papannya rusak, atap ilalang yang harus diperbaiki, jalan-jalan di pinggir kuil yang kurang terawat, dan hal-hal lain seperti sampah yang bertebaran dijalan. Ketika dia melihat seorang wanita petani sedang memegangi anaknya di tepi saluran air, Oishi memintanya menggunakan ember. Dalam hal ini, dia tidak hanya memikirkan penampilan tapi juga aspek-aspek praktis dalam penggunaan bahan yang ada di ladang sebagai pupuk.
Semua orang ditugaskan bekerja. Pekerjaan terberat yaitu perbaikan jalan utama dari kota menuju kastil, para samurai bahkan bekerja berdampingan dengan petani dan penduduk kota. Proyek ini membutuhkan batu yang banyak diambil dari dasar sungai, karena itu dibentuklah barisan ember yang panjang. Tak lama kemudian ratusan orang bekerja di sepanjang jalan di sinar matahari yang dingin, seringkah dengan embun beku yang keluar dari napas mereka.
Pada suatu pagi di penghujung bulan Maret, saat Oishi sedang memeriksa perkembangan pekerjaan di jalan, Kataoka tiba kembali di Ako, kotor dan nyaris kehabisan napas. Debu berkumpul di kerut-kerut wajahnya dan matanya kelihatan seperti segaris merah ketika dia melompat dari kuda di dekat kaki Oishi.
"Maaf" katanya sambil menunduk hingga ke jalan yang berdebu. "Entah bagaimana, aku gagal bertemu perwakilan Shogun. Mereka telah meninggalkan Edo saat aku tiba di sana."
Oishi merasa kecewa. Hal pertama yang terlintas di benaknya adalah putri Lord Asano. Dia tidak mengetahui isi perintah Shogun soal anak ini. Ibunya sudah dilarang bertemu anggota keluarga yang lain, tapi apakah keputusan itu juga diberlakukan atas putri Lord Asano? Dia sadar bahwa waktunya amat singkat sehingga dia langsung bertanya pada Kataoka.
"Kenapa Horibe tidak memberitahu? Seharusnya dia mengawasi jalan keluar dari kota, kan?"
"Mereka menggunakan jalan memutar," jawab Kataoka. "Kau harus tahu bahwa kebanyakan orang di Edo tidak menyukai Kira, dan tampaknya kebe-rangkatan pasukan itu dirahasiakan."
Oishi senang mendengar bahwa masyarakat berpihak pada mereka, namun itu tak mengubah kenyataan bahwa para petugas sedang dalam perjalanan untuk menyita kastil.
"Kau tahu kapan mereka akan tiba di sini?"
"Dua atau tiga hari lagi," kata Kataoka.
Oishi segera mulai berpikir untuk mengubah rencana soal perbaikan tambahan terhadap kastil, tapi dia diganggu oleh ucapan Kataoka selanjutnya.
"Kuharap aku tidak melewati batas kewenangan, Oishi-dono, namun ketika aku tahu kalau sudah terlambat, aku menemui Daigaku Asano di rumah pamannya. Kupikir mereka memiliki beberapa petunjuk soal petisi kita."
"Ya?" kata Oishi dengan penuh perhatian.
"Mereka sudah baca petisi itu. Mereka minta kau tidak menentang pengambilalihan kastil. Dan mereka mengirimkan surat ini untukmu." Dia ambil surat itu dari balik pelindung dada lalu dia serahkan sambil membungkuk.
Oishi ambil surat itu lalu membacanya. Daigaku dan Toda merasa bahwa petisi itu bagus dan hampir seluruh isi petisi masuk akal - walaupun mereka juga keberatan soal kesulitan yang dihadapi Oishi dalam mengendalikan anak buahnya karena itu dapat diartikan sebagai ancaman - tapi mereka tetap bersikeras agar kastil diserahkan secara damai bahkan bila petisi mereka ditolak.
Oishi tersenyum. Dia tak kaget dengan isi surat itu dan Kataoka lega melihat bahwa dia tidak dimarahi atas perbuatannya. Masih ada satu lagi kabar yang ingin sekali Oishi tahu, tapi dia bertanya dengan sikap biasa.
"Bagaimana dengan Lord Kira? Kurasa dia sudah pulih dari lukanya?"
Kataoka langsung menatap ke arahnya. Dia terlalu mengenal Oishi untuk menganggap pertanyaan itu tidak bermakna apa-apa.
"Horibe melaporkan bahwa kondisinya hampir pulih. Kami sudah menugaskan seseorang di dekat jalan masuk kastil selama siang dan malam. Bila Kira dapat melakukan perjalanan, kita akan segera diberitahu."
Kemudian, di ruang belajar yang sama di mana dia menerima Hara ketika dunia mereka mulai runtuh, Oishi membicarakan keadaan ini dengan Yoshida. Oishi mengatakan kalau dia lega telah menulis surat kuasa untuk menyerahkan kastil kepada utusan Shogun, tapi dia masih memikirkan sikap Daigaku dan pamannya. Tampaknya mereka tidak memedulikan keadilan atau balas dendam dan bahkan sama sekali tidak menyebut nama Kira.
Yoshida mengangguk. "Aku juga prihatin. Tapi cobalah melihat melalui sudut pandang mereka. Mereka merasa berada dekat sekali dengan bencana baru - misalnya kehilangan nyawa atau harta benda - dan bahwa mereka tak ingin mengingat tragedi ini. Walaupun begitu, kita yang di Ako yang merasakan akibatnya secara langsung. Sebenarnya kita yang akan kehilangan rumah, bukan mereka."
Oishi setuju bahwa mungkin Yoshida benar dan memutuskan untuk tidak melibatkan Daigaku dan pamannya dalam setiap rencana balas dendam yang akan disusunnya. Dengan begitu, dia dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan untuk melakukan tindak kekerasan karena tahu mereka takkan dituntut. Yoshida sepakat bahwa ini merupakan keputusan yang bijaksana.
Tugas berikutnya yaitu memberi perintah terakhir pada anak buahnya. Ketika semua telah berkumpul di depan kastil, Oishi membacakan surat dari Daigaku dan merasa tertekan melihat banyaknya wajah kecewa anak buahnya. Jelas kini bahwa mereka harus menyerah, kecuali ada mukzizat, dan mereka bukanlah orang yang percaya pada mukzizat. Oishi mengingatkan mereka bahwa walaupun perwakilan Shogun yang datang ke Ako menerima petisi, tapi mungkin mereka tak berwenang memutuskan dan harus meneruskannya ke Edo untuk mendapatkan keputusan akhir. Jadi, tak ada yang dapat dilakukan kecuali pergi. Sudah tiba waktunya mereka memberitahukan keluarga untuk berkemas, dan hanya boleh membawa barang yang dapat dibawa sendiri. Dia menekankan bahwa mereka harus menaati perintah Shogun atas pengambilalihan sesuai isi surat itu dan jangan melakukan sesuatu yang dapat membuat Daigaku kehilangan kesempatannya untuk menerima warisan.
Setelah itu, tiba waktunya untuk membagi-bagi uang dari Klan Asano. Pertama-tama, sebagian uang diberikan ke kuil setempat untuk merawat makam para lehihur. Lalu, sejumlah uang yang merupakan mas kawin Lady Asano disisihkan. Kemudian sejumlah uatig diberikan untuk pelayan maupun penduduk kota. Sejauh ini tak ada yang memprotes cara pembagian ini, tapi ketika Oishi mengusulkan agar sebagian uang disisihkan untuk "memperbaiki kediaman, keluarga Asano", seperti yang dia duga, sebagian samurai menggerutu. Tapi keberatan mereka tak berlanjut.
Di kelompok ini tak seorang pun berani mempermasalahkan bagian yang diterima. Sisanya dibagi di antara mereka sesuai pangkat serta lamanya masa tugas mereka. Jumlah yang mereka terima tidaklah besar dan semuanya sadar kalau mereka
menghadapi niasalah ekonomi yang sangat berat jika tak mau disebut kemiskinan.
Ketika dengan rapi mereka maju satu demi satu untuk menerima bagian, Oishi memikirkan nasib mereka. Mereka bukan lagi samurai, kini mereka mendapat gelar yang buruk: ronin. Mereka akan menjadi orang yang kesepian, tanpa pekerjaan dan kebanggaan. Masih boleh menggunakan dua pedang panjang, tapi tidak punya alasan yang tepat untuk menggunakannya. Tak heran mudah sekali bagi seorang ronin mengalami nasib yang buruk, pikirnya. Beberapa di antara ronin akan menjadi pengemis atau orang bayaran. Bahkan, ada yang menjadi penjahat. Oishi sadar bahwa bahkan samurai dari Ako pun dapat terjerumus dalam kesulitan yang sama jika ia tak mampu menyatukan mereka.
Setelah semuanya dibagikan, Oishi merasa terpanggil untuk menyampaikan pesan terakhir. Mereka sudah selesai menghitung uang dan kini memusatkan perhatian mereka kepadanya. Kata-katanya jelas dan langsung kepada pokok permasalahan.
"Kemana pun kalian pergi, apa pun yang kalian lakukan, ingatlah bahwa di benakku dan di benak pemimpin kita kalian selalu menjadi samurai Klan Asano. Selalu bertindak yang dapat menjadi penghormatan bagi keluarga ini. Aku tahu Lord Asano senantiasa menjaga kalian semua seperti aku juga tahu dia selalu menjagaku. Mari kita buat arwahnya bahagia - tidak sedih."
Suasana menjadi hening dan setelah itu mereka bubar. Pertemuan terakhir yang mereka hadiri di Ako ini sudah selesai.
"Mereka datang!" teriak penjaga di pintu, dan kabar itu segera sampai pada Oishi. Dia segera menyelesaikan sarapan dan bergegas menuju menara pengawas yang menghadap ke padang rumput di luar kastil. Dari debu yang beterbangan, tampak jelas kalau pasukan Shogun memang sudah tiba.
Dengan cepat dia memberi perintah: semua samurai berpakaian siap tempur, semua pos jaga harus ada orang, semua kuda harus siap digunakan. Dia sendiri mengenakan pakaian berkuda, bukan pakaian perang, tapi dia juga memakai pelindung dada yang tebal
dengan lambang Asano. Setelah itu dia bergabung dengan penunggang kuda lain yang bersiap di balik gerbang pintu yang tertutup, mengambil posisi di mana dia dapat melihat melalui lubang pengintai.
Di depan pasukan Shogun yang berjalan kaki, terlihat pemimpin pasukannya. Pemimpin itu adalah laki-laki berpangkat tinggi yang berusia sekitar lima puluhan dengan menunggang kuda yang maju dalam langkah teratur. Utusan Shogun itu hanyalah satu pasukan kecil, tapi Oishi tahu bahwa jika para samurai Ako melawan, maka para daimyo dari wilayah sekitar akan segera mengumpulkan kekuatan atas perintah Shogun.
Laki-laki berkuda itu terus maju sambil mengamati serta mengagumi kebersihan kastil dan sekitarnya. Dia hampir mendekati kastil ketika wakilnya, laki-laki gemuk yang juga menunggang kuda, memberitahukan bahwa gerbang kastil telah dibuka secara perlahan.
Ketika kelompok Oishi muncul di balik gerbang yang terbuka, langkah pasukan yang berjalan makin cepat, tapi kemudian langkah mereka kembali seperti semula setelah melihat Oishi dan anak buahnya bergerak dalam formasi berparade.
"Selamat datang di kastil Asano," sambut Oishi dengan resmi ketika dia menghentikan pasukannya dan memberi pengormatan. Pasukan Shogun pun berhenti dan menunduk sopan atas sambutan yang ramah. Ketegangan di antara mereka pun hilang dan wakil komandan yang bertubuh gemuk itu mengusap dahinya.
Sikap saling menghormati ini mewarnai hubungan yang terjadi selama beberapa hari kemudian. Oishi puas melihat pemimpin pasukan yang bernama Araki tampak terkesan dengan keadaan kastil dan dengan penghormatan yang mereka terima.
Pada kesempatan pertama, ketika kelompok Edo dapat beristirahat setelah perjalanan panjang, Oishi menyampaikan petisi mereka. Dia juga menceritakan tentang sejarah Klan Asano sejak pengabdian m-ereka kepada Shogun yang pertama, Ieyashu, dan mengakhirinya dengan mengatakan bahwa mereka bersedia
mengorbankan apa pun bila Daigaku dijadikan penerus Lord Asano yang mereka cintai, bahkan akan melakukan seppuku di makam.
Araki terkesan dengan ketulusan Oishi dan anak buahnya dan berjanji akan berusaha melakukan yang dapat dia lakukan untuk mereka. Dia menjelaskan kalau dia tidak berwenang memberi jaminan apa pun, tapi dia akan berusaha memastikan bahwa petisi mereka diperhatikan Kiasar Tsunayoshi. Dia bahkan menulis rekomendasi dan mengirimnya bersama petisi itu ke Edo melalui seorang utusan.
Hal ini membesarkan hati Oishi. la merasa kalau Araki dapat diandalkan untuk menindaklanjuti masalah ini bila telah kembali ke Edo. Tak ada alasan untuk meragukan janji seorang prajurit berpengalaman pada prajurit lain. Oishi berdoa semoga permohonannya akan dipenuhi.
Pemeriksaan kastil dan wilayah di sekitarnya butuh waktu lima hari. Pada hari terakhir, Araki menyatakan bahwa sebagai wakil resmi Shogun, dia puas karena semuanya dalam kondisi baik dan terdata dengan baik. Dia siap mengambil alih kastil.
Malam itu Oishi kembali pergi ke Kegaku-ji, kuil Klan Asano. Ternyata anak buahnya sudah berkumpul di sana untuk mengucapkan salam perpisahan kepada leluhur dan juga rekan-rekannya. Oishi pun berbicara satu per satu dengan mereka dan mengatakan yang berada dalam kelompok sukarelawannya untuk menyebarkan berita di mana dia berada, tapi meminta mereka tidak menghubunginya selama dua bulan hingga kelompok mereka takkan dicurigai. Dia menyampaikan pesan yang berisi harapan bahwa pada akhirnya kehormatan nama baik majikan akan dipulihkan, walaupun ia cemas apakah mereka dapat bertahan sebagai satu kelompok. Dia tahu bahwa perpisahan akan membuat posisinya sebagai pemimpin menjadi lemah dan bahwa disiplin serta moral, betapa tingginya saat ini, akan rusak oleh waktu.
Keesokan paginya, gerbang kastil dibuka dan pasukan Araki menggantikan penjaga yang lama. Para samurai dari Ako beserta keluarga keluar sambil menarik kereta yang berisi barang dan
bergerak perlahan keluar kastil. Oishi dan Araki saling memberi salam perpisahan dengan resmi dan setelah itu pasukan Shogun mengambil alih kastil lalu menutup gerbang.
Oishi dan anak buahnya terdiam ketika memandang untuk yang terakhir kalinya. Para wanita menangis sebagaimana yang diharapkan untuk dilakukan para istri dan putri samurai. Kemudian seorang bayi mulai menangis. Agar keadaan tidak semakin menyedihkah, mereka pun bergerak ke berbagai arah, tergantung ke mana mereka merasa akan memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan.
Oishi dan keluarganya berjalan menuju jalan utama yang mengarah ke Osaka dan Kyoto, begitu juga kebanyakan anak buahnya, termasuk Hara, Kataoka dan Mimura. Dia menunggang kuda di sisi kereta yang penuh tumpukan barang sementara putranya, Chikara, berjalan di sampingnya. Istrinya dan tiga anak kecil mengikuti dari belakang. Ketiga anak itu memakai pakaian yang mirip. Tak ada yang tahu kalau salah satu anak kecil itu adalah putri Lord Asano. Oishi sudah bersumpah akan melindungi anak itu bahkan jika perlu dengan nyawanya. Dia tidak ingin anak ini diasuh orang lain. Dia lebih memilih untuk menanggung risiko dan tanggung jawabnya sendiri. Dia tidak mengetahui apa perintah Shogun tentang anak ini dan lebih memilih untuk membiarkan Araki mengira anak ini tinggal bersama ibunya, yang memang akan dilakukannya bila saatnya sudah tepat.
Ketika kastil semakin, menghilang dalam debu di belakang mereka, Oishi menoleh ke gadis kecil itu. Gadis cilik itu tidak menangis, bahkan ketika diberitahu tentang kematian ayahnya dan pengasingan ibunya. Oishi terkesan pada kemampuan gadis ini mengendalikan diri, sungguh seorang putri samurai sejati.* f
Di musim semi itu, Kyoto dilanda banjir besar yang membuat gerakan pertama Oishi menjadi lebih sulit. Sungai Kamo yang mengalir di tengah kota meluap, membawa kematian serta kerusakan. Sebagian besar jembatan utama runtuh, dan melewati daerah itu bersama anak kecil tidaklah mudah. Satu-satunya
keuntungan yaitu mata-mata dari Edo makin sulit mengikuti, bila mereka dimata-matai.
Dia membawa putri Lord Asano ke kota ini untuk mencari keluarga yang cocok di mana dia dapat dibesarkan dengan baik. Setelah itu, bila dia tak bisa bergabung dengan ibunya, maka adopsi dapat dilakukan untuk selamanya. Hal penting yaitu tak ada yang tahu kalau dia seorang Asano. Bila jatuh ke tangan Shogun, gadis ini akan dijadikan sandera agar Oishi dan anak buahnya tidak bertindak yang merugikan Shogun.
Kyoto masih menjadi kota pusat keagamaan di Jepang dan hampir sepersepuluh penduduknya yang berjumlah lima ratus ribu orang adalah pendeta atau sejenisnya. Walaupun pengaruh agama Budha telah melewati puncaknya, tapi masih banyak kuil, belum termasuk begitu banyaknya "orang suci" yang membentuk aliran baru dan memenuhi jalan dengan berpakaian sesuai khayalan mereka sendiri.
Sebagai kota perdagangan, Kyoto tidak seluas Osaka, tapi sebagai tempat hiburan kota ini tak ada saingannya. Di sini ada tiga daerah geisha yang besar, termasuk Gion yang terkenal. Para pengusaha dari Osaka serta kota di sekitarnya membuat kegiatan di daerah ini terus bergaung.
Bagi Oishi, daya tarik terbesar dari Kyoto bukanlah pengaruh spiritual atau tempat hiburannya. Dia ke Kyoto karena kota ini menjadi tempat tinggal Kaisar Higashiyama. Oishi merasa kalau putri Lord Asano akan sangat aman bila tinggal di salah satu keluarga Kaisar. Sudah diketahui umum kalau Shogun ingin menjaga agar Kaisar tidak direpotkan dengan masalah pemerintahan sehingga dia memisahkan kedua kota tersebut. Hal itu juga merupakan bagian dari tawar-menawar yang tak terucapkan bahwa Shogun takkan mencampuri urusan Kekaisaran dan takkan melakukan apa pun yang dapat menghina keluarga Kaisar. Bila dalam perlindungan anggota keluarga ini, Oishi yakin putri Lord Asano akan benar-benar aman bahkan dari Shogun sendiri.
Kejadian yang menimpa Asano telah menyebar ke seluruh Jepang dan Oishi juga menjadi bahan pembicaraan. Untungnya tidak banyak orang yang mengenalnya, dan dengan berpakaian seperti orang biasa dia tidak menarik perhatian orang. Dia menjauh dari keluarganya sendiri agar tidak diketahui mata-mata, tapi dengan berjalannya waktu dan dia masih belum berhasil mendapatkan rumah untuk putri Lord Asano, dia semakin putus asa dan ingin segera pulang.
Calon orangtua asuh yang ada dalam daftarnya mulai berkurang karena mereka punya alas an untuk menolak. Beberapa alasan mereka memang benar, seperti penghasilan yang pas-pasan, tapi sebagian besar takut terlibat dengan keluarga yjang namanya sudah tercemar. Pada calon orangtua asuh, Oishi sangat berhati-hati dalam menunjukkan wajah putri Lord Asano agar keluarga yang menerimanya kelak takkan malu bila bertemu calon orang tua asuh yang mungkin akan ingat dengan anak itu.
Dia hampir putus asa ketika saudaranya menyuruhnya ke rumah seorang bangsawan yang pernah menjadi teman baik Lord Asano. Persyaratan orang ini sangat baik: dia punya kedudukan di pemerintahan; berpenghasilan cukup, dan dia juga punya anak. Bangsawan itu berjanji akan membicarakan dulu dengan istrinya dan akan menemui Oishi serta putri Lord Asano keesokan harinya.
Pada waktu yang telah ditentukan, mereka tiba di rumah yang terletak tak jauh dari Istana Kaisar. Oishi meninggalkan putri Lord Asano di ruang masuk sementara dia membicarakan masa depan gadis itu. Oishi bingung saat pasangan itu ingin melihat putri Lord Asano, tapi tak lama kemudian dia memanggil gadis itu masuk dan memintanya membuka selendang yang menutupi wajahnya. Dalam balutan kimono terindah yang dimilikinya, dia begitu cantik sehingga keluarga itu langsung menerima dan meminta Oishi tidak mencari orangtua asuh lagi. Mereka akan terima dia sebagai "sepupu dari daerah" dan tak ada orang lain yang lebih bijak dari mereka.
Oishi puas. Dia takkan dapat keluarga yang lebih baik bagi putri Lord Asano, namun perpisahan merupakan saat yang menyedihkan.
Pasangan yang mengadopsinya mengundurkan diri agar Oishi dan gadis cilik itu dapat menyampaikan salam perpisahan secara pribadi. Oishi dan gadis itu hanya terdiam karena sadar bahwa ini mungkin pertemuan terakhir mereka. Dia memalingkan wajah, namun Oishi dapat melihat linangan airmata yang berusaha disembunyikan.
"Lebah akan menyengat wajah yang menangis," katanya dengan suara seringan mungkin, dan gadis ini pun berusaha tersenyum.
"Paman... sampaikan salamku untuk ibu."
Setelah itu dia benar-benar menangis dan langsung memeluk Oishi.
Oishi menghiburnya dengan mengatakan bahwa pesan itu akan disampaikan dan dengan lembut mengingatkan bahwa putri seorang samurai harus dapat mengendalikan perasaan.
Gadis itu pun berhenti menangis dan melepas pelukannya. Dia melangkah mundur, menyeka air-mata, lalu berusaha tersenyum. "Akan kulakukan itu, Paman," lalu menunduk. "Akan kulakukan itu untukmu."
"Untuk keluar gamu, anakku," katanya tegas. "Biar semua tindakanmu dilakukan demi kehormatan keluarga Asano."
Kemudian dia cepat-cepat membungkuk, ber-balik dan melangkah keluar. Dia tahu seharusnya dia puas karena telah melakukan tugas dengan baik, tapi ia justru merasa hampa ketika kembali kepada istri dan anak-anaknya.
Saudara-saudaranya berhasil mendapatkan rumah untuk Oishi dan keluarganya di Yamashina, desa di timur Kyoto. Lokasi ini cukup ideal karena dekat dengan Kyoto dan Osaka, di mana sebagian besar kelompoknya tinggal dan juga karena lebih dekat dengan Edo. Rumah tua yang nyaman, begitulah kesan pertama Oishi. Rumah itu dikelilingi tembok batu kasar dan di atasnya terdapat pagar rendah dari kayu. Di setiap sisi gerbang kayu yang kokoh ada tembok plester yang tidak terlalu tinggi, dan di tembok itu ada jendela kecil dengan teralis kayu. Tidak adanya penjaga di pintu dan tembok yang pendek itu memberi kesan kalau itu rumah biasa.
Setelah menyalami keluarganya dan Mimura, yang menjadi pelayannya, Oishi mengelilingi rumah dan senang dengan banyaknya ruangan besar yang dihubungkan lorong-lorong sempit yang berliku. Hal itu membuatnya merasa seperti di kastil Ako. Dia memerhatikan bahwa atap ilalang yang tebal yang diikatkan di atap tampak menjuntai, begitu pula beberapa tambalan di dinding. Secara keseluruhan dia berterima kasih pada saudara-saudaranya karena berhasil mendapatkan rumah ini. Dia mengira pasti mereka mendapatkannya dengan menggunakan uang yang ia berikan, walaupun ia tak yakin dengan hal itu seperti halnya atas sepupunya yang di Kyoto, yaitu Shindo dan Koyama.
Dia terkejut ketika mendapat surat dari beberapa daimyo terkenal yang ingin menerima dirinya sebagai kepala pelayan. Namun ia menolak dengan sopan karena alasan kesehatan. Kenyataannya dia memang menderita sakit di perut akibat ketegangan yang dialaminya setelah kematian Lord Asano. Tapi pada keluarganya dia mengatakan bahwa penyakitnya itu akan hilang bila petisi dikabulkan.
Tamu pertama mereka adalah Kataoka. Dia datang bersama Hara dan dengan gembira mengabarkan bahwa temannya yang pemarah itu telah bekerja sebagai pelatih memanah untuk penduduk kota sehingga dia dapat terus melatih kemampuan berperangnya.
Oishi terlihat tidak senang mendengar berita ini. Pikiran bahwa ksatria utamanya mengajari orang biasa salah satu seni yang dulu hanya diajarkan bagi samurai bukanlah berita bagus, walaupun dia sadar bahwa dia tidak boleh berpikir begitu. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu demi kebaikan, tapi jelas sekali dia terkejut ketika mendengar Hara menjadi guru sekolah.
Kataoka segera mengerti bagaimana perasaan Oishi dan sejak itu dia tidak membicarakan lagi soal pekerjaan Hara yang baru. Dia membantu Oishi mengatur pekerja yang akan memperbaiki rumah, dan selama beberapa hari mereka sibuk merencanakan dan mengawasi kegiatan ini. Dalam menerima pekerja, mereka berhati-hati dengan menanyakan pengalaman dan asal mereka, dengan
harapan dapat menyaring kemungkinan masuknya mata-mata dari Edo. Tapi selalu ada kemungkinan mata-mata sudah menyelinap masuk. Demi alasan inilah Kataoka mengawasi dengan ketat keluar masuknya mereka dan melaporkannya pada Oishi setiap hari.
Suatu malam, setelah para pekerja pulang, Kataoka mendatangi pemimpinnya dengan wajah cemas. Selama dua hari terakhir ini dia melihat ada seorang komuso pemain seruling, atau pendeta yang berkeliling, berdiri di seberang jalan di depan rumah. Dan baru saja, melalui lubang yang di dinding, dia melihat salah satu pekerja berbicara pada orang ini. Pertemuan itu mencurigakan karena setelah itu si pendeta mengajak orang itu pergi dan bukannya menerima sumbangan. Oishi mendengarkan dengan serius ketika Kataoka mengajaknya keluar untuk menunjukkan bahwa "pendeta" itu telah kembali. Layaknya kebanyakan komuso, dia memakai topi anyaman yang menutupi kepala untuk melindungi jati dirinya. Pakaian itu adalah bentuk penyamaran yang sempurna bagi seorang mata-mata, kalau itu memang pekerjaannya.
Oishi harus mengakui bahwa tingkah laku orang itu mencurigakan, namun dia tidak tahu apa yang dapat dilakukan kecuali mencari tahu pekerja yang berhubungan dengan orang itu lalu memberhentikannya. Sadar akan kenyataan bahwa begitu satu kata terucapkan tidak dapat ditarik kembali, maka sejak itu Oishi dan Kataoka hampir tak pernah saling bicara karena takut terdengar orang lain. Bila mereka bukan memata-matai, mungkin mereka hendak merampok. Oishi tak ingin peti penyimpanan dana untuk "perbaikan rumah Asano" dalam bahaya.
Pada tanggal 14 Agustus, ada mata-mata atau tidak, Oishi memutuskan untuk mengunjungi Kuil Reikoin di utara Kyoto. Sudah lima bulan sejak kematian Lord Asano dan karena keluarga Asano lainnya juga dimakamkan di sini, maka inilah tempat yang paling tepat untuk mengenang peristiwa itu. Lagipula, sebelum meninggalkan Ako, Oishi telah menyusun rencana untuk bertemu beberapa pengikutnya pada tanggal ini.
Dia tiba lebih dulu di kuil yang terletak di tepi hutan yang sepi, dan sementara Katapka menunggu di gerbang untuk membimbing mereka yang akan menemuinya, dia berdiri di antara makam keluarga Asano untuk kembali berkumpul dengan arwah pemimpinnya. Dia melaporkan semua yang terjadi hingga hari itu, termasuk penempatan putri Lord Asano dan pengajuan petisi. Dia membayangkan arwah Lord Asano akan lebih tenang setelah putrinya aman, meskipun berbagai persoalan lain masih ada. Oishi kembali menegaskan tekadnya untuk membawa kedamaian bagi arwah majikannya.
Ketika pengikutnya tiba, dia sambut mereka dengan hangat. Dia senang melihat sebagian besar dari enam puluh dua orang yang telah bersumpah setia hadir, namun hanya menekankan pidatonya pada peringatan hari kematian dan tidak menyebut soal rencana selanjutnya. Tapi, dia meminta mereka bertemu setiap bulan agar selalu ada kontak. Dia mengucapkan salam perpisahan sambil berusaha menumbuhkan tekad yang kuat jika ingin tujuan mereka berhasil. Setelah itu mereka pergi dengan berdua atau bertiga hingga hanya tinggal Oishi dan Kataoka. Hari sudah larut malam ketika mereka keluar dari gerbang kuil, tapi kemudian mereka terkejut melihat orang bertopi keranjang itu mengawasi dari seberang jalan.
"Mungkin hanya kebetulan," bisik Oishi. Lagi pula, ada banyak sekali orang seperti itu di Kyoto. Tapi, melihat mata Kataoka yang mengancam, Oishi menarik tangan dan mengajaknya pergi. Ini bukan waktunya untuk bertindak.
"Aku akan terus berjalan," bisik Oishi. "Kau tunggu untuk melihat apakah aku diikuti. Nanti aku akan menemuimu di rumah."
Kataoka mengangguk dan mereka lalu berpisah. Kini mereka akan tahu siapa sebenarnya orang yang bertopi keranjang itu.
Dengan mengambil jalur berliku-liku, Oishi tiba di tikungan yang mengarah ke salah satu pusat hiburan. Ini pengalaman yang mengejutkan baginya. Tempat ini merupakan dunia malam yang di siang hari nyaris tak ada kegiatan dan hanya benar-benar hidup di
malam hari serta lampion merah sudah dinyalakan di jalan-jalan yang sempit. Rumah-rumah pelacuran yang dapat dikenali melalui "gadis pengawas" yang berdiri di depan pintu menunggu pelanggan. Gadis yang melakukan tugas ini biasanya sedang dihukum oleh pemiliknya karena tingkah lakunya dan harus mau tidur dengan siapa pun yang menawar dengan harga rendah. Cara yang sama juga diterapkan di seluruh negeri dan Oishi telah terbiasa dengan pemandangan ini seperti yang dilihatnya dalam perjalanan di Ako.
Namun, semakin masuk ke daerah hiburan itu, ada hal-hal yang tak terbayangkan olehnya. Secara tak sengaja dia melihat tempat hiburan yang dibangun dan ditata dengan sangat indah yang membuat Kyoto menjadi terkenal - yaitu rumah-rumah geisha di Gion. Di sini, di tepi sungai Kamo, terdapat pemandangan yang paling menakjubkan dan paling meriah di seluruh negeri dan Oishi cemas ketika berjalan melewati tembok-tembok rahasia mereka dan pintu-pintu masuk yang terang, yang belum pernah dikenalnya.
Namun kesan yang paling jelas dan menjijikkan kota Gion diperolehnya dari tingkah laku rendah beberapa samurai. Mereka berbicara dengan keras, mabuk dan mengomel di sepanjang jalan, dan Oishi harus menahan diri untuk tidak menarik pedang dan memberi pelajaran atas sikap mereka. Namun dia sadar kalau dia bertindak, hal itu akan menjadi petunjuk bagi mata-mata bahwa dia belum mengundurkan diri. Dengan pahit dia menahan marah dan terus berjalan, meskipun di dalam hati dia masih menyalahi kelembutan yang melanda para samurai dan juga godaan di kota itu yang tampaknya tidak dapat mereka tolak.
Ketika dia tiba di rumah, dia hanya menunggu sebentar sebelum Kataoka muncul. Oishi jelas sudah diikuti dan "pendeta" itu telah berada pada posisinya di depan rumah. Oishi merasa perutnya sakit ketika berjalan keluar untuk melihat melalui lubang di dinding sambil berusaha menebak tujuannya. Apa pun tujuannya, dia menyaksikan pertemuan di Kuil Reikoin dan dia akan melaporkan kejadian ini pada atasannya.
Sementara mereka mengawasi dia, komuso lain dengan pakaian datang dan berdiri di tempat orang pertama berdiri. Jelas sudah waktunya untuk mengganti petugas dan Kataoka memohon pada Oishi agar diizinkan mengikuti orang pertama sehingga mereka bisa tahu identitas musuh.
"Jika kita tahu wajah mereka, Oishi-dono, kita bisa mengenali mereka. Kalau tidak, kita akan terus berada dalam kegelapan."
"Baik, pergilah. Tapi berjanjilah bahwa kau tak akan bertindak ceroboh. Setiap tindakan yang menarik perhatian mata-mata akan langsung dilaporkan ke Edo dan rencana kita bisa hancur."
Kataoka berjanji dan mereka pun masuk ke dalam rumah dan memakai mantel. Kemudian dia keluar lewat pintu samping lalu memutari rumah dan muncul di jalan yang membuatnya terlindung dari pengawasan orang. Mata-mata yang pertama sudah mendahului mereka, tapi hanya ada satu jalan dari Yamashina ke Kyoto dan Kataoka tak kesulitan mengikuti jejaknya dalam terang sinar bulan.
Ternyata, jarak yang harus ditempuh tidak jauh. Orang itu tinggal di penginapan di pinggiran Kyoto. Kataoka menahan napas ketika orang itu melepas topi keranjang dan melempar seruling kayunya di semak-semak di depan pintu masuk. Tak seorang pun di dalam penginapan yang akan mengenalinya sebagai "pendeta".
Orang yang bertubuh tinggi dan kurus, serta jauh dari kesan seorang samurai itu segera masuk ke penginapan. Kataoka berusaha maju sedekat mungkin agar dapat melihat dan mendengarkan. Untungnya malam itu hangat dan semua shoji di penginapan itu terbuka. Dia melihat orang yang diintainya menghilang di balik tangga, maka Kataoka bergegas ke halaman samping dan melihat orang itu masuk ke kamar di lantai dua. Kataoka melompat ke atap bangunan di sebelahnya, lalu melompat lagi ke sudut balkon kecil di luar kamar itu. Di kamar itu ada dua orang lain dan Kataoka menahan napas ketika memerhatikan bayangan orang-orang itu bergerak di balkon di sebelahnya.
Orang kurus yang dia ikuti menyampaikan tentang kegiatan Oishi. Bicaranya pelan sehingga Kataoka tidak dapat mengenali suaranya. Sementara mendengarkan, dia terkesan pada ketelitian orang itu: orang itu tahu nama semua orang yang berkumpul di kuil. Dia juga melaporkan bahwa mungkin dia telah dikenali sebagai mata-mata karena Oishi mengambil jalan memutar ketika meninggalkan kuil, tapi menurutnya hal itu tidak membahayakan. Bila para pengikut Asano tahu sedang diawasi, ada banyak alasan untuk yakin kalau mereka takkan bertindak tergesa-gesa.
Kemudian mata-mata itu melepas jubah pendeta dan jaket haori. Dia mencari tempat untuk menggantung jaket sambil mengatakan bahwa dia akan mengirim pesan ke Edo malam ini. Pertemuan di Kuil Reikoin merupakan bukti pertama yang harus dia laporkan setelah berminggu-minggu mengawasi
Oishi. Orang itu berjalan ke balkon lalu menggantung mantel di pagar balkon, hampir terkena wajah Kataoka. Kataoka terdiam di tempatnya saat orang kurus itu hampir menginjak kakinya, lalu mata-mata itu kembali masuk ke kamar.
Dua orang itu mengomentari laporan itu. Kataoka mengenali salah satu suara sebagai orang yang bekerja di rumah Oishi. Setelah merasa cukup mendengarkan, Kataoka berdiri untuk melompat dari balkon ketika tanpa sengaja dia melihat gambar pada haori yang tergantung di pagar balkon. Dia menarik napas terkejut, lalu tersadar dan langsung melompat ke bawah.
"Itu lambang Uesugi," katanya dengan tergesa-gesa ketika Oishi mengajaknya masuk lewat pintu samping. "Uesugi dari Yonezawa - kau tahu klan itu, mereka pemanah ulung!"
Oishi mengerutkan dahi. "Uesugi... ya. Cucu musuh kita, Kira, diadopsi Klan Uesugi belum lama ini... Horibe menyebut ini dalam laporannya. Aku dengar kalau ketua penasihat klan itu, Chisaka, orang yang licik... itu bukan nama orang yang kau dengar malam ini, kan?"
"Bukan, mereka memanggilnya Fujii."
"Dia pasti mata-mata profesional. Chisaka hanya akan menggunakan orang yang terbaik."
"Mengapa Chisaka begitu perhatian atas masalah Kira hanya karena anaknya diadopsi? Apakah kita juga harus memperhitungkan pasukan pemanah Uesegi?"
Oishi berpikir. "Mungkin. Menurutku, Chisaka berusaha menghindari konflik. Mungkin dia berpikir kalau Kira diserang dan dibunuh, hal itu akan memengaruhi majikannya, Lord Uesugi. Maka dia hendak memastikan bahwa hal itu tidak terjadi."
Kataoka mengangguk. Memang masuk akal; biaya untuk memata-matai memang setimpal bila bisa membuat pikiran majikan Chisaka tenang. "Bagaimana dengan pertemuan kita selanjutnya? Apakah kita tiadakan saja?" tanya Kataoka.
"Tidak," tegas Oishi. "Kita hanya bisa berharap kalau pertemuan kita hanya dianggap sebagai kegiatan rutin untuk mengenang Lord Asano. Memutuskan hubungan dengan rekan-rekan akan menghancurkan setiap kesempatan kita untuk melakukan tindakan bersama-sama nanti."
Kataoka dapat menerima penjelasan ini meskipun dia tetap merasa kurang nyaman. Oishi memahami ini dan menanyakan apa yang mengganggu pikiran Kataoka.
"Orang ketiga yang ada di kamar itu," katanya. "Aku takut dialah orang yang kita percayai."
Oishi tampak sedih memikirkan kemungkinan bahwa anak buahnya berbalik ke pihak musuh, tapi Kataoka segera sadar kalau Oishi salah paham, dia langsung meralat. "Bukan, bukan, yang kumaksud bukan salah satu dari kita. Tapi orang dari rumahmu - juru masak yang direkomendasikan sepupumu, Shindo!"
"Burung terbang dekat kaki seseorang," kata Oishi, dia mengerutkan dahi memikirkan bahwa bahkan rumah tangganya tidak aman.
"Aku tahu kau sangat menghargai pekerjaannya; patut disayangkan bila kita harus berhentikan dia."
Kataoka menyelesaikan ucapan sambil mengusap gagang pedang dengan sikap yang jelas, namun Oishi mengangkat tangan. "Tidak, tidak, kau tidak seperti Hara. Kau ingin segera bertindak yang hanya akan membuat kita semakin terlibat dalam masalah. Tanda apa lagi yang lebih jelas bagi musuh bahwa kita hendak melawan selain membunuh mata-mata mereka? Tidak, kita biarkan orang ini dan memanfaatkan dia untuk tujuan kita. Bila kita ingin menyebar informasi yang salah, kita tahu dengan pasti di mana kita dapat membocorkan berita itu."
"Bagus," kata Kataoka dengan kagum. "Tapi kita harus memperingatkan setiap orang agar berhatihati. Istri dan anak-anakmu harus tahu apa yang boleh dibicarakan di dapur."
Oishi berpikir beberapa saat. "Kurasa tidak perlu. Aku yakin mereka takkan membicarakan hal-hal yang tidak seharusnya, bahkan sekarang pun tidak. Bila mereka mulai bersikap aneh, juru masak itu pasti curiga sehingga dia tak berguna lagi bagi kita. Dia harus percaya bahwa kita tidak tahu apa-apa. Tidakkah kau setuju kalau ini yang terbaik?"
Dengan enggan Kataoka mengangguk, walau matanya tetap menatap lantai.
"Apa lagi?" tanya Oishi.
"Aku hanya berharap aku tidak mengenalnya." "Mengapa?"
"Karena selera makanku akan rusak bila ingat siapa yang memasak makanan itu."
Oishi tertawa. "Berarti kau tidak perlu makan banyak agar tidak bertambah gemuk."
Kataoka menunjukkan wajah masam, meskipun di dalam hati dia tersenyum. Oishi tertawa untuk pertama kalinya sejak mereka meninggalkan Ako dan Kataoka merasa ini pencapaian yang sangat penting dalam keadaan seperti ini.
Hari berikutnya datang dua pesan dari Edo yang membuat mereka berhenti tertawa. Pesan pertama datang dari Araki yang telah kembali ke Edo. Secara pribadi dia telah meminta penasihat Shogun mempertimbangan petisi Oishi, tapi dengan jujur dia mengatakan bahwa harapannya kecil sekali. Pesan kedua dan Horibe, pemimpin kelompok Edo, yang berisi tuntutan untuk segera menyerang Kira.
Oishi marah ketika membaca pesan itu. Dia yakin kalau anak buahnya di Edo selalu dimata-matai. Menyerang sekarang ini berarti bunuh diri. Oishi merasa putus asa karena tak dapat menjelaskannya pada Horibe dengan jarak yang jauh ini. la pasti akan diikuti bila pergi ke Edo, tapi Horibe, pemuda yang tak sabaran ini, harus diberi penjelasan bahwa mereka harus tunggu kabar soal petisi. Akhirnya dia memutuskan untuk mengutus Hara, yang dapat bicara dengan bekas rekannya lebih baik daripada yang lain. Dia minta Kataoka mengambil alih pelajaran memanah Hara di Osaka. Kataoka setuju sambil tersenyum sedih, dan Hara tiba di Yamashina untuk menerima pengarahan lebih lanjut dari Oishi sebelum dia ke Edo. Dia diingatkan untuk memerhatikan setiap orang asing bertubuh tinggi kurus yang memiliki suara rendah.
Minggu-minggu berikutnya adalah masa-masa yang menegangkan. Oishi mencemaskan keinginan Horibe untuk segera bertindak, tapi dia agak tenang karena yakin Hara dapat meredam hal itu.
Hara gagal meyakinkan para samurai muda di Edo ini bahwa menunggu adalah keputusan yang terbaik. Mengamati Kira setiap hari membuat Horibe dan anggotanya gusar dan ingin segera bertindak. Hara lalu menulis bahwa keadaan sangat serius jadi Oishi datang sendiri ke Edo.
Pesan ini membuat Oishi sedih. Dia merasa alasan Hara cukup masuk akal dan makin cepat ia pergi akan semakin baik. Di saat yang sama, ada hal lain yang dapat dia selesaikan selama di Edo, jadi perjalanannya takkan sia-sia.*

TUJUH

Sebagai pembantu dalam perjalanannya kali ini, Oishi memutuskan untuk mengajak saudaranya, Shindo dan Koyama. Mereka bukanlah teman perjalanan yang menyenangkan, tapi karena mereka bukan pelayan Lord Asano, maka perjalanannya ke Edo takkan ditafsirkan sebagai bentuk penyerangan. Juga, walaupun telah bersumpah setia, Oishi merasa mereka tidak punya dedikasi dan bahwa menghadapkan mereka dengan kelompok Edo yang fanatik akan meningkatkan rasa yang kuat akan tujuan perjalanan ini dalam diri mereka.
Mereka berangkat melalui Tokaido - jalan yang menuju laut timur - di akhir bulan Oktober, saat bukit dipenuhi warna warni musim gugur dan udara cukup sejuk. Menunggang kuda seharian dengan kaki menyilang atau tergantung di leher kuda di celah peti-peti yang tergantung di kedua sisi, masih membuat Oishi tersiksa. Oishi dan kedua saudaranya terguncang-guncang di bawah riaungan topi ilalang. Mereka tidak menyamar karena hal itu akan memberi kesan kerahasiaan yang ingin mereka hindari.
Ada lima puluh tiga pos atau rintangan antara Kyoto dan Edo di mana setiap rintangan ditandai bukit-bukit kecil. Sebagai pelindung, ada barisan cemara yang ditanam di setiap sisi kedua jalan yang berliku. Juga terdapat pondok-pondok dari cabang-cabang pohon di setiap dua atau tiga kelompok rintangan di mana orang yang melakukan perjalanan dapat membuang hajat di tempat khusus sehingga kotoran mereka dapat digunakan para petani sebagai pupuk. Oishi terkejut ketika melihat tempat-tempat itu sudah lama tak dibersihkan, begitu juga dengan kotoran kuda di jalan. Jelas terlihat kalau banyak petani yang tak lagi membasmi hama karena memang tidak boleh mereka perangi.
Kondisi kota-kota yang mereka lewati tidak jauh berbeda. Tak ada tembok atau saluran air di sekitar mereka, tapi umumnya ada gerbang kayu di kedua ujung kota dengan tembok yang tidak terlalu panjang di kedua sisi. Beberapa desa hanya terdiri dari satu jalan panjang dengan toko-toko di sisi jalan. Bangunannya rendah
dengan atap ilalang atau sirap dan menghadap ke arah jalan. Tali-tali jerami menggantung dari atas agar orang-orang yang lewat tak bisa melihat ke dalam. Di samping pintu masuk biasanya ada lukisan dewa rumah tangga, umumnya berbentuk naga atau setan.
Jalan-jalan di kota selalu ramai dan bising. Oishi serta rombongannya diusik oleh lebih banyak pengemis dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Pedagang berbagai macam barang berteriak ketika mereka lewat, dan banyak sekali prosesi pemakaman diiringi nyanyian yang keras serta ratapan oleh para pendeta dan keluarga yang ditinggalkan. Para pengelola dan penghuni rumah pelacuran juga berteriak keras pada pelancong untuk mampir dan menghibur diri, tapi Oishi selalu menatap ke depan. Teman seperjalanannya pun merasa harus melakukan hal yang sama, setidaknya di siang hari.
Ketika malam tiba, Oishi mencari tempat penginapan di pinggiran kota di mana dia berharap dapat beristirahat dengan tenang. Penginapan ini juga menyediakan teman wanita. Pasar dipenuhi putri-putri petani dan bahkan mereka sudah pindah ke tempat yang tadinya adalah hotel serta penginapan yang terhormat. Bagi Oishi, kunjungannya ke Edo di mana majikannya dimakamkan lebih merupakan ziarah, namun bagi kedua temannya, perjalanan ini adalah liburan dan mereka membuatnya tidak tidur hingga tengah malam dengan pesta minum-minum mereka.
Suatu pagi dia terbangun karena mendengar jeritan seorang wanita yang membuatnya langsung meraih pedang sebelum teriakan itu berubah menjadi suara tawa, dan dia pun sadar kalau pesta sudah dimulai lagi. Dia menggelengkan kepala dengan rasa jijik dan memutuskan sudah tiba waktunya untuk memberi pelajaran yang takkan dilupakan kedua saudaranya itu.
Mereka belum lama keluar dari Yamashina ketika Oishi sadar sedang diikuti. Seorang samurai bertubuh tinggi dan kurus dengan temannya terlihat di belakang mereka dan berhenti di manapun mereka berhenti. Tidak diragukan lagi dia adalah Fujii, sesuai keterangan Kataoka.
Awalnya Oishi tak ingin mengungkapkan hal ini pada Shindo dan Koyama yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi, namun akhirnya Oishi berubah pikiran karena mereka terus-menerus berpesta.
Pagi itu saat di perjalanan, Oishi sengaja memperpendek jarak dengan Fujii. Kemudian dia memilih tempat makan siang di suatu tempat sehingga akan sukar bagi Fujii untuk berbalik atau meneruskan perjalanan dan makan di tempat lain. Kedua kelompok itu akhirnya duduk bersebelahan di bangku yang sama menghadap ke pebukitan. Shindo dan Koyama sangat menikmati pemandangan dan makanan ketika Oishi bangkit dan permisi untuk membasuh diri. Ketika melewati Fujii, dia menjatuhkan diri dan membuat mata-mata itu terkejut.
Fujii langsung melompat sambil mencabut pedang. Dia berdiri sambil melihat ke arah Oishi yang meminta maaf sampai kecurigaan muncul di benaknya bahwa jatuhnya Oishi tidaklah disengaja. Kemudian dia pun tersenyum sambil minta maaf dan kembali duduk.
Sementara Shindo dan Koyama sempat melihat lambang di pedang orang itu. Jelaslah itu lambang Klan Uesugi, dan mereka pun kehilangan selera makan. Mereka ingat pernah melihat laki-laki itu di belakang mereka sejak dari Yamashina dan baru sadar betapa berbahayanya posisi mereka. Di mata musuh, mereka dianggap sebagai kaki tangan Oishi.
Di pagi berikutnya, ketika sudah setengah jalan mendekati tujuan, akhirnya Oishi bisa memberi mereka pelajaran. Saat itu mereka tiba di pinggiran kota untuk beristirahat dan melewati tempat pelaksanaan hukuman mati. Tubuh tahanan yang di salib, terikat di salib kayu dan ditombak, menjadi pemandangan yang mengerikan di bawah sinar matahari.
"Aku lihat di sini ada pekerjaan untuk eta, walaupun penyamakan kulit tak diizinkan lagi," gurau Oishi tentang masyarakat buangan yang hanya boleh bekerja sebagai perajin kulit atau algojo.
Kedua saudaranya membasahi bibir dan terdiam sementara Oishi mengarahkan kudanya mendekati mayat itu.
"Dihukum karena pemalsuan," katanya sambil membaca poster. "Yah, itu tidaklah aneh - kalau pemerintah tetap menurunkan nilai mata uang, kau akan mencari mereka yang bersedia mengambil risiko dan melanggar aturan Shogun."
Shindo dan Koyama menggumam dan Oishi menekankan tentang konsekuensi dari tindakan melanggar hukum. "Membunuh musang, anjing atau orang - hukumannya sama, apa pun alasannya."
Shindo yang berwajah tajam mengatupkan bibir, sementara rahang Koyama terlihat lebih kencang dari biasanya ketika melanjutkan perjalanan. Mereka tahu kalau Oishi sedang memberitahu: nasib yang sama sedang menanti mereka yang ikut bersamanya. Oishi tak ingin mereka takut, dia hanya ingin mereka sadar apa yang ada di hadapan mereka.
Perjalanan mereka terus berlanjut, melewati kuil Budha besar yang dihiasi ukiran para tokoh pujaan mereka serta aroma lilin wangi, setelah itu kuil Shinto yang lebih kecil yang bisa dilihat melalui torii mereka yang sangat luar biasa. Di sepanjang jalan juga terdapat patung-patung Jizo. Di sungai yang tak terlalu deras, ada jembatan-jembatan dari kayu cedar. Tempat di mana jembatannya hanyut, mereka harus menggunakan rakit. Sementara untuk menyeberangi sungai Oigawa, antara Totomi dan Suruga, mereka harus berenang karena tak ada jembatan maupun rakit.
Puncak gunung Fuji tepat di hadapan mereka. Dengan perlahan gunung itu bergerak ke kiri ketika mereka mendekati Dataran Kanto di mana terletak Edo. Pendakian terakhir yaitu melewati Hakone di mana pemandangan musim gugur tampak sangat menakjubkan dan pemandangan gunung Fuji tak tertandingi. Namun karena benak mereka dipenuhi berbagai persoalan sehingga tak dapat menikmati pemandangan itu. Tak peduli betapa luar biasanya keindahan itu, para pemburu rusa tak pernah memandang ke arah pegunungan.
Di Edo, mulut Kira terasa kering karena ketakutan ketika tahu kalau Oishi dalam perjalanan ke sana. Dia segera ke kastil Uesugi untuk menemui Chisaka. Utusan Chisaka yang membawa kabar buruk itu.
"Chisaka-san, Anda kelihatan sehat," katanya dengan senyum yang dipaksakan hingga memperlihatkan giginya yang hitam.
"Begitu pula Anda, Lord Kira," jawab penasihat yang gemuk dan botak itu. "Tapi ada rumor yang mengatakan bahwa Anda hendak pensiun karena masalah kesehatan, benarkah?"
Kira bergerak dengan gelisah. Benar bahwa dia diminta mengundurkan diri karena reputasi akibat kasus Asano, tapi dia berharap dapat menyimpan hal ini lebih lama. Seharusnya dia tahu bahwa Chisaka akan tahu hal ini jauh sebelum orang lain.
"Penyakit lama yang kembali kambuh," katanya. "Tak ada pilihan... tapi hal ini mengingatkanku akan sesuatu. Karena akan segera keluar dari istana Shogun, aku perlu tempat tinggal dan aku pikir..."
"Aku akan mencarikan rumah," Chisaka menyela, berusaha agar Kira tidak pindah ke kastil pemimpinnya.
"Aku perlu lebih dari rumah," kata Kira memaksa. "Aku perlu penjaga dan juga tempat tinggal mereka."
Kemudian Kira menambahkan dengan sikap yang lebih lunak: "Anda harus mengerti, aku tak ingin Lord Uesugi dipermalukan oleh...."
"Kau akan dapatkan itu," janji Chisaka, walau sebenarnya dia keberatan bila memikirkan biayanya, la hanya menjauhkan Kira dan persoalannya. Masalah Asano telah menjadi persoalan yang sangat mengganggu, tapi untuk sementara waktu tidak ada yang dapat dia lakukan kecuali menghadapinya.
"Sekarang, setelah persoalan itu teratasi, apakah Anda mau minum ten?" dia bertanya pada tamunya dengan senyum yang dipaksakan.
Kira tampak bimbang, tapi kemudian juga memaksakan diri tersenyum.
"Kenapa tidak? Kita harus bisa berteman karena aku yakin kita akan sering bertemu kelak."
Dan mereka pun duduk bersama ketika Chisaka memanggil pelayan untuk membawakan teh, betapa pun pahit rasanya teh itu bagi mereka berdua.*

DELAPAN

Dua belas hari sejak meninggalkan Kyoto, rom bongan Oishi tiba di Edo. Rombongan mereka utuh, termasuk Fujii yang kini menjaga jarak yang cukup jauh. Dalam perjalanan ke kota, mereka berhenti sebentar di Sengaku-ji, kuil tempat makam Lord Asano. Oishi masuk sendirian untuk menuangkan air dari tabung bambu di batu nisan. Lalu dia meninggalkan makam setelah membungkuk dalam-dalam dan mengatakan bahwa dia selalu dapat diandalkan.
Dia bergabung kembali dengan rombongannya di luar kuil lalu mereka pun melanjutkan perjalanan. Jalan-jalan dipenuhi manusia dan hiruk-pikuk, Oishi merasa terganggu. Hari makin larut ketika mereka menemukan penginapan kecil. Dia tidak ingin langsung menghadapi para pengikutnya yang memberontak, dan lagi, ada hal penting yang harus dilakukan setelah beristirahat dan berganti pakaian dengan yang lebih baik. Perutnya kembali terasa sakit, maka dia pun makan sedikit dan pergi tidur. Bahkan setelah malam tiba, jalan-jalan di kota diramaikan oleh gonggongan anjing. Oishi tidur dengan gelisah. Dia merasa tidak nyaman di Edo dan baru setelah dia memikirkan Yamashina dan keluarganya, baru dia lebih tenang dan bisa tidur.
Keesokan harinya dia melakukan kunjungan yang telah lama dinantikannya - dia mengunjungi Lady Asano. Dia tak yakin akan diizinkan bertemu, tapi akhirnya dia dapat bertemu Lady Asano tanpa kesulitan karena tidak ada penjaga.
Lady Asano mengenakan jubah biarawati dan sikapnya lembut ketika menerima Oishi di ruang kecil di belakang taman.
"Aku harap keluargamu baik selalu," katanya dengan senyum yang tidak biasa. Oishi tahu kalau Lady Asano sedang menanyakan putrinya.
"Mereka semua baik-baik saja - bahkan yang terkecil tinggal dengan beberapa teman." Sebelumnya dia telah menulis surat tentang adopsi tersebut.
"Kau bertemu dengannya baru-baru ini?"
"Belum, tuanku, hamba merasa lebih baik jika menjauh agar tak ada yang tahu ketertarikan hamba pada putri keluarga Kaisar. Setidaknya hamba bisa dituduh mencampuri urusan politik."
Dia berusaha melucu namun tak ada senyum di wajah Lady Asano saat terus bertanya soal putrinya. "Dan keluarga kaisar ini cukup berpengaruh?"
"Cukup berpengaruh," kata Oishi tegas, tak ingin mengungkapkan nama orang yang mengadopsi demi kebahagiaan Lady Asano dan putrinya.
"Kini aku yakin dia akan mendapatkan pendidikan yang baik, sesuai untuk gadis bangsawan," kata Lady Asano dengan nada penuh harap.
"Hamba yakin bagitu," jawabnya setuju dan mengalihkan pembicaraan soal petisi. Lady Asano mengajukan pertanyaan dengan sopan, namun ketertarikannya hanyalah pura-pura. Tanpa memberi petunjuk lebih jauh mengenai rencana-rencananya, dia hanya memberitahu Lady Asano bahwa dia masih menjadi pengikut pemimpinnya dan akan selalu menjadi pengikutnya. Selama beberapa saat pikiran Lady Asano seperti melayang, dia melihat Oishi sebagai pembela terakhir nama Asano. Lady Asano meminta Oishi menunggu sebentar lalu masuk ke ruangan lain. Ketika kembali, dia membawa sepucuk surat yang ditulis Lord Asano di malam sebelum dia meninggal. Lady Asano meminta Oishi membawa dan membacanya. Oishi merasa kunjungannya tidak sia-sia. Dia memutuskan untuk tidak datang lagi agar tak melibatkan Lady Asano dalam tindakannya di masa mendatang.
Dalam perjalanan keluar, dia meminta seorang pelayan mengantarnya. Oishi tidak memberitahu tekadnya untuk
menyatukan kembali sang ibu dan anak karena takut hanya akan memberi harapan yang sia-sia.
Di hari yang sama Oishi juga mengunjungi Araki untuk mengucapkan terima kasih atas usahanya dan juga untuk mengetahui perkembangan petisinya. Araki menyambutnya dengan ramah. Dia senang karena Oishi tidak ke Edo untuk melakukan protes atau kekerasan. Seperti biasa, Oishi bersikap penuh percaya diri sebagaimana seharusnya seorang kepala pelayan, dan Araki menjadi lebih terkesan pada sikapnya. Sayangnya, prajurit berambut putih ini tidak punya berita untuk disampaikan; para penasihat sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan kasus ini dan dia hanya dapat memohon maaf atas hal ini. Mereka minum teh bersama, membicarakan cuaca setempat, dan berpisah dengan memiliki saling pengertian. Hal ini, menurut Oishi, lebih baik daripada tidak ada hasil sama sekali, walaupun tak dapat digunakan untuk menghadapi para pemberontak muda itu.
Sopan santun mengharuskannya untuk melakukan satu kunjungan lagi saat di Edo. Jurubicara resmi keluarga Asario adalah Daigaku Asano dan pamannya, Lord Toda, dan rumah Lord Toda yang menjadi tujuannya.
Rumah itu sangat besar walaupun kurang terawat, dan wajah Oishi memperlihatkan rasa jijik saat lewat melangkahi seekor anjing kotor yang berbaring di ambang pintu.
Kunjungannya dilakukan tanpa pemberitahuan dan ternyata Lord Toda sedang keluar rumah. Tapi Daigaku, yang masih menjadi tahanan rumah, sangat senang menerima kedatangannya. Daigaku adalah pemuda kurus yang selalu cemas. Dia menatap dengan tatapan tajam untuk mencari tahu maksud kedatangan Oishi yang sebenarnya. Akhirnya dia berhenti, meletakkan satu jari di cuping hidung dan menarik napas.
"Senang bertemu denganmu," katanya untuk yang kesepuluh kalinya. "Sudah lama sekali."
Oishi mengangguk hormat. "Hamba harap Yang Mulia dalam keadaan sehat."
"Kurasa aku tidak... rasa sakit di dadaku ini... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Kita semua sedang tertekan," kata Oishi. "Hamba akan merasa lebih sehat bila semuanya sudah kembali normal."
"Andaikan begitu," kata Daigaku dengan nada pahit. "Tapi itu takkan terjadi."
"Anda tidak ditunjuk sebagai pengganti kakak Anda?"
"Tidak - tapi menurut Lord Toda, masih ada harapan." Kemudian dia menambahkan, "itu sebabnya kita hams menunggu dan melihat. Tak ada gunanya menghancurkan kesempatan yang kumiliki."
"Tidak, tentu tidak..."
Setelah itu mereka diganggu suara dari lorong dan tak lama kemudian Lord Toda masuk dengan tergesa-gesa. Daigaku tersenyum lega. Dia bersyukur atas kehadiran pamannya selama ada Oishi.
Lord Toda, yang bertubuh pendek, dengan sifat keras yang tanpa basa-basi ini sangat bertolak belakang dengan keponakannya yang tak dapat berbuat apa-apa. Setelah saling memberi hormat dan salam dengan Oishi, Lord Toda langsung menyinggung ke pokok permasalahan.
"Aku dengar ada pergolakan di antara anak buahmu untuk menyerang Kira."
Oishi memandang lekat ke arahnya, dan mengangguk. "Ada beberapa yang beranggapan bahwa membunuh bajingan penyebab kematian pemimpin kami merupakan satu-satunya cara terhormat yang harus dilakukan."
Lord Toda mendengus. "Gila...benar-benar gila. Tak tahukah mereka kalau Kira tinggal di istana Shogun? Tak tahukah mereka betapa tebalnya tembok istana dan betapa ketat penjagaannya?"
"Mereka tidak tahu itu, Lord Toda, tapi mungkin pada waktunya..."
"Omong kosong," sela Lord Toda. "Perintah Shogun bagi para ksatria Ako yaitu menyerah dan membubarkan diri... Kudengar kau melakukan tugasmu dengan baik saat penyerahan kastil dan aku berterima kasih padamu. Itulah tindakan yang akan menyelamatkan nama keluarga kami. Bukannya pertumpahan darah seperti pemuda yang...."
Dia hendak menyebut nama Lord Asano, namun tak jadi ketika melihat tatapan Oishi.
"Yah, sudahlah. Apa yang sudah terjadi, biarkanlah. Setidaknya kita masih mampu melakukan apa yang dapat kita lakukan agar keadaan tidak semakin buruk."
"Bagaimana dengan kesempatan Lord Daigaku untuk menjadi penggantinya?" tanya Oishi dengan sopan, ingin mendengar pendapat berbagai pihak atas pertanyaan yang penting ini.
Lord Toda mondar-mandir. "Aku yakin kesempatannya bagus - asal kita tak melakukan sesuatu yang akan menyusahkan Shogun. Bila tiba waktunya dan segala kemarahan mereda, kurasa setiap orang akan bisa melihat masalah ini dengan pandangan yang berbeda. Dengan sejarah panjang pengabdian kita, aku tidak percaya kita akan kalah dalam waktu singkat. Tapi kesabaran harus menjadi semboyan kita." Dia berhenti dan menatap Oishi. "Kesabaran dan menahan diri - itulah cara untuk mencapai tujuan."
Oishi menunduk sopan dan Lord Toda tampak puas bahwa Oishi mengerti. Teh disajikan dan tidak lama kemudian Oishi berpamitan. Dia senang sudah melihat betapa lemahnya kedua orang itu. Jelaslah bahwa tanggung jawab untuk balas dendam harus dipikulnya sendiri.
Malam itu, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dan membawa dua pedang samurai datang ke kastil Uesugi untuk bertemu Chisaka, ketua dewan.
"Siap melayani tuan," kata orang itu sambil membungkuk ke arah pemimpinnya yang kecil.
"Nah, di mana dia?" tanya Chisaka dengan rasa ingin tahu. "Kau selalu mengawasinya, kan?"
"Hamba tahu di mana dia berada. Dalam pertemuan di restoran di pinggir kota."
"Pertemuan?"
"Pertemuan dengan orang-orang Ako yang tetap di Edo ketika majikan mereka mati."
"Maksudmu dihukum mati. Dan kenapa kau tidak ke sana untuk mengetahui rencana mereka?"
"Hamba tidak diundang," kata Fujii acuh tak acuh. "Lagipula mereka sudah tahu wajah hamba dan tidak mungkin mau menerima hamba."
Chisaka hendak mengajukan pertanyaan lain yang menjengkelkan namun Fujii sudah mengetahuinya.
"Jangan cemas - pertemuan itu diawasi anak buah hamba yang menyamar sebagai pelayan, meskipun hamba tak yakin dia akan mendapatkan sesuatu yang berharga."
Chisaka menatapnya dengan dingin. "Aku yang akan memutuskan mana yang berharga."
Fujii membungkuk dengan diam. Chisaka merasa dia melihat senyum mengejek di wajah orang kurus ini.
"Bagaimana kau yakin mereka tidak menyusun rencana untuk menyerang Kira?" teriak laki-laki kecil ini dengan kesal.
Fujii terdiam, kemudian mengangkat bahu.
"Pemimpin mereka sangat cerdas - orang yang takkan membiarkan mereka bertindak tergesa-gesa. Dan apa yang dapat mereka lakukan untuk memenggal Kira yang terlindung dengan aman di dalam kastil?"
Chisaka tersenyum dengan rendah hati. "Sebaiknya kau serahkan urusan ini padaku, teman. Aku punya sumber informasi lain selain
kau dan kini aku dalam posisi yang lebih baik untuk menyatukan semua keterangan."
Fujii tersenyum tidak yakin. Mungkin sindiran itu sudah sangat keterlaluan.
"Maaf bila Tuan tersinggung. Selanjutnya hamba hanya akan melakukan tugas yang menjadi bagian hamba saja," katanya dengan tidak memperlihatkan kebencian yang dirasakannya.
"Baiklah," Chisaka setuju. "Dan bila kau melakukan tugasmu dengan baik, akan ada jabatan tetap untukmu di sini, seperti janjiku. Beruntung kita dipertemukan. Ronin yang mengenal Kyoto sangat kuperlukan, tepat di saat kau juga membutuhkan tempat tinggal."
Fujii diam saja. Dia tak suka bila diingatkan tentang mas a lalunya.
"Nah, apakah kau akan melakukan apa yang kuperintahkan dan kembali bekerja?"
Ketika Fujii hendak membungkuk hormat, Chisaka mengungkapkan satu informasi menarik yang sengaja disimpannya.
"Kau tahu, teman, Kira tak lagi tinggal di kastil!"
"Benar," kata Horibe, "Kira tidak di kastil lagi!"
Dia berdiri di hadapan lima belas samurai Ako yang setia, termasuk Oishi dan Hara serta tujuh orang lain yang datang dari Kyoto dan Osaka. Ruang yang disewa untuk pertemuan itu berada di lantai atas sebuah restoran yang ramai sehingga memungkinkan mereka berbicara tanpa takut didengar.
"Lalu apa yang kita tunggu?" teriak salah seorang kelompok Edo. "Ayo kita serang sekarang."
Jantung Oishi juga melonjak namun dia memaksakan diri untuk berpikir rasional. Dia bangkit berdiri di depan dan mereka pun kembali tenang karena wibawanya.
"Kalian semua bodoh," katanya dingin. "Pasukan macam apa kalian, yang hendak menyerang begitu mendengar kabar burung! Bila kabar ini benar, maka rencana kita akan berubah. Tapi jangan lupa, saat ini pasukan utama kita masih jauh dan kita perlu mereka jika kita ingin berhasil." Dia berhenti sejenak untuk menghela napas, kemudian mengangguk pada Horibe untuk meneruskan.
"Kira," kata orang muda ini dengan seringainya yang bisa membuat takut orang yang namanya dia sebut, "akan dibebaskan dari tugas resminya. Pagi ini dia pindah ke daerah pinggiran jauh dari sungai Sumida. Aku akan membuntuti dia ke sana."
"Kau melakukan tugasmu dengan baik," Oishi memuji.
Horibe tersenyum, bukan senyum yang menyenangkan. "Aku dapat bercerita banyak tentang Kira," katanya, lalu mengungkapkan dengan rinci apa yang tentang perlakuan Kira pada Lord Asano, tentang catatan korupsinya dan bahkan tentang sistem pertahanan di rumahnya yang baru. Meskipun ada pasukan pemanah yang lihai, Kira masih ketakutan.
Setelah Horibe menyelesaikan laporan, Hara ingin mengungkapkan perasaannya.
"Ada beberapa orang di Osaka yang mengatakan bahwa kita tak berniat untuk balas dendam. Bukankah sudah tiba waktunya untuk membuktikan kalau mereka salah?" Dia berusaha tidak melihat ke arah pemimpin mereka dan tidak sadar bahwa ucapannya telah melukai perasaan Oishi. Tapi seperti biasa, Oishi selalu mengenyampingkan perasaan pribadinya. Dengan sabar dia menjelaskan bahwa kehormatan keluarga majikan mereka adalah yang utama dan itu berarti menunggu keluarnya keputusan atas petisi. Dia tahu sulit bagi mereka untuk selalu bersiap menyerang yang mungkin takkan terjadi, tapi sebagai pemimpin, dia harus mengatakan hal itu.
"Tidakkah kalian tahu” teriak Horibe, "ini hanyalah siasat dewan penasihat Shogun. Mereka tak berniat menyerahkan tanah pada Daigaku. Mereka hanya mencari alasan agar kita bingung. Mereka tahu bahwa menunggu akan menurunkan semangat kita dan
akhirnya akan menghancurkan kita. Mereka tidak berniat memutuskan apa pun atas petisi kita!"
Oishi menghela napas panjang dan membalikkan badan untuk berhadapan dengan Horibe. "Tapi kita selalu diawasi. Di Yamashina kita selalu dimata-matai dan diikuti. Kalian yang berada di Edo pasti diawasi lebih ketat. Tidak sadarkah kalian kalau begitu ada tanda-tanda kita hendak menyerang, mereka akan memberitahu "keluarga Kira yang sangat berkuasa dan mereka akan datang menyelamatkannya? Maukah kalian dekati api dengan memakai mantel jerami? Di mana moral anggota kita setelah usaha yang sia-sia untuk membunuh Kira membuat jalan-jalan penuh dengan darah mereka?"
Terdengar ketukan di pintu dan semua terdiam ketika orang yang berada paling dekat dengan pintu memasukkan pelayan yang membawa teh tambahan. Pelayan itu masuk dan bergerak begitu lambat sehingga Hara menggeram sampai akhirnya pelayan itu sadar dan mempercepat kerjanya. Setelah itu mereka menunggu sampai pelayan itu keluar.
"Memang ada banyak mata-mata," gumam Horibe sambil melirik pelayan itu, "tapi kita bisa menghindar bila kita berhati-hati. Aku tak meminta kalian untuk menyerang malam ini atau besok, tapi kita harus menentukan tanggal - sebelum bulan Maret yang akan datang. Bila kalian tidak ingat, itu adalah bulan kematian majikan kita dan di saat itu kita sudah harus menangani Kira. Bisakah kalian menunggu lebih dari setahun dan tetap memelihara nama baik kita sebagai orang-orang berani?"
Dengan penuh semangat mereka menyetujui. Oishi diam, berusaha memikirkan cara agar dirinya tidak memberi janji. Jelas sekali kalau mereka semua menentangnya, termasuk Hara, orang yang ia harapkan akan memberi dukungan. Mungkin salah mengutus Hara ke sini karena dia mudah terbakar oleh sifat keras anggota yang lebih muda. Namun, dia berhasil menahan mereka untuk bertindak sendiri dan itu adalah sesuatu yang patut disyukuri. Mungkin Horibe benar dan pasti akan ada keputusan sebelum bulan
Maret. Namun, kini dia sadar bahwa dia tak dapat menentang mereka.
"Baiklah," kata Oishi sambil menyembunyikan kekecewaan dan keinginannya yang sebenarnya, "kita akan menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah ini di bulan Maret. Aku akan kembali ke Yamashina dan mulai melakukan persiapan."
Anak buahnya sangat gembira mendengar tanda untuk bertindak yang telah lama dinantikan dan mereka pun berteriak-teriak serta saling menepuk punggung rekannya. Oishi hanya diam sampai Hara mendekat, sekali lagi dengan sikap mohon maaf, untuk bersulang dengan sake.
"Demi keberhasilan kita?" katanya.
"Demi keberhasilan kita," Oishi setuju dan langsung meneguk tehnya. Dia belum memberitahukan isi surat terakhir Lord Asano sangat membebani pikirannya. Dia sudah baca surat itu semalam dan itu membuatnya semakin marah pada Kira. Dia berpikir apakah Lady Asano memang bermaksud seperti demikian ketika memberikan surat itu. Apakah Lady Asano juga akan membalas dendam, apa pun akibatnya? Ia tak ingin mengecewakan Lady Asano, tapi ia hanya akan bertindak hingga tiba saat yang tepat. Tidak peduli betapa berat tekanan yang harus dihadapinya.*

SEMBILAN

Perjalanan kembali ke Kyoto tidak ada hambatan. Fuji dan pembantunya mengikuti dalam jarak yang cukup jauh. Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing, dan Shindo dan Koyama, sesuai rencana Oishi, menjadi lebih terkesan pada tanggung jawab. Mereka semua senang bisa kembali pulang.
Tahun hampir berakhir dan warna-warni perbukitan berubah dari merah musim gugur menjadi putih musim dingin.
Tahun baru datang, begitu juga dengan berbagai perayaan walaupun Oishi menganggap tidak layak bagi keluarganya untuk ikut
serta. Melalui gerbang, anak-anak dapat melihat para laki-laki memakai sarung berlipit dengan mantel berlambang sedang memanggil teman-teman mereka. Para wanitanya mengenakan kimono yang sangat indah menyambut para tamu. Anak-anak memainkan layang-layang dengan pisau diikat ke benang untuk memotong benang layang-layang lawan dalam pertarungan di udara. Anak-anak perempuan memakai pita baru sedang bermain bulu-tangkis tradisional.
Hari itu adalah hari di mana pengabdi yang sudah tua datang menyampaikan rasa hormat dan diperlakukan seperti layaknya tamu. Tapi tahun ini keluarganya di Yamashina tidak ikut menikmati kesenangan ini. Oishi dengan tegas mengatakan bahwa mereka masih berduka atas meninggalnya Lord Asano serta melarang anak-anaknya bepergian. Sebagian besar alasannya itu memang benar, walaupun sebenarnya dia ingin melindungi mereka. Oishi tak ingin Chisaka menyandera anaknya agar ia tidak membuat masalah.
Di bulan Januari, datang pesan penting dari Horibe. Hara langsung datang dari Osaka begitu mendengar hal itu. Kini Kira sudah resmi pensiun dan desas-desus mengatakan bahwa dia tinggal di Yonezawa, wilayah Klan Uesugi. Hal ini membuat Kira berada di tempat yang aman seperti ketika tinggal di kastil Shogun. Dan Horibe ingin bertindak sebelum Kira pindah.
Hara juga mendesak Oishi menyerang atau dia akan menyesal karena kehilangan kesempatan. Inilah saatnya untuk bertindak dan mereka semua harus melakukan persiapan persenjataan dan untuk perjalanan ke Edo.
Oishi, yang masih ingin menunggu keputusan atas petisi, belum setuju untuk menyerang. Horibe memang masih bisa diberi pengertian, tapi Oishi tak ingin orang ini ke Edo sendirian. Sebagai gantinya, dia memutuskan untuk mengirim Yoshida, salah seorang anggota tertua, yang sepaham dengannya dan dihormati anggota lain. Tujuan Oishi yaitu dirinya yang berhak membuat keputusan akhir dan, bila dia berhalangan hadir, mungkin Horibe dapat dikendalikan lagi.
Hara akhirnya diizinkan menemani Yoshida sebagai 'pengawal' setelah dia mendesak, walaupun Oishi lebih suka dia tetap mengajar di sekolah memanah. Bahaya akan selalu timbul jika dua penghasut seperti Horibe dan Hara dipertemukan, tapi Oishi memendam kecemasannya.
Setelah kepergian mereka, Kataoka, yang sudah siap berangkat ke Osaka untuk menggantikan tugas, menunda keberangkatan ketika dia merasa Oishi memerlukan dia untuk menjadi telinganya.
Oishi tidak hanya prihatin atas apa yang sedang terjadi di Edo, tapi karena beberapa alasan, pengawasan atas rumahnya terasa lebih ketat dan orang-orang yang tidak dikenal selalu mengikuti siapa pun yang keluar dari rumah itu. Hal itu membuat Oishi bingung sekaligus merasa terganggu. Apakah mereka mengira akan terjadi penyerangan? Hanya ada satu jawaban: kepindahan Kira ke daerah pinggiran yang tidak terlindung. Satu hal yang sudah pasti dilakukan para pelindung Kira yaitu segera memindahkan dia ke tempat yang lebih aman seperti kastil di Yonezawa. Tapi kenyataan bahwa mereka hanya memata-matai dan bukannya mengambil tindakan yang lebih mencolok, menunjukkan kalau ini adalah strategi musuh sehingga dia memanggil Kataoka untuk menyampaikan alasannya.
"Kira akan aman dari segala bentuk penyerangan bila tinggal di Yonezawa, benar?" tanyanya.
"Ya, kurasa," jawab Kataoka yang agak bingung.
"Karena itu, bila Chisaka hendak memindahkan Kira ke sana, pasti tidak ada alasan bagi mereka untuk memata-matai kita, kan?"
"Tidak - kurasa tidak."
"Pasti ada alasan atas apa yang mereka lakukan," kata Oishi dengan penuh kemenangan, "yaitu dia tidak berencana memindahkan Kira!"
Kataoka menatapnya dengan bingung.
"Itulah yang akan dilakukan orang seperti Chisaka. Tentu saja dia harus melindungi Kira bila memang dalam bahaya, namun memindahkan Kira ke kastil pemimpinnya bertentangan dengan prinsipnya dalam mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan kata lain, memindahkan Kira ke kastil berarti melibatkan Lord Uesugi dalam masalah Asano dan itulah yang berusaha dihindari Chisaka."
Kataoka tampak ragu, kemudian tersenyum dan mengangguk. "Mungkin kau benar," katanya.
"Aku tahu aku benar," jawab Oishi penuh semangat, lalu menulis surat kepada Yoshida di Edo mengenai pendapatnya sebagai senjata dalam perdebatan yang dia tahu pasti akan berlangsung alot. Tapi surat itu tak pernah dikirim karena pesan yang dikirim Yoshida mengubah seluruh rencananya.
Bagian pertama surat Yoshida berisi hasil pengamatan; dia menjelaskan tentang tiga golongan yang ada di Edo sehingga Oishi bersyukur telah mengutus orang tua itu. Satu golongan, yang diwakili Yoshida, mendukung pandangan Oishi. Golongan Horibe, tentu saja ingin segera bertindak, apa pun akibatnya. Golongan ketiga adalah mereka bersedia menunggu dengan Oishi, tapi menurut Yoshida mereka tidak berani melakukan balas dendam, tak peduli apakah Daigaku akan menjadi pewaris atau tidak. Golongan ini akan berpihak pada Oishi, tapi jika petisi ditolak, mereka akan jatuh berguguran seperti daun di musim gugur. Oishi harus mengakui bahwa kemungkinan orang-orang seperti itu memang ada, dan Yoshida bisa mengetahui hal ini jauh lebih baik daripada dirinya.
Bagian kedua dari surat itu bukanlah kabar gembira, terutama tentang bertambahnya kegiatan mata-mata di sekitar rumah. Kebuntuan dalam beberapa pertemuan terakhir di Edo dan karena Oishi tak bisa ke Edo untuk menyelesaikan masalah ini, maka kelompok Horibe akan ke Yamashina. Oishi marah atas penghinaan secara tidak langsung pada Yoshida, tapi tak ada yang dapat dilakukan karena mereka sudah dalam perjalanan. Sebagai penutup,
Yoshida melaporkan bahwa Horibe tidak mau melepas tanggung jawab untuk mengawasi Kira kepada orang lain, dan telah mengutus Hara untuk bicara pada Oishi.
Oishi marah dengan sikap Horibe yang tidak menghargainya namun ia tak dapat berbuat apa-apa. Dia tak dapat mengeluarkan Horibe sebagai anggota karena para pengikutnya yang muda dan bersemangat yang akan dapat membuat perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan misi mereka. Jadi, meskipun dia kesal, namun di hadapan anggota yang lain dia bersikap seolah Horibe telah bertindak demi kepentingan bersama.
Kelompok itu tiba pada bulan Februari dan dalam pertemuan pertama yang diadakan di rumah di Yamashina, Hara, dengan menahan marah, langsung bertanya mengapa peralatan untuk penyerangan belum tersedia. Oishi menjawab bahwa dia takkan bertindak sampai ada kata akhir dari Daigaku dan menambahkan bahwa dia tak berniat menyerang di bulan Maret - dia hanya berusaha menahan Horibe dan anggota lain yang fanatik. Wajah Hara memerah ketika mendengar dia disebut begitu, tapi dia membantah: Andai Daigaku diangkat sebagai ahli waris dan rumah keluarga Asano diperbaiki, apakah mereka dapat menyerang dan membunuh tanpa merusak nama yang telah lama mereka tunggu untuk dipulihkan? Apakah itu berarti tak ada balas dendam?
Oishi menghela napas dan dengan hati-hati menanggapi.
"Menurutku," akhirnya dia berkata, "perbaikan rumah dan balas dendam adalah dua hal yang berbeda. Kau benar, Hara, bahwa jika rumah itu diperbaiki maka akan tercela bagi para ksatria Ako untuk tetap menyerang pejabat Shogun, atau mantan pejabat, dengan kekuatan."
Alis Hara terangkat mendengar keterusterangan ini, namun dia tetap diam untuk mendengarkan penjelasan Oishi selanjutnya.
"Karena itu aku telah memutuskan bahwa bila waktunya tiba, aku yang akan membalas dendam atas nama kita semua."
Semuanya terdiam sesaat, lalu Hara pun berbicara dengan nada putus asa, "Tidakkah kau tahu bahwa jika kau lakukan itu maka kami semua akan dianggap pengecut?" Terdengar suara setuju akan ucapan Hara. "Setiap orang tahu bahwa seorang samurai tidak dapat hidup di bawah langit yang sama dengan pembunuh pemimpinnya. Kita semua harus diberi kesempatan untuk menyerang, apa pun akibatnya."
Terdengar teriakan bernada setuju dari berbagai sudut. Hanya Yoshida dan Onodera, anggota tertua, yang berpihak pada Oishi. Keduanya berusaha menjelaskan bahwa menarik pedang bukan satu-satunya cara untuk menunjukkan diri sebagai samurai, tapi tidak ada yang mendengarkan ucapan itu dalam suasana pertemuan seperti itu.
Oishi bisa melihat bahwa keadaan sudah di luar kendali dan kelihatannya akan tetap begitu kecuali salah satu pihak mengalah. Jelas sekali bahwa tidak ada pihak yang mau mengalah hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjaga persatuan.
"Baiklah," katanya sambil mengangkat tangan agar mereka tenang, "baiklah, aku tak bisa melawan kalian semua. Aku setuju bahwa kita akan melakukannya bersama-sama, namun aku tetap merasa bahwa kita harus menunggu hasil dari petisi. Bila belum ada keputusan sampai bulan Maret, kita akan tunggu setahun lagi. Bila belum juga ada keputusan, kita anggap bahwa harapan sudah tidak ada lagi dan kita akan melakukan penyerangan. Kalian mengerti? Aku berjanji bahwa kita akan menyerang!"
Mereka semua bersorak dan mulai berunding dengan penuh semangat. Oishi mengutarakan pandangannya tentang kemungkinan sikap Chisaka terhadap Kira, dan mereka setuju bahwa itu masuk akal. Kabar bahwa akan ada tindakan nyata, akan membuat Horibe tenang. Mereka semua memperbarui janji untuk tetap bersatu dan Yoshida kembali dikirim ke Edo dengan perintah untuk tetap di sana bersama Horibe hingga pemberitahuan selanjutnya. Hara kembali ke Osaka, sementara Onodera tetap tinggal di Yamasihna bersama Oishi. Para anggota pergi dengan
berdua atau bertiga agar menyulitkan mata-mata yang telah menunggu di luar, namun banyak di antara mereka yang tetap diikuti dan dilaporkan kepada Chisaka yang langsung memberi tahu kepada Kirea. Ketika mendengar tentang pertemuan itu, Kira bersikeras agar jumlah mata-mata ditambah yang akhirnya disetujui Chisaka. Namun dia tidak mengatakan apa-apa yang dapat ditafsirkan sebagai undangan bagi Kira untuk pindah ke kastil di Yonezawa.*

SEPULUH

Musim semi tiba dengan hujan yang mengguyur Kyoto hingga terjadi banjir. Hal ini memberi banyak waktu bagi Oishi untuk berpikir. Dia merasa terkurung dan tertahan karena kehadiran mata-mata Chisaka. Dia dapat memahami keadaan Horibe dan anggota lain yang ingin segera menyerang Kira. Di sini, di Yamashina, Oishi tidak punya lawan berat untuk dihadapi selain mata-mata. Tapi ketika udara cerah dan kerusakan akibat banjir telah diperbaiki, dia menyusun rencana yang tak biasa. Walaupun tidak berbahaya seperti pertarungan fisik, kegiatan ini menimbulkan akibat yang berbeda yang menurut Oishi sudah sepantasnya. Pedang bukan hanya untuk bertarung.
Selama minggu pertama April dia pergi ke Kyoto tanpa penjelasan, namun saat kunjungan Kataoka di bulan Mei, motif tindakannya itu semakin nyata.
"Senang bertemu denganmu," katanya menyambut teman lamanya, dengan ungkapan yang lebih mendalam dari biasanya.
"Belum ada kabar soal petisi?" tanya laki-laki berwajah seperti kera itu ketika mereka masuk ke dalam rumah.
"Belum," jawab Oishi marah, "dan kelihatannya takkan ada berita apa pun. Horibe dan anggota lain memang benar - para penasihat Shogun itu hanya mencari-cari alasan."
"Kau tidak tahu kalau..." Kataoka memulai, tapi disela Oishi.
"Jangan menghibur. Aku memang salah. Aku begitu berharap dapat menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga bagi kita semua hingga tak mampu melihat hal yang sebenarnya."
"Mungkin masih ada kesempatan. Kata Araki..." tapi kata-kata Kataoka kembali dipotong.
"Bukan Araki yang membuat keputusan. Dia membantu, tapi kita tidak bisa berharap pada sikap optimisnya. Tidak, mulai sekarang kita harus beranggapan bahwa petisi itu ditolak."
"Maksudmu, kita menyerang sekarang?" kata Kataoka ragu.
Oishi bimbang, lalu dia berkata dengan suara rendah, "Bila sedang terburu-buru, kadang-kadang hal yang terbaik adalah mengambil jalan memutar.
Ada beberapa persiapan tertunda yang saat ini tampaknya tak bisa menunggu lebih lama lagi. Siapkan keluargamu sesegera mungkin, teman. Aku juga akan menyiapkan keluargaku."
Setelah itu mereka tidur, Kataoka masih belum mengerti maksud Oishi, namun keesokan harinya terungkap bahwa dia memang sungguh-sungguh berniat menyelesaikan masalah.
Oishi bangun awal, seperti biasa, untuk sarapan bersama istri dan anak-anaknya. Setelah sarapan, dia memanggil istrinya yang sedang membantu menyiapkan menu hari itu, lalu mengajaknya duduk di ruang duduk di bagian lain rumah. Saat itu adalah penghujung musim gugur dan dia membuka kertas shoji ke arah halaman, yang mulai hangat karena sinar matahari. Istrinya berlutut di hadapannya dengan rasa ingin tahu tanpa kuatir dengan apa yang akan ia sampaikan.
"Cuaca semakin hangat," kata Oishi, menyadari kegelisahan istrinya.
"Ya," gumamnya, sambil tetap menatap ke lantai, "suara jangkrik makin terdengar dengan tibanya musim panas."
Tanpa menjawab, Oishi memandang istrinya selama beberapa saat dengan rasa kagum. Selama bertahun-tahun istrinya selalu
setia menemaninya. Apa yang akan disampaikannya merupakan ujian terberat bagi istri seorang samurai, tapi Oishi yakin istrinya sanggup menghadapinya.
"Maaf bila aku sering pulang larut malam," katanya, merasa bahwa hal ini perlu disampaikan.
"Tidak apa-apa," katanya, sambil melihat sekilas pada suaminya. "Anak-anak dan aku tidur pulas sekali."
Oishi tahu kata-katanya itu menunjuk pada kenyataan kalau sudah berminggu-minggu dia tidak tidur dengannya. Oishi berdehem dengan rasa malu.
"Aku - apa yang kuminta darimu bukanlah hal yang mudah, mengingat kau tidak salah..."
"Apa pun yang kau inginkan," gumamnya.
"Aku sudah tulis surat ini," katanya sambil mengambil surat dari balik lengan kimononya yang panjang dan menyerahkannya. "Itu surat cerai."
Istrinya menerima surat itu dengan, diam walaupun terlihat pucat. Dia membaca surat itu tanpa ekspresi, lalu meletakkan di sampingnya di tikar. Dia memalingkan wajah dan Oishi berjalan ke shoji yang terbuka untuk memandang halaman, tak ingin melihat istrinya menangis.
"Kau tahu kalau akhirnya akan seperti ini," kata Oishi lembut.
"Aku tidak berkata begitu pada diriku," jawabnya sambil mengendalikan diri agar suara yang keluar, bukan tangisan. "Aku katakan pada diriku bahwa petisi itu akan dikabulkan dan kelak kita semua akan kembali ke Ako."
"Begitu juga aku, tapi mimpi itu sudah berakhir. Aku tidak ingin melibatkan dirimu dan anak-anak. Itu sebabnya kita harus berpisah."
Beberapa saat istrinya kehilangan kata-kata. "Melibatkan aku? Mengapa aku tidak perlu terlibat atas apa pun yang kau lakukan?"
"Karena aku akan sedih melihatmu melakukannya," jawab Oishi.
Dengan patuh istrinya menunduk, tak ingin membantah atau melawan.
"Kuingin kau bawa anak-anak ke rumah orang-tuamu. Apa yang kulakukan kelak takkan berdampak padamu, kau juga takkan memikul tanggung jawab atas tindakanku."
"Anak-anak," katanya. "Maksudmu semua anak-anak?"
"Chikara sudah berumur enam belas tahun," jawab Oishi. "Kurasa kita harus biarkan dia memutuskan apakah akan pergi atau tetap tinggal."
Dia menunduk sebagai tanda setuju tapi tak dapat menahan tangis.
"Aku harus kehilangan kalian berdua?" tiba-tiba dia menangis keras. Selama beberapa saat yang ada hanyalah dengung serangga di taman, dan setelah itu dia menyeka mata lalu menata dirinya kembali.
'Maaf," katanya. "Ini memang harus kau lakukan dan aku doakan keberhasilanmu seperti yang selalu kulakukan. Tapi... kapankah... perceraian ini... harus terjadi?" tanyanya dengan suara lemah.
"Segera - sesegera mungkin... panggil Chikara agar bisa kita jelaskan hal ini padanya."
Istrinya menunduk hingga ke lantai, lalu berdiri dan keluar. Kakinya yang memakai kaos putih mengeluarkan bunyi berirama di atas tatami.
Chikara cemas dengan sikap ibunya saat memanggil, dan menjumpai ayahnya dengan takut. Dia berlutut dan membungkuk hormat lalu menunggu kemarahan apa pun yang harus dia dengar. Kata-kata awal ayahnya yang disampaikan dengan sikap tenang tidak mengurangi kegelisahannya.
"Kesulitan yang kita alami sekarang merupakan karma atas apa yang kita lakukan dalapi kehidupan sebelumnya, atau pendidikan
yang memang diperlukan untuk menyiapkan kita ke tempat yang lebih tinggi di kehidupan yang akan datang. Itu yang diajarkan guru-gurumu, kan?"
"Ya, ayah."
"Maka, kita tak boleh ragu memilih jalan yang sulit bila memang harus dihadapi, kalau di sanalah kewajiban kita, kan?"
"Ya, ayah."
"Tapi, bila terjadi pertentangan kesetiaan, terkadang keputusan menjadi sulit. Aku bukan bicara tentang diriku - kewajibanku sudah jelas. Namun bagimu ada dua jalan yang harus dipilih. Bila kau ikut dengan ibumu dan adik-adikmu ke rumah nenekmu, kau akan bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka dan jalanmu tidaklah mudah. Bila kau memutuskan untuk ikut denganku, jalannya hampir pasti berakhir dengan kematian. Kau harus memutuskan. Kurasa kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan."
Bagi Chikara, inilah saat yang sangat dinanti-nantikan dan dia telah menyiapkan jawabannya lama sekali. Tanpa ragu dia menjawab, "Aku akan mengikuti ayah. Aku tahu kenapa ayah mengembalikan ibu - untuk melindungi. Jika aku pergi dengannya, aku hanya akan melindungi diriku sendiri dan itu bukan sikap seorang laki-laki - seorang samurai."
Oishi senang dan bangga atas jawaban itu, tapi dia tak ingin anaknya memutuskan secara tergesa-gesa. Dia mengingatkan Chikara untuk mempertimbangkan lagi.
"Aku telah mempertimbangkan," Chikara meyakinkan. "Aku laki-laki dan harus ikut dengan anggota yang lain. Jalan lain berarti pengecut."
Oishi tersenyum dan merangkul anaknya. "Se-amat bergabung," katanya. "Mulai sekarang kewajibanmu sama seperti anggota yang lain."
Chikara membalas senyum ayahnya. Akhirnya ia mendapatkan apa yang paling diinginkannya. Ketika Chikara meninggalkan
ruangan, mata Oishi berbinar-binar dan dadanya dipenuhi rasa bangga.
Dalam sehari anggota keluarga itu berkemas dan siap berangkat. Oishi mengantar kepergian mereka dengan raut wajah yang menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Mata anak-anaknya yang kecil merah karena menangis namun menyembunyikannya di hadapan sang ayah. Mimura menemani mereka, membimbing kuda yang penuh muatan barang. Dia akan kembali begitu mereka tiba di tujuan. Ketika keluar dari gerbang, istri Oishi menoleh untuk memandang suaminya untuk yang terakhir kali, sejenak dia tampak ragu, lalu melanjutkan perjalanan. Keduanya tahu bahwa mereka takkan bertemu lagi.*
SEBELAS
Dari tiga tempat hiburan besar di Kyoto, yang paling terkenal adalah Gion. Dari semua rumah geisha di Gion, yang memiliki reputasi paling mengagumkan dalam pelayanan adalah Bangau Terbang. Pemiliknya adalah laki-laki bernama Hoshino yang berbadan besar, licik dan selalu berkeringat. Dia telah berusaha keras menjadikan rumah geisha miliknya menjadi yang terbaik di Kyoto.
Saat ini dia kuatir dengan pesta di salah satu kamar yang menghadap ke sungai. Dua di antara tamu sudah dikenalnya, yaitu Shindo dan Koyama. Namun dua samurai lain jelas baru pertama kali ini datang dan tampaknya mereka tak tahu cara bersantai dan menghibur diri. Salah satu tamu yang berdahi lebar tampak gelisah, dan Hoshino takut jika orang itu akan memberi kesan kalau Bangau Terbang adalah tempat yang membosankan.
Hoshino berdiri di lorong dan terus-menerus berkeringat sementara perbincangan di balik pintu kertas itu sampai di tingkat yang sudah tidak dapat ditahannya lagi. Merasa kalau harus bertindak tegas, dia pun mengangkat tangan untuk memanggil pelayan yang sedang lewat.
"Panggil Okaru," katanya. Gadis itu membungkuk dengan cepat dan segera pergi.
Di dalam ruangan, Oishi merasa sangat bosan.
Kedai teh itu sangat indah, dan dia yakin kalau ruangan yang menghadap ke sungai Kamo ini adalah ruangan terbaik di kedai. Namun geisha yang berada di sampingnya, yang tidak pernah berhenti bicara ini, tidaklah seperti yang dia harapkan.
Ada empat geisha, satu geisha untuk setiap tamu, dan semuanya membawa nampan berisi botol sake serta cangkir. Mereka memakai kimono berwarna cerah yang terbuat dari bahan mahal, dilengkapi obi lebar berwarna kontras yang membentuk pita besar. Wajah mereka putih dengan lipstik merah menghiasi bibir bagian bawah. Rambut mereka ditata membentuk sanggul yang rumit dan dilengkapi hiasan rambut.
Gadis-gadis itu memperkenalkan diri dengan gaya yang memikat dan sambil bergurau memberi julukan untuk keempat tamu mereka. Oishi cukup dipanggil "Paman", Shindo dipanggil "Tuan Musang", Koyama dipanggil "Tuan Tikus", dan tentu saja, Kataoka adalah "Tuan Monyet". Saat Shindo dan Koyama, dan kadang juga Kataoka, mulai menikmati suasana, Oishi merasa sebaliknya. Gadis di sebelahnya lebih pantas menjadi anaknya, dan dia merasa tidak pantas bila minum bersama. Dia hampir memutuskan pergi ketika terjadi sesuatu yang sama sekali tidak terduga.
Saat menoleh untuk menyampaikan sesuatu pada Kataoka, tiba-tiba gadis yang berada di antara mereka berdiri untuk mengambil nampan makanan. Samar-samar dia sadar kalau gadis yang lain juga keluar ruangan di saat bersamaan. Para gadis itu kemudian datang lagi dengan membawa aneka makanan yang menggugah selera. Makanan yang disajikan ini jelas-jelas tidak menghiraukan aturan Shogun yang melarang makan daging atau ikan.
Oishi langsung melihat ke arah nampannya saat diletakkan di hadapannya. Dia tidak sadar kalau yang berlutut di sampingnya sekarang adalah geisha lain. Sikap diam yang tidak biasa gadis ini yang membuat Oishi menoleh. Saat itulah dia terhenyak. Tepat
berlutut di sebelahnya dengan senyum yang tenang langsung membuat Oishi merasa nyaman, adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
Namanya Okaru, geisha nomor satu di pusat kota geisha.
Sulit menebak usianya, meskipun sudah pasti dia bukan anak kecil. Kimononya sangat indah, tapi tidak jauh lebih indah dari yang dikenakan gadis lain. Hidungnya mancung dan anggun, namun matanyalah yang paling menarik perhatian Oishi. Matanya besar dan jernih, dengan kedalaman ekspresi yang segera membedakan dia dengan gadis lain yang ada di tempat hiburan tersebut.
Dengan suara yang lembut, dia menjelaskan jenis makanan yang ada di atas nampan sambil menunjukkan cara yang tepat untuk memakannya. Lalu, ketika geisha lain menari dan menyanyi, dia menjelaskan setiap kata dan gerakan mereka sehingga Oishi dapat benar-benar memahami tarian itu.
Ketika dia bangkit untuk menari, oishi terpesona oleh keanggunannya. Diiringi petikan samisen yang merdu, dia melakukan gerakan sederhana yang mengisahkan tentang godaan serta cinta yang bertepuk sebelah tangan yang tak perlu diterjemahkan.
Setelah itu, gadis yang lain kembali menari dan akhirnya Shindo dan Koyama yang sudah mulai mabuk, melakukan tarian yang mengejek gerakan gadis itu. Inilah pertama kalinya Oishi tertawa keras sehingga suasana pun menjadi lebih santai.
Ketika tiba waktunya pulang, mereka dikawal keluar hingga gerbang oleh para geisha dan Hoshino. Dengan kesedihan yang berlebihan karena akan berpisah, para gadis membungkuk rendah dan memohon mereka agar kembali lagi. Janji diberikan dengan mudah, namun janji Oishi, yang sama sekali tak melepaskan pandangannya dari Okaru semalam itu, adalah yang paling tulus. Malam itu merupakan malam yang takkan dia lupakan.
Dari berbagai sudut, kunjungan pertama Oishi ke Gion berhasil dengan baik. Orang mulai membicarakan perubahan kelakuannya,
dan itulah yang sengaja dia ingin orang-orang sebarkan. Semakin sering dibicarakan, berarti dia takkan lagi dianggap sebagai ancaman oleh Kira. Kini rumah geisha menjadi tempat tinggalnya.
Jumlah mata-mata semakin banyak yang mengikuti kegiatannya dan dia senang melihat kebingungan lawan. Kebingungan juga terjadi di antara anak buahnya.
Biasanya, dia bangun siang, makan dengan terburu-buru dan segera pergi ke kota. Mereka yang tak dapat atau tak mau bangun di waktu yang sama, akan menyusul untuk bergabung dengannya di tempat yang dapat mereka ketahui melalui kehadiran mata-mata yang menyamar sebagai komuso. Mereka menjadi begitu terbiasa dengan kehadiran mata-mata ini hingga Kataoka menyebut mereka sebagai "penunjuk jalan ke tempat hiburan". Dia lewat di hadapan wajah mereka yang tersembunyi, dan setelah itu menertawai mereka yang menunjukkan rasa malu.
Siang hari, setelah minum-minum, biasanya mereka pindah ke tempat lain untuk makan malam dan kadang-kadang dilanjutkan ke kedai teh untuk hiburan setelah makan malam. Saat dalam perjalanan pulang di larut malam, keadaan semakin buruk. Sambil mabuk Oishi akan menegur pejalan kaki dan melakukan hal yang tidak disadarinya. Bila udara cerah, dia akan mengajak sejumlah geisha jalan-jalan di tempat umum seperti Taman Gion dan mengadakan piknik yang kacau di bawah tatapan mata kalangan terhormat. Masyarakat Kyoto sudah terbiasa dengan pengunjung yang menyukai kesenangan, tapi menurut mereka Oishi terlalu berlebihan.
Minggu demi minggu semakin banyak laporan yang masuk ke Edo mengatakan bahwa dia menghambur-hamburkan uang dan tak pernah bertemu teman-temannya tanpa acara minum-minum. Kataoka dikenal sebagai pelawak istana, sedangkan sudah pasti Shindo dan Koyama takkan dijuluki ksatria. Biasanya, laporan-laporan tersebut juga disertai tagihan untuk tugas mata-mata yang diperlukan hingga memaksa Chisaka, yang putus asa, mengambil tindakan. Jumlah mata-mata dikurangi menjadi hanya Fujii dan satu
pembantu, tidak termasuk juru masak yang masih tetap bertugas di Yamashina. Ini adalah tugas yang tak dapat dilakukan dua orang dan segera saja mereka sulit memusatkan perhatian karena kurang tidur. Kelompok Ako meninggalkan tempat melalui pintu samping, keluar dan masuk secara terpisah, dan membuat tugas mata-mata itu menjadi kian sulit. Ketika melihat Fujii memakai sepatu terbalik, Oishi tertawa karena telah berhasil mengalahkan musuh yang berat.
Sayang sekali bagi Oishi, sebagian besar pembicaraan yang dilakukan di rumah-rumah geisha hanya berkisar pada kesenangan, termasuk teater, aktor serta artis terkenal. Dia tidak tahu apa pun tentang semua itu, dia hanyalah seorang samurai dari desa. Suatu ketika di Bangau Terbang, tempat yang paling sering dia kunjungi, ada pembicaraan seru tentang aktor tertentu, Oishi keluar dengan alasan ingin mencari udara segar. Saat hendak keluar itulah Okaru menyarankan dia menonton Kabuki agar tahu apa yang dibicarakan. Geisha lain yang hadir di sana terkejut atas kelancangannya, tapi Oishi pura-pura tidak memerhatikan.
Dia dengan sopan mengucapkan terima kasih atas sarannya. Dia merasa mungkin Okaru menertawakan namun ia mengatakan kalau dia akan ke teater keesokan harinya. Katanya, tak pernah terlintas di benaknya untuk mengunjungi teater umum. Mungkin saja dia bisa terhibur di sana. Di belakangnya, Shindo dan Koyama saling mengedipkan mata; mereka yakin yang sedang berbicara pastilah Oishi yang mabuk. Dia bukan jenis orang yang sering mengunjungi tempat umum.
Pesta itu berlangsung hingga larut malam ketika mereka akhirnya bersiap pulang. Kataoka melihat hanya ada satu mata-mata yang masih menunggu di pintu masuk. Dia melaporkan ini kepada Oishi dan mereka sepakat untuk mempermainkannya. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada para geisha dan pemiliknya, orang-orang Ako ini saling bertukar topi dan pakaian luar dengan Shindo dan Koyama. Setelah itu mereka keluar dengan tenang. Petugas mata-mata mengikuti mereka. Oishi dan Kataoka mengawasi dari balkon sambil tertawa. Kemudian, dengan pakaian teman-teman mereka, mereka menyelinap keluar dari pintu
belakang. Meskipun Oishi tidak menyadarinya, tapi pasti akan kuatir seandainya tahu ada yang mengawasi perbuatan mereka. Geisha Okaru melihat dari jendela di lantai atas dengan wajah yang lebih dari sekadar ingin tahu.
Keesokan harinya, dengan mengejutkan semua orang, Oishi mengatakan kalau dia akan ke teater Kabuki. Shindo dan Koyama, yang telah menjadi penggemar jenis teater ini, yang jauh lebih hidup daripada teater istana Noh, serta merta menerima undangannya. Kataoka kurang antusias; pengetahuannya tentang hal-hal seperti itu tak lebih dari pimpinannya, tapi dia tak ingin membiarkan Oishi ke tempat umum tanpa didampingi dan memutuskan akan ikut sebagai pengawal.
Pertunjukan pertama dimulai siang hari, namun dalam perjalanan Oishi memaksa mampir ke kedai teh untuk minum sake hingga akhirnya mereka terlambat. Menjelang sore, Shindo mengingatkan bahwa sebaiknya mereka tiba tepat waktu untuk melihat pertunjukan kedua atau tidak akan dapat tempat. Namun Oishi mengabaikan dan menuangkan minuman lagi. Dia membutuhkah perlindungan untuk rencana yang ada di pikirannya, dan menjelang malam ketika akhirnya dia siap berangkat.
Seperti yang ditakutkan Shindo, karcis telah terjual habis. Ketika mereka sampai di teater, mereka melihat calon-calon penonton yang ditolak. Meskipun begitu, dalam keadaan mabuk dan merasa tak senang, Oishi memutuskan bahwa mereka harus tetap masuk dan memanggil pengelola teater. Ketika laki-laki yang ketakutan itu muncul, Oishi mengancam akan melempar dia ke Sungai Kain o bila tak menyediakan tempat. Si pengelola menyeka kepalanya yang tak berambut dan berjanji akan melihat apa yang dapat dia lakukan. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya mereka diantar masuk ke dalam oleh seorang penjaga pintu.
Ketika berjalan menuruni lorong dalam teater yang agak gelap, Oishi melihat ruangan berlantai tikar ini dipisahkan menjadi beberapa bagian oleh teralis rendah yang penuh penonton dari berbagai usia dan latar belakang sosial. Agar dapat memberi tempat
bagi Oishi, pihak pengelola terpaksa mengusir empat orang pedagang dari tempat pilihan yang berada di tengah ruangan. Mereka memerhatikan orang-orang yang baru datang itu dengan pandangan jengkel sambil mengangkat kotak makan siang dan melangkah ke lorong. Dengan ribut Oishi mengatur tempat bagi teman-temannya dan melihat ke sekeliling teater, menunjuk ke ruangan di sebelah balkon dan mengatakan bahwa tempat di sana lebih baik. Dia bisa melihat ada banyak kias pedagang, geisha dan bahkan beberapa samurai, atau ronin, termasuk satu orang bertubuh besar dengan beberapa pengikutnya di ruang sebelahnya. Meskipun pertunjukan sedang berlangsung, Oishi membuka botol sake dan membuat keadaan makin membingungkan ketika dia meminta pengelola agar menyediakan air panas untuk menghangatkan sake. Tentu saja tak ada yang berani membantah, walaupun samurai bertubuh besar yang ada di ruang di sebelahnya tampak kesal.
Samurai itu sedang berusaha mengikuti pertunjukan itu dan dia menggerutu atas sikap Oishi yang tidak sopan.
Oishi tak memedulikan orang itu. Setelah mendapatkan sake hangat barulah dia memerhatikan apa yang terjadi di pentas. Ketika akhirnya bisa memusatkan perhatian, dia melihat bahwa tata letak pentas menggambarkan gubuk petani, dan para pemain, yang semua laki-laki, berpakaian petani. Baginya ini membosankan. Sesuatu yang aneh menurutnya yaitu gaya bicara mereka tidak seperti kaum petani, melainkan dengan bahasa yang tinggi sehingga menurutnya sama sekali tidak cocok. Ungkapan perasaan yang mereka sampaikan dengan anggun tak sesuai dengan peran mereka yang kasar. Oishi sulit memercayai bahwa penonton bisa menerima hal seperti itu. Di saat mendengarkan dengan lebih saksama, dia terpesona ketika sadar bahwa tokoh-tokoh itu sedang membicarakan hal-hal seperti etika Kong Hu Cu serta pilihan antara kewajiban kepada pimpinan atau umat manusia dan kepada orang-orang yang mereka kasihi. Bagi Oishi, mustahil mereka bisa menghargai hal-hal yang berat seperti itu. Dia menyikut pinggang
Kataoka lalu memberi komentar menghina tentang petani agung yang sedang mereka tonton.
Kataoka tertawa keras, begitu juga yang lain, termasuk Oishi. Samurai yang duduk di ruang sebelah menatap mereka dengan tajam dan bergumam pada teman-temannya. Dia mulai kesal dengan semua gangguan ini.
Lalu muncullah pahlawan wanita dalam pertunjukan itu. 'Wanita' dari kalangan bangsawan. Kelihatannya wanita ini telah diperlakukan dengan semena-mena oleh suaminya dan memiliki kekasih dari kias pedagang. Dia lari dari rumah dan sedang menanti di pondok petani untuk bertemu kekasihnya. Oishi tak membiarkan pertemuan itu terjadi.
Dengan marah dia bangkit dan berteriak bahwa pemain itu palsu, bahwa dia tidak memahami bagaimana seharusnya berperan sebagai wanita bangsawan yang takkan melakukan hal seperti itu. Oishi meminta pertunjukan itu dihentikan. Suasana menjadi hening, di panggung maupun di luar panggung. Samurai yang duduk di ruang sebelah melompat, kejengkelannya memuncak.
"Diam, kau bodoh!" dia berteriak ke arah Oishi. "Sikapmu jauh lebih buruk dibanding orang kota -dari kabar yang kudengar, ini bukan pertama kalinya kau mempermalukan dirimu di Kyoto!"
Oishi terhenyak, kemudian sambil mengumpat dia meraih pedang. Tapi pedangnya tersangkut dalam sarung, samurai yang lain tertawa keras dan mengejeknya.
"Pedangmu kini dipakai untuk keperluan dapur ya?" Dia tertawa lagi dan menoleh ke arah teman-temannya. "Lihat, dia menyebut dirinya samurai, merasa lebih baik dari pemain di panggung maupun penonton, tapi pedangnya berkarat!" Dia tertawa lagi dan kali ini Oishi mengayunkan pedang yang masih dalam sarungnya ke kaki orang itu. Laki-laki bertubuh besar itu berusaha menghindar dan jatuh di salah satu pembatas ruang yang rendah. Dia menimpa seorang penonton, seorang wanita tua yang memakinya seperti terhadap seorang pekerja. Dia berdiri lagi dengan ditertawai teman-teman Oishi yang mabuk. Tangan para pengikut orang bertubuh
besar itu bersiap meraih pedang, namun dia menahan mereka. Selama beberapa saat dia melihat pemandangan yang menggelikan, Oishi siap dengan pedangnya yang masih tersangkut di sarung, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia meraih pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi, tapi ternyata pedangnya juga tersangkut di sarung. Dengan teriakan menyerang, dia menyergap Oishi namun luput dan menabrak pembatas lain. Penonton di sekeliling segera menyingkir ketika melihat keributan telah berubah menjadi pertarungan. Pengikut Oishi maupun pengikut lawannya membentuk setengah lingkaran di belakang pemimpin mereka untuk menghalau siapa pun yang ingin ikut campur.
Putaran dan ayunan permainan pedang terus berlangsung di tempat yang tidak biasa, yaitu lantai teater yang gelap dengan pembatas ruang yang digunakan sebagai penghalang. Kondisi fisik kedua orang itu sangat tidak baik, selain mabuk, penduduk kota juga menganggap perbuatan mereka menyebalkan. Sebagian besar dari mereka mulai keluar teater dengan kecewa karena terganggunya pertunjukan. Meskipun sedang sibuk, Oishi juga merasakan ini dan menjadi sangat malu, sekalipun masalah yang dihadapinya adalah akibat perbuatannya sendiri.
Dia ingin segera mengakhiri pertarungan itu tapi lawannya ternyata tangguh, maka ayunan pedang terus berlangsung. Belum pernah Oishi merasa atau kelihatan begitu bodoh. Dia menyalahkan dirinya karena terlibat dalam perkelahian seperti itu. Sadar kalau dia sudah kelihatan begitu bodoh, maka dengan sengaja dia membuat dirinya tersandung dan jatuh tepat di hadapan lawannya. Orang bertubuh besar itu berteriak kemenangan lalu menepuk kepala Oishi dengan pedangnya yang masih ter-sarung dengan gaya seorang pemenang. Oishi bangkit lalu berlutut dan pura-pura membungkuk sebagai tanda menyerah, orang besar itu pun tertawa dan kembali ke ruangannya.
Atap kaca sudah dibuka dan pertunjukan sudah berakhir. Beberapa penonton masih tetap di tempat, berharap sandiwara akan dimulai lagi, tapi sebagian besar penonton sudah pergi dengan ketakutan atau kesal. Samurai yang besar itu memerintahkan anak
buahnya membereskan barang dan bersiap pergi. Ketika hendak keluar, Oishi tanpa sengaja melihat ada Okaru di ruangan di sebelahnya. Wanita itu sedang duduk sambil bicara dengan seorang maiko kecil, atau calon geisha. Yakin kalau Okaru melihat kejadian tadi, dia pun berbalik dengan kecewa dan malu. Walaupun mabuk, Shindo memerhatikan ini dan memberitahu Koyama. Ketika akhirnya Koyama memahami apa yang dimaksud Shindo, mereka pun saling melemparkan pandangan mengerti.
Oishi meninggalkan teater dengan tergesa-gesa diikuti kelompok kecilnya. Shindo dan Koyama membungkuk ke arah Okaru yang dengan sopan membalas salam mereka. Oishi tidak memerhatikan ini; dia masih memikirkan sikapnya yang sangat memalukan. Di benaknya, hanya ada satu yang memuaskan dari seluruh kejadian ini: yaitu jika mata-mata Kira melihat peristiwa ini, mereka punya bukti kuat bahwa orang yang mereka awasi benar-benar bodoh. Pedangnya berkarat, kemampuan ber-pedangnya sangat buruk, lebih mirip pengemis.
Benci dengan dirinya sendiri dan untuk semakin memperburuk nama baiknya, Oishi memaksa mampir di 'kedai teh' pertama yang mereka jumpai, meskipun itu kedai teh murahan. Begitu masuk, dia duduk dengan kesal dan minta dilayani gadis pengawas. Di tempat ini dia minum lebih banyak sake murahan dan dilayani 'geisha' yang juga bukan yang terbaik. Gadis-gadis petani ini didatangkan tanpa mendapat pendidikan soal tata krama. Tugas mereka hanyalah menyediakan sake dan tidur dengan pelanggan bila diminta; kemampuan mereka menghibur juga sangat terbatas. Oishi mendengarkan dengan bosan saat mereka berbicara dengan logat daerah yang terdengar tidak menyenangkan di telinga. Tapi dia ke sini untuk minum, bukan untuk berbincang, dan memang hanya untuk tujuan itu.
Berjam-jam kemudian, Shindo dan Koyama meninggalkan Oishi yang tertidur di pangkuan gadis pengawas yang melantunkan lagu rakyat dari daerahnya dengan irama datar. Kataoka juga tertidur di sudut ruangan, kelelahan dan sudah hilang kesabaran pada pemimpinnya.
Tiba-tiba terjadi keributan di luar pintu. Gadis itu berhenti bernyanyi dan dengan mata mengantuk berusaha melihat. Oishi bangun untuk mendengarkan, lalu tidur kembali dan gadis itu melanjutkan nyanyiannya. Hal selanjutnya yang disadari Oishi adalah pintu yang dibuka paksa, dan Hara dengan mata menyala berdiri di pintu. Oishi berusaha bangkit namun tangannya terpeleset hingga jatuh kembali ke pangkuan gadis itu, yang terkejut dengan kehadiran samurai yang narah di hadapan mereka.
"Hara," kata Oishi sambil berusaha berdiri. "Selamat datang.... Kataoka, lihatlah, siapa yang datang - teman lama kita Hara.
Kataoka bangkit dengan mengantuk, namun ketika melihat siapa yang berdiri di pintu, dia langsung berdiri tegak. Dia baru saja hendak menjelaskan namun raut wajah Hara membuatnya mengurungkan niatnya. Belum pernah dia melihat Hara begitu marah dan dia kehilangan kata-kata.
"Jadi cerita itu benar!" kata Hara, tangannya gemetar sambil memeging kedua pedang, seolah ingin menggunakan kedua pedang itu. "Aku takkan percaya kabar tentang kalian berdua sehingga aku terpaksa datang dan melihat sendiri!"
Oishi berdiri dengan terhuyung-huyung. "Tunggu sebentar, teman..."
"Aku bukan temannmu," Hara menyela dengan dingin. "Kau membuat malu nama 'samurai'." Dia menggelengkan kepala, "tak kusangka kau berada di tempat kotor seperti ini"
"Tunggu!" kata Kataoka dengan marah, namun Hara tak memberi kesempatan.
"Siapa yang membayar semua ini, Oishi-dono!" tanyanya dengan nada marah. "Saat anggota kita kelaparan, bagaimana kau bisa menghambur-hamburkan uang kita dengan cara seperti ini?"
"Cukup, Hara!" teriak Oishi.
"Aku memang sudah mengatakan semuanya. Aku telah selesai bicara denganmu dan aku juga sudah selesai mendengar. Akan
kukabarkan pada anggota kita bahwa Oishi sudah menjadi pencuri dan pemboros dan tak bisa lagi dipercaya. Seharusnya sudah kubunuh kalian!"
Dia berbalik hendak keluar, tapi dengan susah payah Kataoka menjatuhkan diri di hadapan Hara.
"Hara, tidakkah kau lihat..." katanya, tapi Hara, dengan sikap menghina, menginjak dada Kataoka dan mendorongnya dengan kasar.
"Bajingan!" umpatnya dengan gigi yang terkatup rapat, lalu dia keluar melalui pintu masuk.
Ketika dia menutup pintu kembali, pishi melihat seorang pemuda yang menunggu di belakangnya tapi wajahnya tidak dia kenal dan segera melupakannya.
Setelah Hara pergi, Oishi dan Kataoka menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan sedih.
Setelah beberapa saat, si gadis, yang pucat dan gemetar, menyingkir mendekati pintu dalam kedai teh itu. Oishi segera menghalangi jalan dan memberi senyum yang dipaksakan.
"Tolonglah," katanya, "ini bukan sesuatu yang harus diberitahukan. Teman kami tadi orang yang sangat kuno yang tidak mengerti mengapa kadang-kadang kami suka bersenang-senang."
Si gadis tampak ragu sejenak, kemudian perlahan-lahan rona di pipinya mulai kembali.
"Sekarang sudah terlalu malam untuk menyanyi, tapi kami sangat menghargai hiburanmu." Dia membuka dompet dan mengeluarkan beberapa koin yang dia permainkan dari satu tangan ke tangan lain sambil berkata. "Kau memaafkan, kan? Dan takkan menceritakan kejadian ini pada orang lain?"
Gadis itu menghela napas panjang ketika melihat uang itu. Setelah Oishi menyerahkan uang itu, dia tersenyum, memperlihatkan giginya yang tidak rata.
"Terima kasih, tuan. Datanglah lagi."
Dengan enggan Oishi dan Kataoka membungkuk ke arahnya lalu pergi. Di luar, Kataoka berjalan tanpa bicara. Oishi memikirkan apakah Hara tidak memercayainya lagi. Jika memang demikian, dia tak bisa menyalahkan. Ketika tiba di Yamashina, Oishi langsung ke tempat tidur dengan perasaan hampa.*

DUA BELAS

Di tengah malam, Oishi setengah terbangun oleh suara berbisik dari lorong di luar kamarnya. Dia berusaha mendengar apa yang sedang mereka bicarakan tapi tidak jelas, maka dia pun membalikkan badan untuk kembali tidur. Dengan membelakangi pintu masuk, dia mendengar seseorang membuka dan menutup kembali shoji dengan perlahan tapi dia terlalu sedih dan terlalu mabuk untuk ambil pusing. Dia menutup mata rapat-rapat sampai tertidur kembali.
Baru beberapa lama setelah itu, ketika dia membalikkan badan menghadap ke pintu masuk, dia merasa ada seseorang di kamarnya. Bukan hanya di dalam kamar, tapi juga di tempat tidurnya! Samar-samar, ada sesosok tubuh yang berbaring di sisinya lalu dia bangkit bertumpu di atas kedua tangan dengan terkejut.
Hal pertama yang muncul di pikirannya yaitu istrinya datang dari rumah orangtuanya tanpa mem-beritahu. Dia merasakan dorongan yang kuat untuk memeluk dan juga memukulnya karena tidak menaatinya. Kemudian tubuh itu berbalik menghadap kepadanya dan dalam sinar rembulan yang masuk menembus jendela kertas dia sadar kalau itu adalah Okaru. Dia kembali merasakan dorongan yang bertentangan dalam dirinya. Dia segera tahu bahwa keberadaan Okaru di kamarnya pasti karena ulah Shindo dan Koyama. Hal ini membuatnya marah dan tersinggung. Gadis itu terbangun oleh suara Oishi, dan melihat ke arahnya dengan rasa ingin tahu. Kini Oishi dapat melihat dengan jelas betapa pucat warna kulitnya dan dapat membedakan cahaya merah gelap lewat
rambutnya yang harum. Oishi mengakui Okaru memang cantik, sambil bergerak mendekati dia yang mengawasinya dengan diam.
Pagi hari ketika bangun dan mendapatkan bahwa gadis itu masih ada di sampingnya, Oishi merasa sangat malu dengan sikapnya. Melihat gadis itu juga sudah bangun, maka dia berkata dengan nada minta maaf.
"Seharusnya tidak boleh ada hubungan yang tidak disertai dengan sopan santun."
Gadis itu tersenyum untuk pertama kalinya dan Oishi kembali menyadari kecantikannya. Ada ekspresi melankolis di matanya yang membuat senyumnya yang sederhana pun memiliki misteri.
"Itu bukan hal yang penting," katanya singkat.
Sejenak Oishi merasa tenang dan bersyukur, tapi kemudian pikirannya kembali pada keributan di teater. Gadis itu ada di sana dan pasti dia menganggap buruk. Kini, pikiran lain muncul. Karena Okaru sudah melihatnya dan pasti menganggapnya bodoh, kenapa dia datang ketika teman-teman yang berniat baik itu memintanya? Apakah dia butuh uang? Bagi orang seperti dia, rasanya tak mungkin. Atau mungkin dia mata-mata yang memanfaatkan Shindo atau Koyama?
Okaru pasti sudah menebak pikirannya itu. Saat Okaru kembali tersenyum, Oishi mengajihkan perhatian dengan menceritakan lelucon tentang kedai teh.
"Kata orang, wanita yang tersenyum pada semua orang pastilah berhati dingin."
"Mungkin," katanya setuju, masih tersenyum. "Mengapa kau berpendapat aku tersenyum pada setiap orang?"
"Karena itu pekerjaanmu," jawabnya pendek. "Aku tidak merasa tersanjung dengan menganggap kalau aku diperlakukan berbeda."
"Semua laki-laki memang berbeda, tapi juga sama."
"Benar," katanya setuju. "Namun beberapa laki-laki harus dihindari, jangan dicari. Orang-orang yang sering membuat masalah dan sejenisnya hanya akan memberi kemalangan orang-orang di dekatnya."
"Manusia saling berhubungan karena memang sudah ditakdirkan begitu," katanya dengan tenang.
"Dan apa yang sudah bersatu harus berpisah," kata Oishi pelan. Kemudian dengan tiba-tiba Oishi mengubah topik pembicaraan.
"Kabuki ternyata tidak seperti yang kau ceritakan," dia memulai, kembali ke topik yang pernah mereka bicarakan sebelumnya.
"Aku menyesal kau tidak menikmatinya," jawab Okaru, nada bicaranya juga berubah ringan seperti Oishi.
"Kau bilang teater itu realistis - bagiku justru sebaliknya. Petani tidak bertingkah laku seperti itu -begitu juga wanita bangsawan."
Okaru diam, tidak menanggapi.
"Tak ada istri samurai yang meninggalkan suaminya demi orang biasa seperti yang dikisahkan dalam sandiwara itu," lanjutnya. "Sungguh tak dapat dipercaya. Aku bisa lihat bagaimana orang bodoh yang tak tahu apa-apa akan memercayai cerita itu, tapi siapa pun yang pernah berhubungan dengan kaum bangsawan pasti tahu bahwa hal seperti itu tidak pernah terjadi."
"Aku yakin kau kenal lebih banyak wanita bangsawan daripada aku," tambahnya. "Tapi kau tidak tahu akhir sandiwara itu. Pemuda biasa itu ternyata seorang samurai! Dan bahkan seandainya kau tidak menduga itu, sebagian besar penonton tahu karena mereka pernah melihat sandiwara itu."
Beberapa saat Oishi diam membisu. "Yah, mungkin hal itu bisa membuat perbedaan," akhirnya Oishi menjawab dengan enggan. "Tapi tetap saja tidak berarti membenarkan perselingkuhannya."
"Bagaimana jika dia diperlakukan kasar oleh suaminya? Bagaimana bila dia telah menceraikan istrinya karena beberapa alasan dan istrinya ini tidak punya siapa pun untuk menolongnya?"
Perbincangan ini juga sudah mulai tidak menyenangkan karena menyinggung rumah tangganya dan Oishi menjadi ragu. "Mungkin," katanya dengan lesu. "Tapi tak ada wanita terhormat yang membiarkan dirinya terlibat dengan laki-laki sembarangan."
Kini giliran Okaru yang merasa tidak senang, tapi dia hanya mengangguk setuju. "Ya," katanya. "Mungkin kau benar. Aku tidak kenal banyak wanita bangsawan - wanita terhormat - dan aku yakin kau benar tentang cara mereka bersikap."
Sudah terlambat bagi Oishi untuk menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung Okaru, namun dia tak mampu menemukan kata maaf yang layak. Dengan malu, dia kembali pada sikapnya yang kasar.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
"Saudara-saudaramu yang memintaku datang," jawabnya singkat. "Katanya kau butuh wanita di rumah agar tidak mencari kesenangan di tempat hiburan setiap malam dan merusak kesehatanmu."
"Mereka menemuimu? Mereka mencarimu?" tanyanya.
"Ya," katanya dengan terkejut. 'Apakah kau pikir aku..." dia ragu lalu tersenyum. "Bukannya wanita tak membutuhkan laki-laki seperti laki-laki membutuhkan wanita."
Oishi masih memikirkan Shindo dan Koyama. Apakah mereka memang mencemaskan kesehatan dirinya? Ataukah ada niat tertentu? Pasti mereka sudah memerhatikan dengan saksama hingga tahu bahwa dari semua geisha yang ada di Kyoto, gadis inilah yang paling menarik. Tapi apa yang akan terjadi bila geisha ini terlalu dekat dengannya? Apakah itu juga menjadi bagian dari rencana mereka? Dengan bingung, Oishi kembali memerhatikan gadis itu.
"Bagaimana dengan pelangganmu yang lain? Dapatkah kau menyerahkan diri pada seseorang dengan mengorbankan yang lainnya?"
"Itu memang pekerjaanku," kata Okaru sambil tertawa.
"Tapi kenapa memilih orang tua sepertiku?"
"Aku akan ceritakan sebuah rahasia padamu, pak tua," katanya dengan penuh misteri. "Kau tak jauh lebih tua dari aku."
Oishi mengangguk. "Mungkin itu sebabnya kau lebih menarik bagiku dibandingkan yang lain -maksudku..." Dia berhenti, bingung, sadar kalau dia sudah mengatakan lebih dari yang ingin dia katakan. Dia menunggu ditertawai atas kekeliruannya, tapi Okaru hanya diam menunggu.
"Maksudku, gadis-gadis muda masih bodoh. Tapi begitu juga dengan laki-laki seusiaku."
"Tapi kau berbeda."
"Bagaimana kau bisa bilang begitu?" tanya Oishi terkejut. "Aku pelawak terbesar di Kyoto, Kau sudah lihat contoh aktingku di teater kemarin."
"Sama seperti pendapatku kalau kau tidak terlalu tua, aku juga berpendapat bahwa kau tidak sebodoh itu," katanya terus terang.
"Apa yang kau lihat pada diriku?" dia bertanya sambil meninggikan suaranya dengan kesal.
"Aku melihat orang yang menderita karena kehilangan jabatan dan aku bersimpati padanya."
"Simpati atau kasihan?" tanyanya dengan tajam.
"Oh, aku tidak mengasihanimu. Aku merasa kalau kelak kau akan mendapatkan kembali hakmu. Seperti kau tahu, laki-laki memiliki posisi yang lebih baik dari wanita untuk melakukan hal itu."
Oishi menatap tajam. Secara terang-terangan dia menyatakan kalau dia tahu banyak. Ataukah ini hanya sekadar sikap geisha, senyuman dan kata yang menghibur untuk semua orang?
"Omong kosong," katanya kepada Okaru. "Apa yang sudah hilang tidak bisa kuperoleh kembali -dan seluruh tekad yang ada di dunia ini takkan membantu untuk mendapatkannya kembali."
"Terserah," jawabnya setuju sambil tersenyum.
"Kau melihatku di teater," katanya dengan suara lemah. "Setelah pertunjukan yang memalukan itu kau masih tetap menganggapku seorang ksatria."
"Bila perlu," angguknya, "kurasa kau bisa menjadi orang hebat."
"Dan apa yang membuatmu menyimpulkan seperti itu?"
"Dari beberapa kali pertemuan kita. Contohnya, aku merasa bahwa apa yang terjadi di teater sudah sesuai dengan yang kau inginkan."
Oishi terkejut. "Apa maksudmu?"
Sebelum menjawab, Okaru bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke sudut ruangan di mana Oishi meletakkan pedang malam sebelumnya.
"Pedangmu," katanya sambil mengangkat pedang yang masih di sarung. Tanpa sadar Oishi bergerak untuk menghentikan, lalu diam untuk melihat apa yang dilakukannya. "Aku yakin pedang ini tidak terlalu berkarat seperti yang kau tunjukkan."
Dia melangkah ke depan Oishi dengan gaun tidurnya yang tipis, tangannya menggenggam gagang pedang. "Betul, kan?"
Oishi memandangnya, sadar bahwa tak ada yang dapat dia katakan untuk menghentikannya.
"Benar, kan?" ulangnya, kemudian tanpa kesulitan dia mengeluarkan pedang yang mengkilap itu dari sarung lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dalam posisi menyerang.
Oishi hanya menggumam. Tiba-tiba Okaru tertawa lalu masukkan pedang ke dalam sarung. Dia letakkan pedang itu ke lantai, terus tertawa kemenangan dan lega bahwa dia benar.
Oishi pun tersenyum dan kemudian tertawa.*

TIGA BELAS

Di sebuah toko alat-alat memanah di Osaka, Hara merasa sangat terganggu. Tangannya gemetar ketika mengangkat busur dan memasang anak panah. Bidikannya begitu buruk sehingga tak berhasil mengenai sasaran.
Dia mengumpat. Belum pernah dia merasa kacau seperti ini. Bahkan keluar dari kastil di Ako juga tak membuat dia kehilangan keyakinannya bahwa keadilan pada akhirnya akan muncul.
Hara bukanlah orang mudah percaya pada berita dan hanya percaya setelah dia melihatnya. Dia merasa tersinggung oleh tindakan Oishi dan bahkan menyalahkan dirinya karena tak membunuh pemimpinnya saat itu juga. Selain persahabatan mereka yang sudah lama ada batasan yang dapat ditanggung seorang samurai.
Untungnya saat ini tidak ada yang melihat bidikannya yang jelek. Dia harus segera mengendalikan diri sebelum penduduk kota datang berlatih. Sejak kembali dari Kyoto, dia begitu tegang hingga sering kesal ada yang melakukan kesalahan.
Sebenarnya, bila dia ingat kembali, sejak membuka usaha ini, dia hanya punya satu murid yang berbakat. Nama anak muda yang murah senyum dan berbadan kekar ini adalah Konishi dan dia telah menjadi pembantu serta pendamping tetap Hara. Pemuda itu sangat mengagumi keahlian Hara memanah dan selalu minta diceritakan kisah tentang kehidupan kastil di Ako. Katanya dia putra seorang pedagang dan belum pernah mengenal samurai secara pribadi.
Minat yang diperlihatkannya merupakan pujian dan Hara pun bersungguh-sungguh mendidiknya. Bila pemuda ini terus menunjukkan kemajuan, Hara bermaksud meminta Oishi mau menerima untuk bergabung dengan mereka. Tapi saat ingat pertemuan terakhirnya dengan Oishi, dia menghembuskan napas dengan sangat marah. Dia takkan meminta bantuan Oishi lagi. Bila
tiba waktunya untuk balas dendam, dia akan melakukannya sendiri, bila perlu.
Pikirannya terganggu oleh keributan karena kedatangan Konishi. Pemuda ini berlari terengah-engah dan membungkuk rendah dalam gerakan cepat yang membuat lutut dan kepalanya menyentuh lantai secara berkesinambungan.
"Hei! Ada apa?" tanya Hara dengan keras.
Konishi mendongak dan tersenyum. "Sensei" katanya, memanggil Hara dengan sebutan penghormatan bagi guru, "Anda tak menyangka siapa yang aku lihat di Osaka hari ini!"
"Aku sedang tidak ingin tebak-tebakan," kata Hara sambil membalikkan badan.
"Salah seorang dari daerah Anda!" pemuda itu melanjutkan dengan sangat bersemangat dan Hara berbalik menatap wajahnya.
"Orang dari Ako?"
"Ya, dia punya usaha di sini dan kelihatannya cukup berhasil."
"Punya usaha? Siapa dia? Kau tahu namanya?"
"Oh, tidak. Aku hanya mengenali lambang Ako di tempat usahanya."
"Hmmm. Dan usaha apa yang dijalankannya? Bukan sekolah memanah, kan?"
"Bukan, sensei. Tokonya menjual bahan pakaian - cukup besar."
"Bahan pakaian?... Kira-kira siapa dia?"
Hara berpikir sejenak, kemudian dengan tiba-tiba berjalan keluar sekolahnya.
"Ayo," kata Hara dengan kasar. "Tunjukkan di mana kau lihat lambang Asano itu."
Konishi berdiri dan dengan tersenyum dia mengikuti Hara.
Toko itu tidak terlalu jauh, melewati jalan-jalan yang sibuk di Osaka. Ketika tiba di sana, dia menunjuk dan tersenyum. Hara, yang tidak memercayai ucapan pemuda itu, mengerjap kesal pada dirinya sendiri. Ternyata benar, di depan toko bahan pakaian itu, jelas terlihat oleh pejalan kaki, adalah lambang Asano, di tempatkan seperti iklan mie atau beras.
Hara menggertakkan gigi dan melangkah maju, si pemuda mengikutinya. Hara tak ingin melibatkan pembantunya dalam urusan klan sehingga dia memerintahkan pemuda itu menunggu di luar. Kemudian dia masuk ke dalam toko.
Di dalam toko, dia melihat sekeliling mencari petunjuk jati diri pemilik toko, tapi tak menemukan apa pun. Beberapa penjual muda sedang memamerkan gulungan kain kepada pelanggan. Kemudian dia mendengar suara yang sangat dikenalnya dan menoleh. Dari ruang dalam, sambil membawa barang untuk dipamerkan, keluarlah bekas bendahara klan Asano, Ono!
Sesaat Hara terkejut, tapi kemudian sadar kalau seharusnya ia tidak terkejut. Ono takkan berpikir panjang untuk menodai lambang keluarga bila itu dapat membuat usahanya maju. Apakah uang yang la gunakan untuk usaha didapat dengan jalan benar atau tidak, Hara tidak tahu. Tapi dia memiliki beberapa gambaran tentang kekayaan Ono saat ini dan beberapa manfaat yang dapat diperolehnya dari kekayaan itu.
Hara melangkah maju dan menarik leher baju no dengan kasar.
"Tolong," katanya pada orang tua itu, yang tiba-tiba berubah pucat, "tunjukkan beberapa barang istimewa Anda."
Dia mendorong Ono kembali ke ruang tempat bila muncul, ke dalam gudang di mana mereka dapat bicara berdua. Dia mendudukkan orang tua itu di atas gulungan bahan dan melipat tangannya sambil berdiri di hadapannya.
"Selamat, Ono-san, atas kekayaanmu. Kau pasti lebih berhasil dibanding ronin lain di Ako."
Tak ada nada ancaman dalam suaranya, tapi Ono bukan orang bodoh. Dia tahu sekali di mana posisinya di mata Hara.
"Sabar, teman, aku tidak melakukan hal yang salah..."
"Apa aku bilang begitu?" tanya Hara dengan jujur "Menurutku, kau telah melakukan hal yang luar biasa dengan jumlah pensiun kecil yang kita terima. Aku tahu bahwa kau sangat menyukai uang - kini aku bisa melihat bahwa kau juga tahu cara memperbanyak uangmu."
"Aku telah bekerja keras, tertian," jawab Ono membela diri. "Putraku dan aku telah menghabiskan waktu untuk menjalankan us aha ini."
"Dan kau layak mendapat pengakuan," kata Hara, mengangguk setuju.
Ono bergerak dengan gelisah. Dia yakin pasti sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi dia belum tahu tujuan Hara. Ono memiliki satu tipuan yang selalu berhasil, dan dia memutuskan untuk menggunakannya sekarang.
"Aku prihatin bila kehidupanmu sulit," katanya dengan senyum hambar. "Aku tahu sekolah memanahmu punya beberapa murid. Aku pernah berniat mampir, tapi selalu ada kesibukan dalam usaha..."
Hara hanya diam, jadi dia melanjutkan.
"Sebenarnya, kemarin aku baru saja mengatakan pada putraku, 'Kenapa tidak meminta Hara bergabung dengan kita? Dia akan menjadi karyawan yang baik dan aku yakin dia dapat memanfaatkan penghasilan tambahannya.'"
Hara terus memerhatikan tanpa ekspresi dan Ono berbicara dengan lebih cepat.
"Bisakah aku membantumu, teman? Mungkin memberi pinjaman..."
Orang tua itu segera berlari dan cepat-cepat berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil kotak uang dari bawah tumpukan barang-barang.
"Lihat! Inilah imbalan dari penanaman modal yang baik dan kerja keras. Ambillah sebanyak yang kau perlu! Akan kubuat catatan jumlah uang dan..."
Dengan tenang Hara maju dan mengambil kotak itu dengan tangannya yang besar. Dia telah menemukan jalan keluar yang tepat untuk mengisi peti simpanan yang dirampas Oishi. Tanpa berkata apa-apa, Hara berjalan keluar toko sementara Ono ternganga seperti ikan yang sekarat.
"Tapi tidak - jangan semua. Kau tak bisa lakukan itu..."
Hara berhenti dan membalikkan badan.
"Ini untuk alasan yang benar, bukan untukku. Kau akan senang karena sudah memberi bantuan yang sangat baik."
Dia melangkah keluar, lalu menoleh kembali.
"Dan maukah kau turunkan lambang Asano itu?" katanya dengan sopan. "Kalau tidak, aku akan kembali dan membunuhmu sebagaimana seharusnya."
Tatapan Ono mengiringi kepergian Hara. dia menendang gulungan bahan sambil mengumpat. Dia sudah dirampok tanpa bisa mencegahnya.
Saat keluar, Hara bertabrakan dengan putra Ono yang baru saja masuk. Satu lirikan ke arah kotak uang telah memberitahukan pada pemuda itu apa yang terjadi dan dia segera berjalan cepat melewati Hara sambil membungkuk. Hara mendengus. Putra Ono juga penakut seperti ayahnya. Lebih baik mereka berdua disingkirkan dari klan.
Di luar dia bergabung dengan Konishi yang ingin tahu apa yang terjadi di dalam toko, namun Hara tidak mengatakan apa pun. Dia melangkah dengan pasti melewati jalan berdebu yang sepi. Dia punya rencana untuk menggunakan uang ini dan tidak satu pun dari
rencananya itu melibatkan pemimpinnya, Oishi. Malam itu dia menulis surat kepada Horibe dan mulai melakukan apa yang paling diinginkan para pengikutnya yang memiliki keberanian sejati.*

EMPAT BELAS

Suatu pagi, Okaru sangat terkejut ketika mene rima seorang utusan yang membawa sepucuk surat dari mantan majikannya, pemilik Bangau Terbang. Dalam suratnya, Hoshino menyatakan bahwa bila Okaru tidak keberatan, hari itu dia ingin datang bertamu. Oishi sedang pergi dan dia sendirian di rumah, kecuali dengan Chikara dan maiko kecil yang diajak tinggal bersamanya. Dia merasa kalau hal itu tidak ada salahnya lalu membalas surat persetujuannya walaupun dia merasa bahwa hubungannya dengan Bangau Terbang tidak baik.
Okaru memiliki latar belakang yang aneh bagi seorang geisha, walaupun maiko kecil adalah satu-satunya yang pernah dia ajak bicara tentang hal tersebut. Dia adalah putri dari seorang petani yang terpaksa melepaskan tanah pertaniannya karena Undang-Undang Pelestarian Hidup. Untuk menghidupi keluarganya, ayahnya mengambil jalan yang memalukan dengan masuk ke dunia usaha, dengan demikian turun dua tingkat dari tingkat sosial yang terdiri dari samurai, petani, seniman dan pedagang. Urutan yang terakhir tentu saja adalah eta, namun mereka tidak dianggap dalam tatanan sosial.
Selama beberapa waktu, keadaan terasa sulit bagi ayahnya dalam pekerjaan barunya, namun setelah itu semuanya mulai menjadi terlalu baik dan itu adalah awal kejatuhannya. Dia sangat berhasil dalam usahanya sehingga mulai menghambur-hamburkan uang untuk membeli pakaian yang indah dan barang lain yang lebih pantas digunakan kaum bangsawan, setidaknya menurut para bangsawan. Hal itu menarik perhatian pemerintah kota dan mereka pun melaporkan ke Edo. Tak lama setelah itu, datang surat dari Shogun. Dia harus menyumbang secara "sukarela" untuk membangun kuil baru di daerah pinggiran Osaka yang sedang
berkembang. Ayahnya tak ada pilihan kecuali mematuhi perintah itu. Tagihan biaya bahan bangunan dan tenaga kerja yang terus mengalir hingga menguras habis seluruh uangnya, persis seperti rencana Shogun. Begitulah, dia mengakhirinya sama seperti ketika dia memulainya, tanpa uang. Dia merasa malu, dan tidak bersemangat untuk berusaha lagi. Dia mati tak lama setelah uangnya habis. Istrinya menyusul beberapa minggu kemudian. Dengan seorang adik yang harus diasuhnya, Okaru beruntung dapat memanfaatkan pendidikannya di bidang seni dan menjadi geisha.
Dia tidak menyesali hidupnya di Bangau Terbang - yang lebih baik daripada kelaparan - dan dengan mencurahkan perhatian pada pelanggan yang sulit, dia pun terkenal sebagai ahli penghibur bagi orang yang sedang bersedih. Majikannya yang menyadari kelebihannya itu lalu memberi kemudahan padanya. Hoshino tidak senang harus kehilangan dia, tapi tawaran Shindo dan Koyama untuk membebaskannya sulit ditolak, lagipula, hal ini juga berkaitan dengan harapan Okaru sendiri.
Sejak pertama kali bertemu, Okaru sudah tertarik pada Oishi tanpa mengetahui alasannya. Mungkin karena dia sudah kehilangan sesuatu yang sangat disayangi namun juga tetap memiliki harapan untuk akan mendapatkannya kembali adalah hal yang membuat mereka memiliki kesamaan. Okaru sendiri juga telah mengalami peristiwa yang menyedihkan dan melihat kesempatan untuk menolong Oishi. Setidaknya, dia tak ragu ketika diundang tinggal di rumah Oishi. Dia tidak tahu, hingga beberapa waktu kemudian, bahwa hal itu bukanlah gagasan Oishi namun untunglah segalanya berjalan lancar. Setelah di sana, dia tahu dia takkan pergi atas kemauannya sendiri dan berharap Oishi juga takkan meninggalkannya. Tapi itu hanyalah satu harapan karena bagi Okaru, jelas kalau Oishi laki-laki yang mempunyai tugas. Apa yang paling diinginkan Okaru adalah membantu Oishi menyelesaikan tugasnya.
Tapi dia berpikir apa yang akan Hoshino minta. Apakah Hoshino menginginkan ia kembali? Bukan hal yang umum bagi seorang gadis kembali ke pusat hiburan setelah meninggalkan tempat itu. Dan
hampir tidak mungkin bagi seorang geisha kias satu mendapatkan kembali tempatnya setelah dia tinggal dengan seorang laki-laki.
Hoshino tiba tepat waktu dengan napas terengah-engah. Anehnya, dia sendirian, karena biasanya dia selalu bepergian dengan rombongan pelayan atau setidaknya dengan seorang pelayan laki-laki. Dengan susah payah dia turun dari tandu dan masuk ke dalam rumah.
"Ah, Okaru!" sapanya dengan penuh kekaguman dan kerinduan ketika melihat Okaru. Hoshino menyesal telah menjualnya. Okaru membungkuk lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah.
Malam itu Kataoka tiba kembali di Yamashina sebelum yang lain. Dia baru saja melakukan perjalanan ke Osaka untuk berunding dengan Hara tapi seperti biasa, tanpa hasil. Dia terkejut ketika melihat ada tandu di depan rumah dan baru saja akan mencari tahu pemiliknya ketika dia melihat seseorang keluar dan berhenti sebentar dalam bayangan tembok.
Dia bingung melihat sosok gemuk Hoshino dan mencoba membayangkan maksud kunjungannya. Dengan tinggal bersama Oishi, Okaru telah memutuskan hubungan dengan Bangau Terbang dan tak mungkin Hoshino berusaha menjalin kembali hubungan mereka. Kataoka memutuskan untuk membuntuti tandu itu. Sedikit memata-matai mungkin akan menguntungkan, pikirnya, dan dengan hati-hati dia berusaha agar tidak terlihat oleh komuso dari seberang rumah.
Jalan yang dilalui Hoshino mengarah langsung ke rumah geisha. Ketika Kataoka hendak berbalik untuk kembali ke Yamashina dengan kecewa, dia melihat dua orang menyampiri Hoshino di halaman luar. Kataoka tahu kalau itu pembicaraan yang bersahabat. Punggung kedua orang itu menghadap ke pintu masuk, tapi Kataoka bisa melihat Hoshino membungkuk dan memohon sesuatu. Salah satu dari kedua orang itu dengan kasar menyerahkan beberapa keping uang dan langsung pergi, meninggalkan Hoshino yang mengelap wajah dengan kain lap yang sudah basah.
Kini kedua orang itu berjalan makin mendekati Kataoka dan dia berdiri dengan diam di sisi dinding hias di luar taman sampai mereka melewatinya. Ketika melihat wajah mereka, dia sangat terkejut. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi, kurus dan bersuara berat; tak salah lagi dia adalah Fujii, kepala mata-mata yang telah mengikuti mereka selama berbulan-bulan! Ketika mereka berlalu tanpa memerhatikan dia, Kataoka segera meninggalkan taman dan langsung kembali ke Yamashina.
"Dasar pelacur!" teriaknya, dan kembali memukul Okaru tepat di bibir.
Tangan Okaru memegang wajahnya ketika dia jatuh ke belakang menghantam dinding, namun dia tidak bersuara.
Kataoka meraih leher kimono Okaru dan menariknya ke arahnya. Dia kembali memukul hingga gadis itu jatuh dengan diam. Darah keluar dari sudut mulutnya ketika menatap Kataoka dengan pandangan memohon, tapi Kataoka tak menghiraukan.
"Bagaimana kau bisa melakukan itu - pada orang yang katanya kau cintai!"
Dia menarik Okaru dan hendak meninju lagi ketika pintu di belakangnya terbuka dan Oishi, menahan tangan Kataoka.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?"
Sambil menangis Kataoka menjatuhkan diri.
"Kuharap aku memang gila. Aku berharap tidak melihat apa yang kulihat."
"Apa yang kau lihat?" tanya Oishi, masih tetap memegang tangan Kataoka dan memandang dengan bingung ke arah Okaru yang tampak kacau.
"Lebih baik mati daripada menyampaikannya padamu - tapi dia adalah- mata-mata!"
Oishi melepas tangan Kataoka dan melangkah mundur seolah dialah yang diserang. Okaru mulai terisak namun kalau dia berusaha mengatakan sesuatu, Oishi tak mendengarkan.
Dia berjalan perlahan ke pintu, berhenti sebentar hanya untuk menggumam. "Keluar. Ambil semua barang-barangmu dan pergi."
Setelah itu Oishi pergi dan Kataoka masih tetap berlutut, menatap hampa ke lantai. Okaru menangis sambil bersandar ke dinding sampai lututnya lemas dan dia pun tersungkur di lantai.
Chikara yang menemukan Okaru pada larut malam itu. Dia terbangun oleh teriakan dan segera berlari ke bagian wanita di rumah itu. Orang yang berteriak adalah maiko kecil yang dapat menunjuk ke kamar Okaru.
Okaru gantung diri di kayu langit-langit dengan menggunakan sehelai selendang. Chikara yang terbelalak ketakutan segera berlari untuk menyangga tubuh Okaru dan melepas ikatannya. Dia turunkan Okaru ke lantai dan mendengar detak jantungnya. Ketika mengerang dengan lemah, Chikara tahu kalau dia masih hidup.
"Cepat," katanya pada gadis kecil itu di lorong. "Panggil ayahku."
"Tapi aku melihat dia," ulang Kataoka. "Mata-mata yang selama ini selalu kita hindari - Fujii. Dia membayar si gendut Hoshino langsung atas jasanya setelah menemui Okaru. Apa lagi yang ada di pikiranku?"
"Diamlah," kata Oishi dengan marah sementara berlutut di samping tubuh Okaru yang tak bergerak dan berusaha memasukkan teh ke mulutnya. "Aku percaya semua yang kau katakan. Tapi seharusnya aku juga dengarkan penjelasannya. Apakah ini kelihatan seperti tindakan mata-mata?" Dan dia menunjuk ke bekas lilitan selendang masih terlihat di leher Okaru.
Kataoka terdiam dan dengan cemas mereka berdua memerhatikan Okaru. Chikara dan maiko kecil duduk agak jauh di dalam kamar itu, tidak bersuara agar tidak ada yang memerhatikan dan menyuruh mereka tidur.
Okaru bergerak dan menggumamkan sesuatu, lalu dengan perlahan membuka mata. Dia melihat ke arah mereka semua dan akhirnya menatap Oishi.
"Maaf," katanya, dengan permintaan maaf yang resmi, air matanya mengalir. "Tapi aku tak sanggup menanggung bila kau tak lagi mencintaiku."
Oishi membisikkan sesuatu yang menenangkan dan senyum kecil muncul pada bibir Okaru. Setelah itu Oishi menoleh kepada yang lain.
"Kalian boleh pergi tidur. Okaru akan baik-baik saja."
Dengan tenang mereka meninggalkan kamar. Akhirnya Oishi dan Okaru pun tinggal berdua saja.
"Dia memintaku menjadi mata-mata - tapi aku tak mau melakukannya," katanya dengan kesakitan.
"Aku tahu - aku tahu. Sekarang tidurlah dan besok kita akan melupakan semuanya."
Oishi berbaring di sampingnya dan setelah beberapa saat, mereka berdua pun tertidur.*

LIMA BELAS

Saat itu adalah dimulainya festival pertengahan musim panas, Ura Bon, dan Oishi memutuskan tak ada salahnya turut merayakan festival ini. Tahun lalu mereka telah melewatkan banyak hari libur, sekarang adalah waktunya untuk mengganti semua yang hilang.
Rumah dihiasi lampion, jalinan burung kertas yang bisa berputar, naik dan turun bila dinyalakan, serta hiasan dari sayuran untuk menyambut arwah yang sudah meninggal. Sebuah kuil khusus dibangun tepat di ruang masuk menuju O-Shoryo-sama, yang menggambarkan gabungan arwah dari semua leluhur mereka. Nama orang yang sudah meninggal ditulis dalam gulungan kertas dan
diletakkan di dalam kuil. Dupa selalu dinyalakan di depan kuil itu. Setiap orang melantunkan doa dengan cara mereka sendiri.
Di pagi hari terakhir Perayaan Ura Bon, makanan yang dihias diletakkan di sampan yang terbuat dari ilalang dan dibawa ke sungai. Menjelang fajar, lilin-lilin dinyalakan di perahu-perahu kecil lalu dengan hati-hati diletakkan di sungai dan hanyut ke hilir. Ketika perahu-perahu itu mengapung terbawa arus, penonton di tepi sungai mengucapkan salam perpisahan pada O-Shoryo-sama sampai tahun yang akan datang. Chikara dan maiko kecil bertanggung jawab memberangkatkan perahu dan jelas kalau mereka menikmati kegiatan itu. Ketika orang-orang sudah pulang, mereka tetap di tepi sungai mengawasi cahaya-cahaya kecil itu menghilang dari pandangan, dan mereka mulai merasakan kehangatan matahari terbit.
"Aku ingin tahu akan berada di mana kita bila O-Shoryo-sama datang kembali?" tanya si gadis kecil sambil menoleh ke arah bocah di sampingnya.
"Tak ada yang tahu?" jawabnya ringan. "Di dunia ini, satu langkah di depan adalah kegelapan."
"Tidakkah kau ingin tahu?" tanya si gadis kecil. "Apakah kita masih tetap di sini seperti sekarang?"
"Apa bedanya? Semua tempat sama saja kan?"
"Oh, tidak," jawabnya dengan yakin. "Tak ada tempat yang lebih menyenangkan daripada di sini."
Chikara melihat ke arahnya dengan tidak enak. Dia tidak bermaksud menceritakan satu rahasia, tapi ia merasa harus memberitahukannya agar gadis itu tidak mengharapkan sesuatu yang tidak mustahil.
"Bagaimana dengan rumah geisha? Kau tidak suka tinggal di sana?" tanyanya.
"Oh, iya. Memang menyenangkan - kadang-kadang. Tapi juga harus bekerja keras, bukannya tidak mau, tapi di sana tak pernah ada... kedamaian, seperti di sini."
"Menurutku di sini terlalu sunyi," kata Chikara yang suka berkelahi. "Bila kau dilatih menjadi samurai, kau harus punya kegiatan atau kau akan bosan."
"Aku memang merindukan pesta," dia mengakui, "tapi terlalu banyak pesta juga membosankan. Andai aku bisa kerja di sana paruh waktu dan kembali ke sini kapan saja aku mau - maka semuanya akan sempurna."
"Apa yang kau lakukan di pesta?" tanya Chikara dengan rasa ingin tahu. Dia belum pernah ke rumah geisha dan tahu kelak mungkin dia takkan mengunjungi tempat itu.
"Oh, kau harus menyediakan teh dan sake, dan senyum. Biasanya kau berusaha belajar dari geisha kias satu seperti Okaru-san apa yang paling membuat laki-laki senang. Kemudian kami diajari menari, menyanyi dan berlatih memainkan samisen tiap hari, agar kelak kami siap menjadi geisha kias satu."
"Dan kapankah itu?"
"Mungkin dua tahun - saat itu usiaku sudah enam belas tahun. Itulah saat yang paling kutunggu. Maukah kau menemuiku bila aku sudah menjadi geisha? Maukah kau datang ke Gion? Aku akan senang sekali berdansa denganmu."
Chikara agak ragu-ragu, kemudian berbohong seperti layaknya laki-laki terhormat ketika berjanji bahwa dia akan datang. Mereka berdua tidak sadar kalau Oishi dan Okaru kembali lagi untuk mencari mereka dan sedang berdiri di tepi sungai mendengarkan pembicaraan itu sambil tersenyum.
"Aku akan senang bila latihan ini sudah selesai," si gadis kecil melanjutkan. "Bukan karena aku tidak mampu," tambahnya cepat. "Kata Okaru, untuk anak seusiaku aku cukup baik, tapi kadang-kadang di musim dingin aku merasa kedinginan bila kami harus duduk lama di ruang dingin."
"Kau juga harus melakukan itu?" tanya Chikara. "Aku kira hanya samurai yang latihan seperti itu."
"Mungkin menjadi samurai atau geisha tidak jauh berbeda, bukankah begitu menurutmu, Chikara-san?" katanya dengan senang karena merasa menemukan sesuatu.
"Oh, jelas sangat berbeda," Chikara tidak setuju. "Samurai harus belajar menunggang kuda dan berkelahi menggunakan pedang dan panah. Belajar kaligrafi dan... banyak lagi yang tidak dipelajari geisha. "
"Tapi kami juga harus melatih tubuh dan pikiran dengan ketat," katanya. "Kurasa bagaimanapun juga ada kesamaannya."
"Ya, mungkin," Chikara menyetujui dengan enggan. "Tapi jangan bilang siapa pun kalau aku berkata demikian."
Di tepi sungai, Oishi tersenyum pada Okaru dan dengan perlahan mereka menyingkir. Ketika sampai di jalan menuju rumah, Oishi berkata.
"Kau juga menjalani semua latihan yang keras itu? Balikan duduk di ruang dingin selama berjam-jam tanpa bergerak?"
Okaru tertawa. "Aku tidak menjalani semuanya. Aku memasuki pekerjaan itu sudah terlambat."
"Aku tahu," katan Oishi, dan Okaru melihat ke arahnya dengan terkejut.
"Apa yang kau tahu tentangku?" tanyanya.
"Semuanya - semua keterangan yang bisa didapat monyet yang penuh rasa ingin tahu bernama Kataoka."
Okaru terdiam beberapa saat, lalu berkata dengan pelan.
"Jadi kau tahu maksudku ketika mengatakan bahwa aku bisa bersimpati pada orang yang menderita karena kehilangan posisinya."
"Tapi kau memiliki lebih dari mendapatkan kembali posisimu. Seorang geisha yang terkenal pastilah memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dibanding putri seorang pedagang. Dan kau melakukan semua itu sendiri dengan melawan segala rintangan."
"Begitu juga kau," kata Okaru tiba-tiba dengan sungguh-sungguh. "Begitu juga kau."
Oishi tahu kini tak ada lagi yang dapat disembunyikan dari wanita ini, yang memikirkan hal yang sama dengan yang dia pikirkan dan dia tidak berusaha untuk berpura-pura lagi dengannya.
"Kau tahu bahwa pada akhirnya kau harus kembali ke rumah geisha? " katanya dengan lembut.
Okaru mengangkat alis. Tampaknya Oishi tak sadar kalau hal seperti itu tidak mudah, dan berkenaan dengan Okaru, kelihatannya itu tidak mungkin.
"Esok hari menghembuskan angin esok," kata Okaru dengan ringan. "Aku akan mencemaskan hal itu bila waktunya sudah tiba."
"Bila waktunya tiba, kuharap kau tidak terlalu cemas."
"Aku tidak menyesal menjadi geisha" kata Okaru pada Oishi. "Bahkan sekarang pun pekerjaan ini memberi keuntungan. Bila angin musim gugur mulai bertiup di hatimu dan aku tak berguna seperti kipas kertas, aku dapat menentukan jalanku seperti yang takkan kulakukan seandainya aku di lingkungan yang berbeda."
Oishi mengangguk. Okaru tahu apa yang ia lakukan. Tak ada gunanya menyangkal bahwa Oishi akan bosan padanya - Okaru tahu pasti, seperti halnya Oishi, bahwa bukan itu yang akan memisahkan mereka.
Ketika tiba di depan rumah, tidak seperti biasanya, Oishi memeriksa apakah mata-mata itu masih ada di seberang jalan. Ada seseorang yang disebut komuso yang bertugas seperti biasa dan Oishi mengerutkan dahi sambil menyumpah.
Okaru bersimpati pada Oishi. Dia tahu tekanan yang tengah dihadapi Oishi apalagi Hara tetap tidak menjawab pesan-pesannya.
Okaru berusaha mencari cara untuk membantunya. Apa yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan musuh kekasihnya selama-lamanya? Bila menurutnya hal itu akan berguna, dia akan berpura-pura menjadi mata-mata dan mengirim pesan palsu. Tapi bila terbongkar, justru akan mempersulit posisi Oishi. Jadi, itu bukan rencana yang bagus.
Okaru tahu kekuatan mata-mata telah dikurangi sejak dia tinggal di Yamashina, tapi itu tidak cukup. Walaupun tetesan air hujan akan membuat batu berlubang, mungkin perlu lebih banyak air dari sumber yang lain. Lagipula, lebih baik bila dibicarakan dulu dengan Oishi. Kadang-kadang pikiran dua orang lebih baik daripada satu orang.
Hari masih pagi sekali di penghujung musim panas ketika Fujii, si mata-mata, tiba di luar rumah di Yamashina untuk memulai tugasnya.
Dia sedang menguap ketika berhenti di hadapan anak buahnya dan menanyakan laporan kegiatan malam sebelumnya.
"Tidak ada," terdengar jawaban mengguman. "Tak ada yang masuk atau keluar semalaman."
Fujii mengerutkan dahi. Hal ini sudah berlangsung beberapa minggu. Dan pada siang hari hanya ada sedikit sekali kegiatan yang terlihat. Apakah Oishi sakit? Apakah dia kelelahan karena pesta-pesta di Kyoto? Sedikitnya kegiatan membuat Fujii curiga dan gelisah. Laporannya pada Chisaka akhir-akhir ini seolah menggambarkan bahwa Oishi sudah benar-benar pensiun. Tapi, apakah memang benar? Ataukah ini hanyalah siasat, sebagaimana halnya dia mencurigai masuknya Okaru sebagai siasat?
Sambil berpikir, dia membebastugaskan anak buahnya dan mengambil alih posisi sebagai penjaga. Bagian dalam topi di kepalanya terasa panas dan dia sadar bahwa cuaca akan semakin panas sepanjang hari. Seandainya ada sesuatu yang dapat mengusir kebosanan ini.
Segala sesuatu yang terjadi di dalam rumah kelihatannya baik-baik saja. Pada beberapa kesempatan, dia melihat Oishi dan Okaru berjalan-jalan di taman.
Putra Oishi juga kelihatannya akrab dengan maiko kecil dan tidak tampak gelisah. Secara keseluruhan, dari berbagai sudut, keadaan tampak terlalu tenang. Pasti akan terjadi sesuatu.
Apa yang memang terjadi pada pagi itu adalah sesuatu yang tidak dia bayangkan. Pagi-pagi sekali, Oishi keluar rumah sendirian sambil membawa peralatan yang tidak biasa. Fujii memerhatikan lebih dekat dan ternyata alat itu adalah cangkul! Dia juga kelihatan akan menggunakannya!
Fujii mengangkat pelindung kepala agar bisa melihat lebih jelas. Sebenarnya Oishi baru saja hendak menyiapkan tanah pada sebidang kebun kecil di depan rumahnya. Dia sedang mengolah tanah itu untuk penanaman pada musim gugur! Fujii baru mulai bisa menerima pemikiran ini ketika Okaru muncul dari pintu depan untuk mengawasi. Dia memberi beberapa saran pada Oishi tentang cara menyangkul dan tempat mana yang harus digali, dan Fujii harus mengedipkan mata dengan keras untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Inikah sang ksatria besar, samurai yang membuat orang mau menyewanya sebagai pengawal demi mencegah terjadinya pemberontakan berdarah?
Ketika hari makin panas, Oishi melepas pakaian luarnya lalu menyangkul dengan pakaian dalam seperti petani miskin lainnya. Udara panas juga memengaruhi Okaru. Dia menjadi lebih keras dalam memberi komentar dan saran-sarannya.
"Bukan begitu - cangkul lebih dalam lagi!"
Oishi tidak memberi jawaban yang jelas, namun terus menggali.
Tak lama kemudian, Okaru kembali bicara.
"Apakah menurutmu tempat itu cukup luas? Banyak sekali yang harus kita tanam kalau ingin mendapatkan sayuran segar setiap hari."
Oishi menggerutu sambil terus menyangkul, keringat mengalir masuk ke matanya. Dia berhenti untuk menyeka keringatnya.
"Jangan berhenti," kata Okaru dengan keras. "Kita harus selesaikan sebelum cuaca makin panas."
"Aku bisa menyelesaikan lebih cepat bila kau masuk ke rumah dan menutup mulutmu," Oishi membalas dengan berteriak.
Selama beberapa saat Okaru terkejut dengan ucapan Oishi itu. Sambil menangis dia membalikkan badan dan berlari masuk ke dalam rumah. Oishi menyumpahi dirinya sendiri lalu kembali menyangkul. Fujii memerhatikan semua itu dengan heran.
Setelah bebas dari tugasnya, Fujii menulis surat kepada Chisaka tentang perkembangan yang sangat tak terduga ini dan tidak lama kemudian dia dipanggil ke Edo.
Chisaka berhenti di depan Fujii ketika dia memergoki mata-mata itu menguap.
"Apakah aku membuatmu bosan?" tanyanya dengan tajam.
"Tidak, tidak," jawab Fujii dengan terburu-buru. "Tapi kami kekurangan orang dan akhir-akhir ini aku kurang beristirahat."
"Bila yang kau sampaikan itu benar," dan di sini, laki-laki bertubuh kecil yang licik ini berhenti ketika dilihatnya bahwa tangan samurai yang bertubuh tinggi ini memegang pedang. "Maksudku, bila benar bahwa Oishi sudah pensiun, maka kau akan punya banyak waktu untuk istirahat."
Fujii menghela napas panjang.
"Aku tahu bahwa bukti kalau Oishi memang sudah pensiun, tapi kurasa semua ini tidak seperti yang terlihat."
"Aku menghargai perasaanmu. Kau sudah lama mengikutinya, mungkin kau tak ingin menyerah. Tapi aku yang menafsirkan fakta dari laporanmu. Dan berdasarkan laporan itu, aku tak melihat bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan pengeluaran dana tambahan pada Lord Uesugi."
Ada sesuatu dengan cara Chisaka bicara yang membuat Fujii merasa tidak nyaman. Dia berharap tidak menyinggung laki-laki kecil ini, yang dapat memberi keuntungan atau merugikan dirinya.
"Aku seorang prajurit," katanya. "Aku melaksanakan perintah dan tak pernah menyangsikan tugasku. Aku menerima penafsiranmu."
Chisaka tersenyum mendengar pengakuan itu, lalu berdehem dan berbalik.
"Kau sangat berharga, Fujii," akhirnya dia berkata. "Dan aku akan memberimu penghargaan."
"Apa yang aku inginkan hanyalah diizinkan terus melayani Klan Uesugi," kata Fujii dengan kerendahan hati yang tidak dirasakannya.
Chisaka menoleh dan melipat tangan. "Itulah yang ingin kubicarakan." Fujii melihat bahwa mata laki-laki kecil itu mengerut, "Bukannya aku tidak ingin kau menjadi pemanah kami - aku tahu kau pemanah ulung - tapi, ada pertimbangan lain. Salah satunya yaitu keuangan. Kau tahu berapa biaya yang sudah kami keluarkan untuk kegiatan mata-mata ini dalam beberapa bulan terakhir. Dan, seperti yang juga kau' tahu, biaya untuk satu prajurit sudah meningkat sangat tinggi, apalagi kita hidup dalam masa damai. Seharusnya aku tidak menceritakan ini padamu, tapi akhir-akhir ini kami terpaksa mengurangi pasukan dan memberhentikan prajurit yang telah bergabung dengan Klan Uesugi seumur hidup mereka. Jadi, kau tahu, akan terlihat aneh bila kami menerimamu."
Fujii tidak lagi dapat berdiam diri. "Tapi tidakkah Anda tahu bahwa jika Oishi dibiarkan datang dan pergi tanpa diawasi, berarti Anda harus menyiagakan sepasukan terlatih untuk menjaga Lord Kira."
"Kurasa kami memiliki pasukan yang cukup," kata Chisaka dengan tenang.
"Mangapa Anda memperlakukanku seperti ini?" Fujii berteriak sambil berdiri.
Chisaka berpikir beberapa waktu.
"Yah, kasus Asano ini benar-benar kacau," akhirnya dia berkata dengan terus-terang. "Dan aku lebih suka menganggap masalah ini sudah selesai."
Fujii menutup mata. Dia menerima pekerjaan kotor ini dengan harapan bisa keluar dari posisi rendah sebagai ronin. Tapi kini berakhir dengan pahit.
Okaru yang pertama kali tahu berita baik itu. Pagi hari itu dia keluar rumah untuk menyirami sayuran dan merasa ada yang berbeda. Dia melihat sekeliling, tapi tidak yakin apakah itu.
Kemudian dia melihat ke jalan dan sadar apa yang terjadi. Mata-mata itu sudah tidak ada!
Dengan segera dia berlari ke tempat tidur Oishi dan berlutut di sampingnya. Oishi membuka mata dengan setengah mengantuk lalu membuka lebar ketika dia melihat raut wajah gembira Okaru.
"Apakah yang paling kau inginkan di dunia ini?" tanya Okaru menggoda.
Oishi tersenyum dan mengulurkan tangan hendak memeluk, namun Okaru memegang tangan Oishi untuk membantunya berdiri. Lalu, dengan senyum lebar dia membimbing Oishi yang bingung ke gerbang. Oishi melihat keluar dan terkejut.
Sejak pertama kalinya sejak tiba di Yamashina, tak ada lagi komuso yang mengawasi rumah mereka. Oishi tersenyum terima kasih ke arah Okaru, lalu berteriak sehingga membuat yang lain berdatangan dan tak lama kemudian mereka bergembira.
Segera setelah itu, si juru masak juga telah pergi. Oishi dan Kataoka saling mengedipkan mata ketika orang-orang lain mulai sadar bahwa ternyata juru masak itu mata-mata. Kini ada alasan untuk perayaan. Okaru dan maiko kecil mengambil alih dapur, untuk menyiapkan pesta. Masa penantian telah berakhir dan kelompok Ako pun akhirnya bisa bergerak.
Di Edo, Kira sedang tidak ingin berpesta. Ketika laporan dari para mata-mata tidak lagi datang, dia pergi ke tempat Chisaka untuk
mengetahui apa yang terjadi. Sambil mengusap kepalanya yang tidak berambut, Chisaka mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan sudah terlalu besar sehingga kegiatan mata-mata sudah dihentikan.
"Tapi perlindungan apa yang kita miliki...." kata Kira, kerut-kerut di dahinya makin jelas terlihat.
"Jangan cemas," sela Chisaka dengan tawa yang dipaksakan. "Kita sudah lakukan kegiatan ini selama berbulan-bulan - kurasa sudah jelas bahwa mereka takkan melakukan apa-apa."
"Aku tidak yakin," kata Kira sambil menggelengkan kepala.
"Waktu untuk bertindak adalah pada saat kastil diambil alih, benar? Dan sejak itu mereka tak pernah melakukan sesuatu yang mencurigakan. Bahkan saat pemimpin mereka datang ke Edo dan Anda bersembunyi di rumah. Tak ada hal yang perlu dikuatirkan. Dia datang untuk mengunjungi makam majikannya, itu saja."
"Tapi aku akan merasa lebih aman jika...."
"Lord Kira," Chisaka kembali menyela, "Aku sudah mengatur, atas izin Lord Uesugi, untuk menugaskan penjaga di rumah Anda. Ini berarti kerja tambahan dan biaya tambahan untuk Klan Uesugi. Meskipun tampaknya tidak perlu, kami bersedia melanjutkan kegiatan ini untuk waktu yang tidak terbatas. Tapi untuk meminta yang lain..."
Kira segera memahami kalau ingin mendapat perlindungan tambahan maka dia harus menyuap
Chisaka. Hal ini tidak dapat dia lakukan karena sejak pensiun penghasilannya berkurang. Dia juga merasa Chisaka selalu menghindari pembicaraan soal kepin-dahannya ke kastil Uesugi, dan dia merasa perlu menyinggung hal ini.
"Dulu pernah ada pembicaraan soal kepindah-anku ke kastil..."
"Tidak ada tempat," jawab Chisaka cepat, "dan tak perlu. Anda aman di sini, percayalah. Kita saling berdekatan sehingga bila terjadi sesuatu, Anda dapat meminta bantuan, dan saya akan memberi
bantuan - meskipun Anda jago pedang. Saya tidak melihat alasan mengapa Anda membutuhkan mereka."
Kira masih belum puas, tapi tak ada lagi yang dapat dilakukan selain mengajukan keberatan langsung pada pimpinan Klan Uesugi dan dia segan melakukannya karena posisi itu diduduki cucunya. Maka dia lalu pamit pada Chisaka dan pulang.
Pasti dia akan merasa lebih terganggu lagi jika tahu bahwa Horibe sudah menerima pesan Hara yang mengabarkan bahwa desas-desus soal tingkah-laku Oishi di Kyoto adalah benar, dan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk bertindak sendiri. Horibe, dengan sangat gembira, segera ke Osaka untuk melakukan pertemuan rahasia dengan pemimpinnya yang baru. Melihat keadaannya, mereka merasa bahwa takkan sulit memperoleh suara mayoritas dari anggota yang berada di belakang mereka.
Di akhir bulan yang sama, bertempat di sekolah memanah di Osaka, diambil keputusan untuk menyerang Kira.
Hara mengadakan rapat malam hari dengan para anggota yang tinggal di daerah itu, untuk menjelaskan tentang alasan mengapa Oishi tidak pantas lagi menjadi pemimpin mereka. Dia mengumumkan untuk mengambil alih, dengan bantuan Horibe, dan akan segera menyerang rumah Kira di Edo. Banyak yang menolak ajakan Hara karena yakin kalau Oishi masih mampu. Tapi sebagian besar setuju dan Hara senang melihat bahwa jumlah mereka cukup banyak.
Di kamar yang gelap hanya diterangi obor, Hara memimpin rapat. Ketika sedang menjelaskan alasan dia merasa benar untuk mengadakan rapat itu ketika tiba-tiba ada ketukan di pintu.
Hara berhenti dan semua orang menahan napas sementara penjaga yang berada di pintu membukanya sedikit dan melihat keluar. Mereka sudah siap lari atau bertarung, bila perlu, namun ternyata tidak satu pun dari semua itu perlu dilakukan. Mereka semua melihat si penjaga menarik napas ketika mengenali tamu yang datang dan menutup pintu kembali dengan bingung untuk menghampiri Hara dan berbicara kepadanya.
"Itu Oishi!" bisiknya. "Oishi dan Kataoka!"
Hara segera bertukar pandang dengan Horibe. Selama beberapa saat tak ada keputusan, kemudian Hara berkata.
"Biarkan mereka masuk."
Horibe hendak mengajukan keberatan tapi tatapan Hara membuatnya terdiam. Lagi pula, sebenarnya Oishi masih menjadi pemimpin mereka dan tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya.
Dengan tergesa-gesa penjaga kembali ke pintu dan membukanya. Oishi, dengan mengenakan topi petani yang lebar, memasuki ruangan dengan tenang dan berwibawa. Dia diikuti Kataoka, yang juga berpakaian seperti petani. Oishi berjalan melintasi ruangan, dan berhenti menghadap ke semua orang. Dia mengambil sebuah anak panah dari lantai dan mencabut bulu-bulunya sambil bicara.
"Maaf mengganggu," katanya dengan tenang, seolah dia berada di pesta minum teh, "tapi masalah yang sangat mendesak yang kelihatannya akan memengaruhi rencana, kalian."
Dia memandang ke arah mereka. Beberapa di antaranya bergerak dengan tidak nyaman, merasa bahwa mungkin dia mengingat wajah mereka untuk membalas pada mereka. Oishi merasakan ini dan segera berusaha membuat mereka lebih santai.
"Pertama, aku tidak menyalahkan kalian karena berkumpul di sini malam ini, aku juga tidak dendam pada orang yang mengambil wewenang untuk memanggil kalian."
Hara dan Horibe menatap lantai dan tidak mengatakan apa pun ketika Oishi melanjutkan.
"Aku sadar bahwa banyak di antara kalian meragukan kemampuanku memimpin kalian karena kejadian yang kalian dengar tentang gaya hidupku di Kyoto. Mungkin kalian dengar ini dari Hara, yang menjadi saksi bahwa aku memang mabuk-mabukan dengan beberapa wanita dari kalangan rendahan -dan menggunakan uang milik kalian semua."
Beberapa di antara mereka mulai mengalihkan posisi karena malu, tapi Oishi terus menjelaskan.
"Kalian juga mungkin sudah mendengar kalau aku sering berada di tempat umum dalam keadaan mabuk dan bahkan membuat keributan di teater umum... Dan, aku harus jujur bahwa semua itu memang benar."
Oishi mengabaikan suara-suara setelah kalimat itu dan meletakkan anak panah itu dengan mengarah kepada Hara.
"Tapi kuharap teman lamaku, Hara, izinkan aku menjelaskan tentang semua tindakanku sebelum mengambil kesimpulan dan mengambil alih kepemimpinan kelompok kita untuk dirinya sendiri."
Hara membuat gerakan yang menyatakan keberatan, tapi Oishi meneruskan.
"Aku menghargai keinginannya untuk bertindak atas kematian majikan kita, walau keinginannya itu tidak jauh lebih kuat dari keinginanku. Aku juga mengagumi dia yang telah mendirikan sekolah memanah ini, karena berdasarkan pengalaman aku tahu betapa beratnya untuk membuktikan pada dunia bahwa kita tidaklah seperti yang mereka duga. Itu maksud dari semua yang kulakukan dan aku di sini untuk melaporkan pada kalian bahwa aku berhasil."
Dia berhenti dan menatap ke semua orang dengan rasa puas. "Mata-mata sudah tidak ada. Untuk pertama kalinya sejak kematian majikan kita, aku merasa dapat meneruskan rencana-rencana yang memiliki kesempatan untuk berhasil. Melakukan sesuatu sebelum saat ini adalah hal yang bodoh, seperti yang sudah kukatakan."
Orang-orang mulai berbisik-bisik. Oishi berpaling pada Hara.
"Di mana pembantumu - orang yang menyebut namanya Konishi?"
Hara tidak tahu bagaimana harus menjawab dan tergagap.
"Yah, dia - dia sudah pergi! Sudah dua hari aku tidak melihatnya!"
Oishi mengangguk. "Hara, beruntung pertemuan ini tidak dilakukan dua hari lalu. Tidak tahukah kau bahwa pembantumu itu anak buah Fujii?"
Hara menggeram dan hendak membantah, tapi Oishi terus bicara tanpa memberinya kesempatan.
"Kataoka melihatnya di sini waktu dia menyampaikan pesanku yang kau tolak. Dia mengenali Konishi sebagai orang yang datang bersamamu malam itu di Kyoto, ketika kau kehilangan kepercayaan atas pimpinanmu... Aku ingin bertanya. Bagaimana kau bisa menemukanku malam itu kecuali bahwa orang yang memberitahukanmu adalah mata-mata? Pernahkah kau memikirkan itu?"
Mulut Hara terbuka. Tak ada jawaban yang diberikan. *
"Ya, mata-mata sudah pergi," Oishi melanjutkan, "dan aku memuji kemampuan aktingku atas pencapaian tersebut. Aku adalah aktor yang sangat bagus hingga aku bisa menipu kalian, walaupun seharusnya kalian ingat bahwa aku mengucapkan sumpah yang sama dengan kalian dan takkan mengingkari sumpah itu. Tapi, tanpa menghiraukan apa yang terjadi, kurasa kita masih memiliki keinginan yang sama untuk membalas kematian majikan kita. Kita sudah berjanji dan aku akan memegang janji itu. Kuharap kalian juga begitu."
Terjadi keheningan sesaat, kemudian suara setuju menggema di seluruh ruangan.
"Bagus," kata Oishi, "karena sudah tiba waktunya kita bicara tentang bertindak, bukan untuk tahun depan atau bulan depan, tapi sekarang! Hari ini aku menerima pesan pimpinan sementara kelompok Edo," dan di sini dia langsung melihat ke arah Horibe yang malu karena berada jauh dari tempat penugasannya, "yang memberitahukan bahwa petisi kita tidak berhasil. Daigaku Asano dalam pengawasan Asano-Akinokami di propinsinya. Dia dijatuhi hukuman pengasingan atas kesalahan kakaknya dan nama keluarga akan dihapus dari buku silsilah resmi. Harapan untuk pemulihan kastil di Ako pupus."
Orang-orang yang hadir sangat terkejut mendengar berita buruk ini. Kemudian mereka mulai bicara dan suara mereka terdengar bersemangat.
Balas dendam adalah teriakan mereka. "Akhirnya kita bisa membalas dendam," kata mereka, dan dengan gugup Hara mendekati Oishi lalu membungkuk.
"Benarkah berita itu?" tanyanya. "Dapatkah kita balas kematian Lord Asano seperti yang seharusnya kita lakukan?"
Oishi mengangguk, matanya bersinar terkena sinar obor.
"Sekali lagi," kata Hara dengan gugup, "Aku mohon maaf"
Oishi tersenyum dan mengambil tangannya. Hara maju ke depan dengan permohonan maaf dan Oishi menerimanya dengan senyum memaafkan. Dia memberi isyarat pada Kataoka dan ketika laki-laki bertubuh kecil ini mendekat, Hara meraihnya dalam pelukan kasih yang membuat lawannya ini tak bisa bernapas dan orang-orang di sekitarnya tertawa. Kini mereka bersama lagi dan tidak ada apa pun, selain kematian, yang akan memisahkan mereka.*

ENAM BELAS

Ada berita terakhir dalam pesan dari Edo soal pembuangan Daigaku yang melegakan sekaligus membuat orang di Yamashina putus asa. Berita itu jelas merupakan pukulan pahit bagi Shindo dan Koyama yang berharap bisa menang tanpa harus berjuang. Ketika Kataoka mendengar berita ini, matanya memancarkan cahaya peperangan. Perasaan yang pertama kali muncul dalam diri Chisaka adalah seperti melayang, tapi satu tangannya berada di pedangnya dan bersikap seakan-akan kedua kakinya masih berpijak di tanah.
Setelah saat yang tak menyenangkan itu, Oishi merasakan kedamaian yang aneh. Untuk pertama sejak kematian majikannya, jalan untuk bertindak kini terbuka. Takkan ada lagi pertentangan dengan anggotanya untuk menunda apa yang harus dilakukan. Tak perlu lagi berpura-pura bodoh sebagaimana sangat dibencinya. Tak
perlu lagi menyembunyikan niatnya yang kini bisa diwujudkan. Mereka akan membunuh orang yang bertanggung jawab atas kematian Lord Asano, tanpa memedulikan akibatnya. Masa penantian telah berakhir.
Awalnya ada ketakutan kalau berita itu akan membuat mereka dimata-matai lagi, namun setelah beberapa hari berlalu dan Fujii beserta anak buahnya tidak muncul, dia mengirimkan pesan kepada anggotanya untuk berkumpul. Sudah terbukti kini bahwa Kira dan sekutunya benar-benar telah mengambil alih kastil di Ako tanpa mempertimbangkan bahwa Daigaku memiliki kesempatan untuk banding. Kenyataan bahwa Oishi sudah menunggu ke-putusan atas bandingnya membuatnya punya satu keuntungan yang takkan dimilikinya bila terjadi sebaliknya - yaitu kejutan.
Para anggota datang ke Yamashina dalam beberapa kelompok kecil sebagai jawaban atas panggilan Oishi dan dalam waktu empat hari, Horibe serta satuan kecil pasukan pertama pergi ke Edo. Anggota yang lain akan menyusul setiap kali dalam jumlah kecil agar tidak menimbulkan kecurigaan. Begitu tiba di Edo, mereka harus memakai nama samaran dan tinggal terpisah sampai orang terakhir, yaitu Oishi, tiba.
Bersama Onodera, mantan pemimpinnya, Oishi mulai menyusun jadwal keberangkatan. Di atas kertas, jumlah mereka telah bertambah hingga mencapai seratus dua puluh orang. Tidak seperti yang diharapkan, banyak dari anggota ini termasuk dalam "kelompok ketiga" - yaitu mereka yang berdasarkan rencana Oishi ditugaskan untuk memperbaiki kastil, tapi tidak siap bila diberangkatkan untuk balas dendam. Demi alasan inilah, Oishi memutuskan mengirim Kataoka menemui dan meminta anggota-anggota itu menarik janji serta memberitahukan bahwa mereka boleh mengundurkan diri. Oishi tahu bahwa beberapa anggotanya merasa akan menyengsarakan orangtua mereka yang sudah tua atau anak-anak mereka bila pergi namun mereka tidak mau dibilang pengecut. Khusus untuk beberapa pengikutnya, Oishi sendiri yang akan berbicara pada mereka.
Salah satu anggota yang dia kunjungi adalah Emonshichi Yato, yang baru berusia tujuh belas tahun tapi telah mempertaruhkan nyawa dengan memberitahukan Oishi soal pertemuan yang diadakan Hara di Osaka. Anak ini tinggal dengan orang-tuanya yang sudah jompo di Kyoto. Karena Chikara, yang juga berusia tujuh belas tahun diizinkan pergi, Oishi tidak dapat menolak anak ini dengan alasan umur. Namun dia ingin jaminan dari keluarga anak itu bahwa mereka setuju.
Dari pondok sederhana yang mereka diami, jelas sekali kalau hidup mereka sangat sulit namun mereka tetap mengizinkan Yato pergi. Mereka mengatakan pada Oishi bahwa anak itu akan tersiksa bila tidak diizinkan bergabung dan mereka tidak ingin mengecewakan pemimpin mereka, yaitu Lord Asano dan juga Oishi.
Oishi tidak menyangkali hal itu, namun kini dia sadar, betapa besar tanggung jawab yang dipikulnya. Tugasnyalah untuk memastikan anak itu tidak meninggal sia-sia, begitu juga dengan anggota yang lain. Dia tahu mereka akan mengikuti dia kemana pun dia memimpin mereka, dan bila dia gagal, maka seumur hidup maupun mati dia akan selalu dihantui oleh tuduhan mereka. Ketika meninggalkan pondok itu di pinggiran kota, dia terkejut melihat seorang pembantu dari kastil Ako membawa sedikit bahan makanan buat pasangan tua itu. Sikap orang itu aneh, berpura-pura tidak mengenal pemimpin lamanya ketika memasuki pondok itu. Oishi bingung hingga seberkas ingatan mengingatkannya akan apa yang sedang terjadi. Sebenarnya sekarang pembantu itulah yang menopang kehidupan bekas majikannya dan tak ingin hal ini diketahui karena takut membuat mereka malu. Oishi menggeleng-gelengkan kepala dengan heran lalu melanjutkan perjalanan ketika isak tangis perlahan terdengar dari dalam pondok dan suara yang menghibur menjawab, "Keadaan ini tidaklah terlalu buruk bila kau ingat masa sebelum kita punya anak."
Oishi juga bermaksud mengunjungi Shindo dan Koyama tapi tidak jadi karena tiba-tiba mereka menghilang. Lama sesudah itu Oishi menerima surat permintaan maaf dari Shindo yang mengatakan bahwa dia dan Koyama tidak bisa ikut berjuang karena
hanya akan menjadi beban. Mereka beranggapan bahwa "dari tiga puluh enam cara, pergi adalah yang terbaik" serta berharap akan dimaafkan. Oishi tidak terkejut, dia justru bersyukur mereka menyingkir sebelum terlambat. Dia menghargai kejujuran mereka dalam mengakui kekurangan, tapi dia juga berharap agar yang lain tidak mengikuti jejak mereka.
Laporan dari Kataoka malam itu tidak menyenangkan. Kira-kira setengah dari pasukan yang telah mereka hitung mengundurkan diri hingga tinggal kurang dari enam puluh orang. Kataoka juga menemukan banyak kesengsaraan, anak-anak dan orang tua yang terpaksa bekerja. Walaupun keadaan bisa berubah, mereka yakin dengan anggota yang ada, saat mereka berkumpul di Edo. Tujuan mereka sudah sangat jelas.
Melihat bahwa Oishi tertekan dengan perkembangan yang terjadi, Kataoka memberi catatan lucu tentang seorang laki-laki yang tidak dapat pergi karena istrinya tak mengizinkan - "Dia menyimpan suaminya dengan sangat baik di bawah pinggulnya!" - tapi Oishi sudah meninggalkan ruangan.
Beberapa hari ini dia belum bertemu Okaru karena kesibukannya yang diawali dengan pesan dari Edo, tapi kini, ketika dengan lelah dia membuka pintu kamar, dia melihat Okaru sedang menunggunya. Dia senang dengan kehadiran Okaru lalu berbaring di sebelahnya. Oishi baru saja hendak meminta maaf karena telah melupakannya, ketika Okaru melempar selimut sambil menangis.
"Jangan pergi," dia memohon. "Jangan pergi ke Edo dengan mereka - itu bunuh diri!"
Terkejut oleh tangisannya, Oishi menurunkan lengan Okaru dari lehernya dan memegang kedua tangannya.
"Kau tahu lebih baik dari itu," kata Oishi. "Kau, seorang geisha yang terlatih, tanpa malu menunjukkan perasaanmu? Apa anggapan pelangganmu?"
"Aku tidak peduli," tangisnya. "Kau akan ke Edo untuk mati dan aku takkan biarkan itu!"
"Kurasa kau mata-mata," kata Oishi sambil dengan lembut membaringkan dia. "Kau tahu semua rencanaku dan kau berusaha mengubahnya agar menguntungkan musuhku."
"Aku berusaha mengubahnya agar menguntungkan aku," isak Okaru sambil berbalik. "Aku memikirkan hidupku. Berpikir untuk menyelamatkannya daripada mengambil hidup orang lain."
"Oh," kata Oishi. "Sekarang kau mengancam bunuh diri. Apakah adil menempatkan diri pada posisi seperti itu? Lagi pula, aku tahu kau tidak akan melakukannya."
"Bagaimana kau tahu?" katanya sambil terisak.
"Karena kau kuat," katanya, dan bersandar pada sikutnya untuk menatapnya. "Kau telah berjuang dan berhasil mendapatkan tempatmu - kau bukan jenis orang yang tetap kalah."
"Tapi tidak ada pemulihan dari rasa kehilangan," tangisnya.
"Kau harus memberiku kesempatan seperti yang pernah kau miliki," katanya. "Itu baru adil."
"Tidak ada yang adil," jawab Okaru dengan sedih. "Dan membunuh satu orang musuh takkan membuatnya menjadi adil. Apakah kau tidak peduli pada hidupmu sendiri - atau keluargamu?"
Oishi berhenti sejenak. "Hidup seseorang terletak pada tugasnya," kata Oishi.
"Tapi tugas kepada siapa? Pemimpinmu sudah meninggal - tak ada lagi orang yang memberi perintah kepadamu."
"Oh, ada," katanya sambil menerawang, dan
Okaru melihat wajah Oishi lebih dekat, berusaha menebak arti ucapannya. Oishi meletakkan tangan di belakang kepala Okaru dan menciumnya ketika dia berbaring kembali.
Minggu pertama di bulan Oktober sebelum Oishi pergi. Dia harus mendapatkan senjata dan panah di Kyoto, di mana dia bersikeras untuk membawanya sendiri karena risiko yang ada. Ketika semua perlengkapan siap, rombongan terakhir telah berangkat kecuali
Onodera, Kataoka, Chikara dan tiga orang lainnya, termasuk Mimura, yang mendapat tugas khusus.
Waktu itu, pagi yang sejuk di musim gugur ketika mereka berkumpul di depan rumah dan memuat kuda-kuda yang tersisa dengan peti-peti berisi "bahan sutera" yang akan mereka bawa. Seluruh anggota menyamar sebagai tukang angkut barang yang akan berjalan menyusuri Tokaido dengan membawa barang milik seorang daimyo yang kaya di Edo.
Sesuai dengan cara perpisahan sebuah rumah geisha, Okaru dan maiko kecil, mengenakan kimono yang paling cerah, berdiri di depan rumah untuk mengantar kepergian mereka. Mereka tertawa seolah saat itu adalah akhir pekan yang menyenangkan. Chikara membungkuk untuk berpamitan dengan sopan pada Okaru yang tersenyum sedih; dia takkan lupa bahwa dia berhutang nyawa pada anak itu. Kemudian Chikara menoleh ke arah gadis kecil lalu membungkuk. Saat itu, si gadis kecil tidak dapat menahan air matanya dan segera berbalik lalu menyembunyikan wajahnya dalam lengan kimono Okaru. Chikara membalikkan badan dan mengambil tempat dalam karavan. Oishi mengangkat tangan untuk memberi tanda berangkat, tapi kemudian ragu-ragu.
"Tahukah kau..." kata Oishi pada Okaru, tapi dia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Tangannya turun dan seluruh rombongan bergerak perlahan dengan kuda-kuda mereka. Okaru tersenyum dengan tegar hingga orang terakhir berangkat, tapi ketika mereka hilang di balik gerbang, senyumnya hilang dan kipas merah yang indah lepas dari tangannya. Angin musim gugur mulai bertiup. Dia menggandeng maiko kecil dan mengajaknya masuk untuk bersiap-siap kembali ke Gion. Kesempatan Okaru untuk kembali sudah sirna karena penolakannya memata-matai Oishi, sebab itulah harga yang diminta Hoshino.*

TUJUH BELAS

Mimura berangkat beberapa jam sebelum yang lainnya. Dia dipercaya melakukan misi terpenting dan merasa bangga diberi tanggung jawab tersebut.
Dia juga berpakaian tukang angkut namun jalur yang dilaluinya tidak langsung ke Edo. Dia mengambil jalan ke Kyoto, jalan yang redup" dalam kegelapan dini hari. Dia memasuki kota dan langsung menuju lokasi istana Kaisar. Di salah satu gerbang belakang di tepi jalan dia berhenti, memerhatikan sekeliling untuk memastikan tak ada yang mengikuti, lalu mengetuk dengan perlahan.
Di dalam tidak ada lampu yang menyala, namun tak lama kemudian terdengar ada yang datang dan gerbang dibuka perlahan. Dia mendengar suatu kesibukan dari arah dalam dan isak tangis seorang wanita sebelum sesosok tubuh mungil melangkah keluar. Ternyata itu putri Lord Asano yang berpakaian seperti orang biasa, namun raut yang bersinar dan penuh harapan di wajah kecilnya yang kebang-sawanan membuatnya tidak mirip seorang petani.
Tanpa berkata apa-apa pada mereka yang berada di dalam, Mimura menggandeng anak kecil itu dan langsung pergi dengan langkah cepat. Oishi sudah mengucapkan terima kasih kepada orangtua asuhnya di dalam suratnya yang juga mengatur pertemuan ini, dan pembantu yang ceroboh itu tak ingin membuang-buang waktu karena setiap saat sangat berharga.
Matahari mulai terbit di atas Yamashina ketika dia tiba kembali di perempatan jalan ke Edo. Kedatangannya tepat waktu. Di saat yang bersamaan, dari arah Yamashina muncul Oishi dan seluruh anggotanya sambil berjalan di samping kuda-kuda yang membawa beban.
Mereka tidak bisa menyembunyikan kegembiraan ketika melihat gadis kecil itu dan menyambutnya dengan suara pelan. Dia berlari ke arah Oishi dan langsung memeluknya. Oishi lalu mengangkat serta mendudukkannya di salah satu kuda. Dia memberi isyarat pada Mimura untuk memegang kendali kuda dan kemudian bergabung kembali dengan kelompoknya. Kemungkinan mereka
akan dikenali selalu mengiintai, jadi Oishi ingin putri Lord Asano melakukan perjalanan terpisah. Mimura akan selalu berada tidak terlalu jauh bila terjadi keadaan darurat.
Mereka tidak terburu-buru. Oishi masih yakin kalau jalan memutar lebih baik dan dengan sengaja mengulur waktu. Di malam hari mereka sering beristirahat di tepi jalan karena takut dikenali bila istirahat di penginapan di mana gunjingan bisa membahayakan. Dengan berjalan perlahan, sepuluh hari barulah mereka sampai Lembah Hakone.
Sejauh ini perjalanan berlangsung aman tanpa terlihat ada mata-mata. Karena alasan itu, dan juga karena masa depannya kini makin jelas, Oishi dapat bersantai serta menikmati pemandangan yang tidak sempat diperhatikannya sebelumnya. Kini dia dapat mensyukuri pemandangan alam yang luar biasa di musim gugur dan keagungan Gunung Fuji seperti yang pernah dirasakannya.
Di Hakone ada pos penjagaan terakhir sebelum turun ke Dataran Kanto, tapi Oishi yakin dapat meyakinkan para penjaga bahwa mereka dalam urusan dagang yang sah.
Namun, dia tetap mendekati pos penjagaan itu di malam hari agar lebih aman. Angin dingin yang kencang memberi mereka alasan untuk menaikkan leher jubah dan juga membuat penjaga takkan berada di luar pondok yang dingin.
Semuanya berjalan sesuai rencana. Para penjaga tergesa-gesa kembali ke dalam tanpa memeriksa barang-barang mereka. Semuanya selesai dengan cepat dan mereka pun melanjutkan perjalanan. Tampaknya tak ada lagi yang dapat menghalangi mereka.
Tapi, ketika mulai melewati jalan menurun yang panjang, ada penunggang kuda yang mendekat. Oishi merapatkan jubah dan berpaling ke samping ketika orang itu lewat. Kemudian dia mengenal sosok yang tinggi dan kurus itu adalah orang yang telah mengikutinya selama berbulan-bulan. Tidak salah lagi, itu adalah Fujii.
Tak ada yang dapat dia lakukan untuk memperingatkan yang lain. Tangannya meraih pedang di balik jubahnya. Fujii memerhatikan setiap orang dalam kelompok itu dengan cermat dan kelihatannya tidak mungkin dia tidak mengenali mereka. Meskipun bagitu, dia tetap berkuda dengan tenang tanpa memperlihatkan tanda bahwa dia tahu. Oishi mengawasi sampai dia menghilang dari pandangan kemudian memberi tanda kepada anak buahnya untuk berhenti. Demi keselamatan, akan lebih baik bila mereka mempercepat perjalanan namun Oishi memikirkan si gadis kecil. Mereka akan menunggu sampai dia tiba dengan selamat.
Ketika meninggalkan kelompok Oishi dan kudanya mendaki ke pos penjagaan, kepala Fujii pusing.
Dia tak berani melawan Oishi pada pertemuan yang pertama ini karena jumlah mereka banyak. Dia bisa dihabisi dalam sekejap. Namun apa yang akan Chisaka berikan padanya bila tahu kalau apa yang paling dia takutkan akan menjadi kenyataan dan bahwa pasukan dan Ako sedang dalam perjalanan? Dia hanya perlu memberitahu para pengawal yang ada di pos penjagaan, maka Oishi bisa ditahan atas perintah Shogun. Sudah pasti dia akan menerima hadiah - bahkan mungkin diberi jabatan tetap dalam pasukan Uesugi.
Itulah merupakan keinginannya yang utama. Tapi sekarang, ketika dia makin dekat ke pondok pengawal, dia mulai berubah pikiran. Apakah saat ini ada yang membayarnya untuk menjadi mata-mata? Apakah dia bertanggung jawab pada mantan majikannya yang ingkar janji? Dan bagaimana jika memang ada hadiah - setimpalkah dengan kerugian yang mungkin dihadapinya?
Dia sampai di pos juga dan berhenti. Para pengawal keluar sambil gemetar kedinginan dan mengajukan pertanyaan rutin tentang identitas serta tujuannya. Lebih mudah meninggalkan Edo daripada masuk ke sana. Dia ingin sekali membagi rahasianya pada mereka, sekadar membuat mereka terkejut, namun kata setia selalu muncul di benaknya dan membuatnya tetap diam. Ketika keterangannya memuaskan, para penjaga kembali masuk ke dalam
dan dia menoleh ke arah dari mana dia datang lalu menghentak kudanya untuk berjalan. Kesetiaannya yang pertama adalah untuk nama baiknya sebagai samurai, bahkan mantan samurai, dan dia tahu bahwa kehormatan dirinya sedang dipertaruhkan. Apa urusannya jika seorang samurai datang ke Edo? Terutama orang seperti Oishi, yang amat dia hormati lebih dari sebelumnya?
Saat terus berjalan, dia melihat laki-laki berpakaian lusuh mendekat bersama anak kecil yang menunggang kuda. Dia tak mengenal laki-laki ini karena dia berjalan di sisi yang berlawanan dengan kudanya, walaupun cara berjalannya yang kaku seperti tidak asing lagi. Anak kecil itu tidak penting baginya. Hanya sempat terpikir olehnya bahwa saat itu adalah malam yang dingin dan anak sekecil itu seharusnya sudah tidur. Dia merapatkan mantel lalu melanjutkan perjalanan sambil tersenyum aneh.
Di Kamakura, tiga puluh mil dari Edo, Oishi dan kelompoknya berhenti. Mereka beristirahat di sana selama tiga hari, masih mencemaskan pertemuannya dengan Fujii. Namun ketika ternyata tak ada pasukan yang muncul, mereka pun bisa bernapas lega. Di hadapan patung besar Budha dari perunggu, Oishi, seperti juga anggota lainnya, mengucapkan syukur atas perjalanan mereka yang berlangsung aman. Kini Oishi menyuruh Chikara berjalan di depan sebagai pemandu, sementara sisanya bergerak ke Kawasaki, yang terletak dekat Edo.
Sementara menunggu dengan tidak sabar akan berita bahwa keadaan aman untuk melanjutkan perjalanan, mereka melewatkan waktu sambil memerhatikan ikan di sungai kecil dekat tempat mereka bermalam. Di sini, untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Yamashina, Oishi merasa cukup aman untuk menghampiri si gadis kecil.
"Bagaimana keadaanmu di istana Kaisar?" tanyanya sambil duduk di samping gadis itu di sebuah batu di tepi sungai.
"Menyenangkan sekali, Paman," katanya. "Mereka sangat baik padaku - mereka memperlakukan aku seperti anak mereka sendiri.
Aku belajar musik dan kaligrafi bersama anak mereka. Kami juga mengadakan pesta dan merayakan semua festival."
Oishi mengangguk. Dia memang berharap begitu.
"Kau tahu kan, bahwa tinggal dengan ibumu mungkin akan sangat berbeda? Ibumu mungkin akan ditahan di rumah orangtuanya untuk waktu yang sangat lama dan kau diharapkan untuk melewatkan waktu bersamanya dalam pengasingan."
Dia menggangguk. "Aku tahu."
"Kau tetap ingin tinggal bersama ibumu, kan?"
"Oh, ya," katanya tanpa ragu. "Itu tempat yang tepat untukku."
Oishi tersenyum. Baginya, membawa gadis kecil itu kembali pada ibunya sama pentingnya dengan memperbaiki istana. Dan kini pencapaian itu berada dalam genggamannya.
Mereka masih duduk bersama sambil bercerita tentang pengalamannya di Kyoto ketika Chikara muncul di tepi sungai sambil melambaikan tangan. Mereka segera menghampiri untuk mendengar berita yang dibawanya.
"Keadaan aman," lapornya, dan Oishi tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengumpulkan anggotanya dan bersiap-siap berangkat.
Mereka berpencar dan memasuki kota secara terpisah. Kali ini Oishi menemani gadis itu, sementara yang lain membuat markas di penginapan di tengah kota. Pertama-tama mereka menyingkirkan barang-barang yang mereka bawa di sebuah "sekolah anggar" yang baru didirikan oleh Horibe. Tempat itu sesuai untuk menyimpan persenjataan yang mereka selundupkan dari Kyoto.
Oishi tetap memegang janjinya untuk tidak bertemu Lady Asano lagi, walaupun sangat berat baginya tidak mengantar gadis kecil itu bertemu ibunya. Dia tidak mengabarkan tentang rencananya itu, melainkan hanya mengandalkan ingatannya saja tentang letak taman orangtua Lady Asano hingga dia tahu cara menemukan gerbang belakang dan masuk. Tangis kebahagiaan yang
didengarnya melalui dinding merupakan hadiah yang dia inginkan untuk tugas yang telah berhasil dilaksanakan dengan baik, dan dia pun tersenyum puas.
Kemudian, dengan berat hati dia kembali dan bergabung dengan anggotanya.
"Aku tidak menyukainya," gumam Hara. Dia datang ke penginapan di Nihombashi di mana Oishi tinggal dengan Onodera dan Chikara, untuk melaporkan keadaan yang sebenarnya.
"Di Edo sekarang ada lebih dari enam puluh orang anggota kita," lanjutnya sambil menggelengkan kepala. "Cukup untuk menarik perhatian. Bagaimana mungkin Kira dan Shogun tidak menyadari keberadaan kita?"
"Memang aneh," kata Oishi setuju, "seolah kita ini tidak kelihatan."
"Aku takut mereka telah menunggu kita. Begitu kita bertindak, kita langsung disergap."
Oishi mengangguk. Dia juga sudah memikirkan hal ini.
"Hanya ada dua kemungkinan," katanya kepada Hara. "Mereka memang benar-benar tidak mengetahui kehadiran kita di sini, atau seperti yang kau katakan, mereka menunggu kita berbuat sesuatu. Aku cenderung memercayai yang kedua. Lagi pula, hukum apa yang kita langgar dengan datang ke Edo? Tidak ada. Karena itu tak seorang pun yang memiliki dasar hukum untuk menantang kita."
"Tapi kurasa kita tidak sedang diawasi!" Hara menambahkan.
"Mungkin memang tidak. Mereka tidak harus mengawasi kita - mereka hanya perlu mengawasi Kira. Itu jauh lebih mudah dan hanya perlu sedikit orang."
"Kalau begitu, tidakkah sebaiknya kita serang sebelum pasukan mereka lebih terorganisir?"
"Itu alasan yang bagus," Oishi terpaksa menyetujui, "namun yang jauh lebih penting adalah bila kita serang, maka hal itu harus direncanakan dengan secermat mungkin agar tidak gagal."
Hara menggumam pada dirinya sendiri, lalu mengangguk.
"Kau benar - seperti biasa, kau benar."
"Hal pertama yang ingin kulakukan," kata Oishi, "adalah melihat keadaan secara langsung. Dapatkah kau menemuiku besok pagi dan mengantarku menemui Kira?"
Mata Hara terbelalak. "Tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku - selain melihat kepala Kira menggelinding dalam kotoran."
"Kalau begitu besok dini hari kita akan bertemu di jembatan di seberang Sumida - yang tidak jauh dari sini dan menuju ke arah Honjo. Kita akan menyamar sebagai pelayan yang akan pergi kerja."
Keesokan paginya, Oishi merasa sangat bersemangat. Dia merasa seolah sudah mengakhiri suatu perjalanan panjang dan semua yang dia inginkan telah menanti di ujung yang lain. Untuk pertama kalinya dia akan bertemu musuh pemimpinnya.
Dia bertemu Hara sesuai rencana dan mereka menyeberang ke bangsal Honjo lalu masuk ke Mat-suzaka di mana terletak rumah Kira. Pada dini hari seperti ini, di jalan mereka bertemu dengan beberapa pejalan kaki. Namun banyak sekali anjing, dan Oishi takut kalau mereka akan menimbulkan masalah selama penyerangan. Anjing-anjing akan menggonggong bila nanti pasukan mereka datang, dan akan membuat musuh menjadi bersiaga. Dia harus memikirkan cara untuk mengatasi hal ini.
Ketika di dekat gerbang kediaman Kira, mereka berjalan perlahan untuk mengamati. Pintu itu kokoh dan terlalu berat untuk dirobohkan. Mereka juga memerhatikan celah di sebelah atas di mana para pemanah dapat memanah ke arah mereka dan lubang-lubang kecil di bawah di mana orang yang akan masuk harus menunjukkan wajah.
Dengan santai mereka mengelilingi daerah itu dan menemukan pintu samping yang sama kokohnya dengan yang ada di depan. Tentu saja Horibe telah melaporkan semua keadaan ini dengan lengkap dan balikan sudah memperoleh denah rumah itu. Tapi Oishi tetap ingin melihatnya sendiri sebelum menyusun rencana akhir penyerangan.
Saat mereka tiba di belakang gerbang depan, mereka mengambil posisi di pasar terbuka yang ada di seberang jalan dan menunggu. Mereka berada di sana hampir sepanjang pagi itu dan mulai merasa takut akan ditanyai pemiliknya ketika mendengar gerbang terbuka.
Sepasukan pemanah berlari keluar dan membentuk barisan. Kemudian sebuah tandu dengan cepat dibawa keluar diikuti sepasukan pemanah lagi, lalu seluruh rombongan itu pun bergerak lewat jalan itu. Oishi harus melihat dengan cepat, dan akhirnya dia berhasil. Tak salah lagi, yang dalam tandu itu adalah Kira, yang dapat dikenalinya berdasarkan semua keterangan yang pernah dia dengar. Hanya penglihatan sekilas, tapi dia takkan lupa raut wajah yang memberengut dan giginya yang hitam.
Dia berjanji itulah wajah yang akan berada di ujung pedangnya.
Dia menoleh pada Hara dan sadar bahwa dia telah menahan napas, lalu dihembuskan dengan perlahan.
"Kurasa sudah cukup," kata Oishi, dan dengan diam-diam mereka pun kembali ke tempat anggota mereka menunggu.*

DELAPAN BELAS

Anak buah Oishi kini tersebar di seluruh Edo. Sampai sejauh ini, tampaknya mereka berhasil luput dari pemantauan petugas setempat, namun tetap waspada karena keberadaan mereka bukan dalam bentuk suatu kekuatan yang utuh.
Hara dan Horibe bertindak sebagai wakil komandan dan menyampaikan pesan Oishi kepada pimpinan kelompok, yang meneruskan kepada setiap samurai. Karena mereka masih belum
tahu kapan atau di mana penyerangan akan dilakukan, maka perintah pertama Oishi yaitu setiap samurai harus mengenal daerah di sekitar rumah Kira dan, jika memungkinkan, belajar mengenal Kira dengan cara melihat. Dia harus yakin bahwa tak satu pun dari mereka akan terkejut begitu melihat bajingan bergigi hitam itu, dan berusaha membunuhnya sendirian. Dalam pesannya, Oishi menekankan bahwa para pengawal Kira sangat terlatih, dan setiap tindakan yang sembrono akan dapat dilumpuhkan dengan sangat mudah. Lebih lagi, tindakan seperti itu akan memberi peringatan kepada seluruh Edo tentang kehadiran mereka dan kesempatan untuk berhasil akan hilang.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Para prajurit, baik sendiri maupun dalam kelompok kecil, mengenal Kira dengan cara lewat di depan gerbang pada waktu di mana diperkirakan dia akan keluar atau kembali ke rumahnya. Mereka tidak pernah tinggal terlalu lama di sana. Satu-satunya pengecualian adalah seorang penjaga tetap di depan toko tepat di seberang rumah itu. Penjaga ini mencatat dengan lengkap setiap kedatangan dan keper-gian, dan dengan diam-diam tandu Kira juga diikuti untuk mempelajari pola kegiatan musuh mereka. Pertanyaannya: seberapa lama mereka dapat terus melakukan ini sebelum pengawal Kira tahu?
Yoshida juga mengetahui satu bahaya lagi.
"Kita lemah dalam satu hal, Oishi-dono," katanya di malam dalam rapat soal strategi dengan Hara, Horibe dan Onodera di kamar Oishi di penginapan.
"Dalam hal apa?" tanya Oishi dengan penuh perhatian.
"Kita semua sangat bergantung padamu untuk mendapatkan petunjuk... bukan karena aku tidak ingin begitu," tambahnya dengan cepat ketika alis Oishi mengkerut. "Tapi tidakkah akan lebih masuk akal agar kau lebih berhati-hati?"
Oishi menggelengkan kepala atas kemungkinan membatasi gerakannya sendiri, namun yang lain setuju dengan Yoshida.
"Ada beberapa 'peristiwa' yang dapat menimpamu bila Kira menghendakinya," kata Hara.
"Tapi aku tidak bisa berkeliling dengan seorang pengawal bersenjata," Oishi membentak. "Apa gunanya aku bagi orang lain?"
"Mungkin jawabannya adalah tidak keluar," Yoshida memberi saran. "Satu kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang prajurit bisa tinggal di sini sepanjang waktu."
"Kurasa dia benar, Oishi-dono," kata Horibe. "Kau tinggi dan mudah dikenali. Dengan berjalannya waktu, kau akan dianggap mata-mata, jika tidak dikenal sebagai kepala pengawal Lord Asano."
Oishi tampak gelisah selama beberapa saat dan kemudian menarik napas panjang.
"Aku benci bila harus mengurung diri - aku sudah lama mengurung diri di Yamashina."
"Aku mengerti," kata Hara, "tapi apa yang akan kau peroleh dengan menemui musuh kita lagi?"
"Kurasa tidak ada.... kuharap bisa bertemu Daigaku, tapi tempat pengasingannya dijaga ketat.
Mungkin memang sebaiknya begitu. Sedapat mungkin, aku tak ingin dia terlibat dalam rencana kita."
Anggota yang lain mengangguk.
"Apakah setiap orang boleh melihat Kira?" tiba-tiba Oishi bertanya.
Hara ragu-ragu dan melihat ke arah Horibe. Dia mendehem dan bersiap bicara ketika ada ketukan pelan di pintu. Horibe membuka pintu sedikit, dan langsung mempersilakan Kataoka yang masuk sambil tersenyum.
Dia membungkuk hormat pada Oishi, juga pada yang lain lalu duduk di lantai.
"Kau kelihatan senang," kata Oishi.
Senyum Kataoka semakin lebar.
"Aku sudah menemukan usaha baru untuk pedagang kaya seperti aku di Edo."
"Oh? Dan apa yang akhir-akhir ini dilakukan pedagang yang sedang berkunjung di Edo untuk menyibukkan diri?"
"Belajar," kata Kataoka dengan nada penuh percaya diri. "Belajar tata upacara minum teh."
"Upacara minum teh!" seru Oishi.
Orang-orang saling memandang dengan terkejut. Apakah Kataoka sudah gila untuk bermain dengan mereka di saat seperti ini?
"Tentu saja aku tahu tentang upacara ini lebih baik dari dia," lanjut Kataoka dengan tenang, "tapi guru upacara itu terlalu banyak bicara dan bagian itulah yarg menyenangkan."
"Aku senang kau terhibur," kata Oishi dengan tajam. "Beberapa di antara kita kurang beruntung dapat memilih cara untuk mengisi waktu."
Tapi kataoka bukanlah jenis orang yang dapat menerima sindiran halus.
Aku mendapat banyak gosip tentang istana dari guruku," dia meneruskan dengan tenang. "Tentang pejabat tinggi mereka."
"Lalu apa untungnya buat kita?" tanya Hara dengan tidak sabar. "Aku tak peduli dengan gosip tentang istana."
"Tapi bukankah lebih baik bila kita tahu rencana Kira, kan?"
"Tentu saja."
"Nah, guruku punya pelanggan yang bisa menjadi sumber penting untuk berita seperti itu."
“Siapa orang itu?" tanya Hara dengan malas.
"Kurasa kau takkan bertanya. Dulu dia adalah Pembawa Acara di istana. Namanya Kira."
Semua yang hadir merasa terkejut tapi senang. Kataoka memang membuat kemajuan.
"Bagus, Kataoka," kata Oishi sambil tersenyum. "Aku tahu kau tak sekadar membuang waktu kami."
"Tentu tidak," kata Hara, lalu tertawa bersama dengan yang lain.
Onodera menganggukkan kepalanya yang beruban.
"Aku tak bisa memikirkan cara yang lebih baik untuk mengikuti kehidupan sosial Kira - dan kelihatannya, itulah yang kita butuhkan untuk mengetahui kegiatannya. Jika kita bisa menjebaknya pada suatu tempat dan waktu..."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semuanya sibuk dengan pikiran mereka sendiri sampai Oishi ingat beberapa urusan yang belum selesai.
"Hara, tadi kau melaporkan tentang penugasan anggota kita. Apakah kau mengatakan bahwa ada yang belum melihat Kira?"
Hara kembali ragu.
"Ya, benar."
"Kenapa?"
Hara menatap lantai. Inilah laporan yang tidak menyenangkan baginya.
"Karena beberapa orang yang tercantum dalam daftar - menghilang."
"Menghilang," ulang Oishi dengan sengit. "Maksudmu lari, kan?"
Hara tak menjawab, dan Oishi mengeluh.
"Berapa orang yang meninggalkan kita?"
"Sekitar sepertiga dari kekuatan kita."
"Dan baru sekarang kau melaporkan?" Oishi bertanya dengan marah.
"Tidak ada bedanya," kata Hara dengan tegas. "Kita tetap akan maju."
"Kau tidak perlu terkejut," kata Onodera dengan lembut kepada Oishi. "Kau sendiri bilang kalau beberapa orang akan berpaling dari kita bila pertempuran semakin dekat."
Oishi mengangguk.
"Aku tahu. Maaf." Dia melirik ke arah Horibe. "Kau benar, Horibe, ketika kau mengatakan bahwa waktu tidak berpihak pada kita. Bagaimana aku bisa berharap dapat mempertahankan mereka dalam keadaan siap tempur bila aku selalu membuat mereka menunggu."
Horibe menggelengkan kepala.
"Bukan karena waktu tidak berpihak pada kita -tapi rasa takut."
"Sebagian besar disebabkan oleh perpecahan dalam organisasi kita," kata Oishi. "Yang akan semakin buruk bila aku menyembunyikan diri."
Dia menghela napas panjang. Jelas sekali perlu tindakan yang drastis. Oishi berjalan ke pintu dan memberi isyarat pada orang di luar.
"Mimura," katanya setelah pembantu itu masuk, "ada satu tugas khusus untukmu."
Mimura mengangguk sambil mendengarkan. "Aku mau kau mencari tempat yang cocok mungkin rumah makan - di mana kita bisa berkumpul."
"Semuanya?" tanya Hara dengan hati-hati.
"Ya," jawab Oishi. "Sudah waktunya kita mengadakan satu pertemuan terakhir untuk menegaskan tujuan kita sebelum 'pejuang kita' pergi satu demi satu."
Oishi merasa penting untuk menjaga agar kelompok yang setia tidak semakin berkurang.
Di Fukagawa, daerah di pusat kota, Mimura menemukan penginapan yang memiliki beberapa ruang makan pribadi yang luas. Dia memilih ruangan di lantai bawah karena lebih mudah melarikan diri bila disergap. Dia meminta izin untuk melihat dapur dengan alasan bahwa teman-temannya sangat rewel soal makanan, dan memerhatikan lokasi pintu samping yang dapat digunakan dalam keadaan darurat. Dia juga meminta agar kelompoknya jangan diganggu selama makan karena masalah keuangan yang akan mereka bicarakan perlu konsentrasi.
Ketika semua persiapan sudah dilakukan, Oishi mengirim pesan kepada seluruh samurai Ako yang masih tinggal di Edo untuk berkumpul di hari yang telah ditentukan.
Mimura masuk ke ruang makan bersama Oishi, lalu keluar untuk melakukan pemeriksaan terakhir di dapur guna memastikan pintu samping tidak terhalang. Tapi, ketika melongok melalui pintu, dia cepat-cepat menutupnya dan berlari menemui Oishi dengan wajah pucat.
"Kita tak bisa bertemu di sini," katanya dengan tergesa-gesa.
"Kenapa?" tanya Oishi dengan keras. "Aku yang akan memutuskan apakah kita bertemu di sini atau tidak."
"Maaf," kata Mimura. "Maaf bila aku...."
"Katakan saja," kata Oishi. "Ada apa?"
"Anak itu - anak penjaga api yang bekerja di rumah kita di Edo... sebelum pemimpin kita Lord Asano meninggal. Dia ada di dapur! Untung dia tidak melihatku. Tapi bila dia masuk kesini..."
Oishi berpikir cepat. "Mungkin dia hanya pembantu di dapur, maka dia takkan melayani kita di sini... Bagaimana kau tidak melihatnya sebelumnya? Kukira kau telah memeriksa tempat ini dan menganggapnya aman?"
"Maaf," kata Mimura. "Waktu itu dia tidak ada di sana. Seharusnya aku periksa lagi pagi ini... aku benar-benar menyesali kekhilafan ini."
"Tak ada yang bisa kita lakukan," kata Hara, yang masuk ketika mereka sedang membicarakan masalah itu. "Kita harus pindah."
"Kita tidak bisa mengubah rencana di saat yang sempit ini," kata Oishi keberatan. "Seluruh anggota akan segera tiba. Tidak ada pilihan lain kecuali tetap melanjutkan pertemuan ini sesuai rencana."
"Tapi jika anak itu melihat salah satu..." kata Mimura dengan putus asa.
"Bila dia lihat kita," sela Oishi, "tugasmu untuk mengurusnya. Kau yang bawa kami ke sini, kau juga yang harus membawa kami keluar dari sini... Duduklah di pintu dekat dapur. Dengarkan setiap ada pelayan yang mendekat dan beritahu kami jika mereka datang. Kau bisa berdehem atau mengajak bersulang. Bila yang masuk adalah si penjaga api, kuperintahkan kau bunuh dia dengan cara yang 'wajar'. Bagaimana caranya, terserah kau. Mengerti!"
Mimura mengangguk dengan putus asa.
"Sekarang duduklah di tempatmu. Pertemuan akan segera dimulai dan kita tidak boleh menyebabkan keterlambatan."
Oishi masuk dan duduk di tempatnya di ujung meja. Mimura menempatkan dirinya seperti yang diperintahkan, sedangkan Kataoka duduk di sebelahnya untuk memberi bantuan bila diperlukan. Anggota yang lain mulai berdatangan.
Ketika semua telah hadir, makan siang pun dimulai dan Oishi lega saat yang melayani adalah wanita. Makanan disajikan dengan cepat lalu gadis-gadis itu mengundurkan diri sesuai perintah.
Oishi meminta perhatian dari semua yang hadir. Dia tak membuang-buang waktu untuk langsung ke pokok persoalan.
"Rekan-rekan," dia memulai, dengan emosional, "aku senang kalian semua hadir. Waktu yang kita nantikan sudah dekat dan kita harus menyusun rencana akhir. Sebelum melanjutkan, aku harus
tahu siapa yang dapat diandalkan. Jumlah anggota yang sedikit, kita tak bisa mengharapkan keberhasilan. Kuharap kalian memahami dan menerimanya."
Terdengar suara menggumam setuju dan dia pun meneruskan. Dia mengumumkan bahwa ada sumpah baru yang harus ditandatangani dengan darah. Dia berhenti lalu membacakan sumpah itu.
"Tidak peduli apa pun tugasnya, takkan ada perbedaan dalam penghargaan atau jasa. Selama dia melaksanakan tugas sesuai kemampuannya. Setiap anggota harus saling membantu, tanpa mencari kemenangan sendiri. Harus sungguh-sungguh dimengerti..."
Tiba-tiba dia disela oleh Mimura yang berdehem keras. "Mari bersulang," ajaknya, "bersulang untuk Hara, maksudku Harano, pedagang beras!"
"Untuk Harano, pedagang beras," ucap yang lain menirukan dan menghabiskan sake ketika pelayan wanita masuk dari arah dapur untuk memeriksa makanan.
"Untuk pedagang bahan tirai dari Kyoto," ajak Mimura selanjutnya dan mereka bersulang untuk Kataoka, yang menyeringai malu. Ketika pelayan itu pergi, Oishi membacakan sumpah tersebut.
"Harus sungguh-sungguh dimengerti bahwa tak seorang pun dari kita boleh bertindak semena-mena bahkan setelah Kira dibunuh. Prosedur yang harus dipatuhi akan tergantung pada keadaan yang tidak kita ketahui dan akan diberitahukan pada saat itu."
Semua menggumam setuju dan ketika makan siang selesai, mereka menuliskan nama dengan darah. Ada empat puluh tujuh penanda tangan, termasuk seorang laki-laki berumur tujuh puluhan; lima orang berumur enam puluhan, termasuk Yoshida dan Onodera; empat orang berumur lima puluhan, termasuk Hara; empat orang berumur empat puluhan, termasuk Oishi; delapan orang berumur tiga puluhan, termasuk Kataoka dan Horibe; tiga belas orang berumur dua puluhan, termasuk putra Onodera, Koemon; serta Yato
dan Chikara, yang keduanya berumur tujuh belas tahun. Setiap anggota diberi petunjuk rinci soal peralatan perang, senjata, tanda, tempat pertemuan, dan nama pemimpin langsung mereka. Waktu dan tempat penyerangan akan ditentukan kemudian. Hal-hal yang lain sudah diputuskan.
Para anggota itu pergi seperti ketika mereka datang, berdua dan bertiga, sampai hanya tinggal Oishi dan Mimura. Kini Oishi berkesempatan untuk bersantai dan balikan tersenyum. Mimura menghampiri dengan senyum dan mereka pun keluar bersama-sama puas dengan keberhasilan pertemuan itu.
Beberapa waktu kemudian, beberapa pelayan dapur membersihkan meja. Salah satunya adalah si penjaga api dari rumah Lord Asano. Dia sedang mengangkat beberapa piring di tempat Oishi ketika dia memerhatikan serbet kotor di lantai. Dia ambil serbei itu dan memerhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu. Serbet itu penuh bercak darah dan dia melemparnya ke meja dengan rasa jijik. Andai rasa ingin tahunya lebih besar, dia melihat jumlah noda darah itu ada empat puluh tujuh.
Tak mau kalah dengan Kataoka, Hara pun menjalin hubungan dengan rumah tangga Kira. Dia membuka toko peras dan berhasil mendapatkan pelayan dapur musuhnya itu sebagai pelanggannya. Pelayan ini meminta potongan harga yang besar sehingga akhirnya Hara menjual berasnya dengan harga lebih rendah dari harga beli. Kerugian usaha dapat memberi keuntungan dalam hal lain. Dia tidak diizinkan mengirimkan beras hingga ke gerbang - keamanan di sana sangat ketat - tapi dia sempat mengetahui jumlah beras yang diperlukan untuk pesta. Horibe berkenalan dengan pendeta yang menjadi teman Kira. Anggota yang lain menggunakan cara sendiri untuk melacak kegiatan buronan mereka yang sukar ditangkap.
Tapi Kataoka, melalui guru tehnya, yang lebih dulu berhasil mendapat petunjuk yang benar.
Dia pergi mengikuti pelajaran mingguannya dan menguatkan diri untuk menghirup teh tidak enak ketika gurunya dipanggil untuk menerima sebuah pesan. Ketika gurunya sedang membelakanginya,
Kataoka membuang tehnya ke dalam hibachi, tapi gurunya, laki-laki gemuk dengan kepala yang dicukur seperti pendeta, begitu senangnya ketika kembali hingga dia tak memerhatikan.
"Coba tebak," katanya. "Aku diundang ke pesta!"
"Menyenangkan sekali," gumam Kataoka, sambil berpura-pura menghirup teh dari cangkirnya. "Pasti itu peristiwa penting sehingga Anda begitu senang."
"Oh, memang! Di rumah Lord Kira..."
Kataoka menahan napas.
"...upacara minum teh pagi hari tanggal enam Desember. Aku sangat tersanjung karena diundang. Sudah lama aku tidak ke Edo, tapi aku sudah mulai masuk dalam lingkungan mereka."
"Ya," kata Kataoka, "memang benar. Dan upacara ini akan dilangsungkan di kediaman Lord Kira?"
"Ya, di rumahnya. Oh, seandainya aku bisa mengajakmu. Kau belum pernah masuk ke rumah Edo yang sesungguhnya, kan?"
"Belum pernah," Kataoka berbohong, sambil mengingat pagi yang amat bersejarah itu ketika Lord Asano pergi dari rumah untuk yang terakhir kali.
"Tapi sudah pasti aku tidak berhak mengundangmu. Aku tahu Lord Kira sangat memilih tamu-tamunya dan ada penjaga yang akan memeriksa undangannya. Apakah menurutmu dia takut kalau anak buah Lord Asano masih mengejarnya?"
"Entah kenapa dia harus berpikiran seperti itu -kejadian itu sudah lama sekali."
"Ya - aku juga berpikir begitu. Bila mereka ingin balas dendam, mereka pasti sudah melakukannya sejak dulu."
Kataoka mengangguk sementara laki-laki itu terus berbicara.
"Lagi pula, hal itu menunjukkan bahwa masa kejayaan samurai telah berakhir. Jika tidak lagi menjunjung tinggi kode etik mereka sendiri, apa yang akan terjadi pada moral seluruh bangsa?"
Kataoka mengatupkan gigi dan tidak mengatakan apa pun.
"Namun, pesta di kediaman Lord Kira ini akan menjadi peristiwa yang luar biasa. Nah, sekarang, bisakah kita lanjutkan pelajarannya?"
Dengan patuh Kataoka mengangkat cangkir yang kosong ke bibir dan pura-pura menghirup, memutarnya sedikit setiap kali akan menghirup sesuai tata krama.
Dia merasa akan tepat bila penyerangan dilakukan pada malam hari tanggal lima dengan kepastian bahwa sasaran mereka akan berada di rumah.
Kataoka sudah melaporkan kepada Oishi tentang pesta itu ketika ada kabar dari sumber lain bahwa pesta tersebut ditunda. Kataoka mengadakan pelajaran tambahan dengan guru tehnya dan diberitahu bahwa berita itu memang benar. Guru tehnya sangat kecewa dan hanya dapat berharap akan ada kesempatan yang lain. Kelihatannya Shogun mengadakan pesta di hari yang sama dan Kira membatalkan pestanya sendiri agar dapat hadir di sana.
Semangat para anggota menjadi kendur, namun minggu berikutnya ketika Kataoka menghadiri pelajarannya, mereka kembali memiliki alasan untuk tetap berharap. Kali ini dia tahu bahwa kemungkinan besar akan ada pesta akhir tahun di kediaman Kira. Kataoka meneruskan berita ini kepada Oishi dan laporannya dikuatkan oleh Horibe, yang diminta oleh teman pendetanya untuk menyampaikan surat persetujuan untuk hadir di pesta itu.
Pesta akan diadakan pada tanggal empat belas Desember dan Oishi merinding ketika mendengar tanggal tersebut. Kataoka dan Horibe juga menyadari maknanya dan menatap penuh arti pada Oishi. Tanggal itu adalah adalah tanggal kematian Lord Asano dan menjadi pertanda yang pasti bahwa waktu untuk menyerang akhirnya tiba!*

SEMBILAN BELAS

Salju mulai turun pada malam hari tanggal sebelas. Hujan yang turun sangat deras dan kelihatannya akan berlangsung selama beberapa hari. Orang-orang di jalan mengenakan baju yang sangat tebal, berjalan cepat dan tidak memerhatikan hal-hal lain seperti kegiatan orang asing. Sungguh cuaca yang sempurna bagi kelompok dari Ako.
Rencana akhir Oishi sederhana saja: serangan serentak pada pintu masuk dan pintu samping kediaman Kira dengan kekuatan penuh. Begitu mereka berhasil melumpuhkan gerbang, anggota yang lebih tua akan tetap di situ untuk menjaga campur tangan dari luar, sementara yang muda akan masuk untuk mencari sasaran.
Oishi yang akan memimpin serangan dari pintu masuk; Hara akan bertanggung jawab di pintu samping, sementara Onodera dan Yoshida akan memimpin pasukan yang berada di luar. Senjata dan seragam sudah diperoleh dan akan dikenakan tepat sebelum penyerangan. Setiap anggota tahu tempat dan sasaran mereka; kini tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu.
Salju masih terus turun pada tanggal tiga belas, tapi masih belum ada berita soal pembatalan atau penundaan pesta di kediaman Kira. Semangat para samurai Ako semakin lama semakin bertambah.
Di pagi hari tanggal empat belas, Oishi pergi ke kuil Sengaku-ji untuk memberi penghormatan yang terakhir pada Lord Asano. Inilah pertama kalinya dia lepas dari pengawasan pengawalnya.
Di pemakaman, dia menyingkirkan salju dari plakat yang terletak di depan makam Lord Asano lalu berbicara dengan pemimpinnya yang sudah meninggal.
"Kami siap, tuanku, untuk membalas dendam."
Dia berhenti dan membayangkan bahwa kata-kata ini memberi kepuasan bagi Lord Asano seperti halnya bagi dirinya sendiri.
"Pasukanmu yang setia sudah berkumpul. Sebelum malam ini berakhir, beberapa orang atau balikan kami semua akan mengorbankan hidup kami, tapi kami anggap itu bukan apa-apa karena kami menghormatimu.
"Berhasil atau tidak, kami akan segera bergabung dengan tuanku, dan ini memberi kami keberanian untuk melaksanakan tugas. Musuh kita lebih banyak, tapi dengan semangat, kami akan kalahkan mereka - atau mati dalam berusaha. Kami akan memberi kejutan, dan dengan keberuntungan kami akan menemukan sasaran dengan cepat tanpa pertumpahan darah."
Sekali lagi Oishi bersumpah setia, dan dengan membungkuk hormat, dia meninggalkan Sengaku-ji.
Di persimpangan jalan ke pemakaman, terdapat penginapan sederhana dan ketika Oishi melewatinya dia mendengar suara musik dan teriakan orang-orang yang mabuk. Dia mengernyitkan dahi ketika teringat saat dia melakukan hal yang serupa; ini memang kebiasaan penduduk Edo.
Tapi alisnya kemudian berkerut ketika alunan samisen terdengar jelas dan seorang gadis mulai menyanyi. Dia tersenyum dan merasakan penyesalan yang sangat dalam. Dia melihat bayangan wajah Okaru di hadapannya dan sadar kalau hari-hari yang ia lalui bersama gadis itu di Yamashina akan selalu membayangi dirinya. Dia menghela napas panjang dan setelah beberapa saat dia pun berlalu.
Di gerbang penginapan itu, seorang pengemis buta yang hampir tertutup oleh salju meminta sedekah. Oishi hampir jatuh tersandung olehnya, tapi terus berjalan. Sesudah berjalan beberapa langkah, dia berhenti. Pengemis itu membawa pedang samurai, dan Oishi tak bisa mengabaikannya. Setahu dia, pedang seperti itu seharusnya ada lambang Klan Asano - bisa jadi pengemis itu salah satu anggotanya yang jatuh miskin.
Dia lalu kembali menghampiri pengemis itu, memberinya beberapa keping uang, dan melanjutkan perjalanannya. Lalu dia berhenti untuk yang kedua kalinya. Kali ini ketika dia kembali
mendatangi pengemis buta itu, dia menuangkan seluruh isi dompetnya ke keranjang pengemis itu. Saat ini, ketika berjalan di jalan yang bersalju, dia merasa lega, merasa damai dan bebas. Uang tidak lagi sesuatu yang perlu dia kuatirkan.
"Kejadian itu mengingatkanku betapa beruntungnya kita karena pengemis itu di tempatkan dijalan yang aku lewati," katanya kepada Chikara, ketika mereka berbaring dekat hibachi di kamar yang dingin di penginapan.
"Tahukah kau," dia melanjutkan, "kalau beberapa orang menjalani hidup tanpa mengetahui jalan yang benar. Mereka dihantam oleh angin ini dan itu dan sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi. Biasanya begitulah nasib orang biasa - mereka yang tidak memiliki pilihan atas nasib mereka. Bagi kita yang terlahir sebagai samurai, kita tahu arah dari tugas kita dan kita mengikutinya tanpa mempertanyakannya. "
Dia bangkit untuk memandang keluar jendela sambil melanjutkan.
"Tapi itu tidaklah mudah karena ada banyak hambatan yang mungkin tidak dapat diatasi. Seperti yang dihadapi oleh pengemis buta itu. Mungkin dia juga memiliki keinginan rahasia untuk balas dendam pada penindasnya. Mungkin keadilan berpihak pada dia seperti yang kita miliki sekarang, tapi dia tidak berdaya. Menurutku, kita beruntung - kita tahu apa yang harus kita lakukan dan kita mampu mewujudkannya!"
Mata Chikara bersinar ketika ayahnya bicara dan dia baru akan berkomentar ketika tiba-tiba Oishi agak maju ke depan untuk melihat dengan lebih jelas melalui jendela.
Dua penunggang kuda mendekat menembus salju, yang satu orang dewasa dan yang anak kecil kecil. Selama beberapa saat Oishi melihat dirinya sendiri dan putri Lord Asano sedang menunggang kuda melalui padang rumput Ako di hari itu, dulu sekali.
"Ayah..." kata Chikara, dan Oishi berbalik. Selama beberapa saat dia lupa apa yang sudah dia katakan, kemudian dia melanjutkan kata-katanya tapi dengan lebih lembut.
"Seperti yang sudah kukatakan, kita beruntung, beruntung."
"Kita memang beruntung, Ayah."
Oishi tersenyum. "Benar. Itulah kata-kata seorang samurai. Ingat, selalu ada pengorbanan dalam setiap kehidupan. Bahkan orang yang memilih jalan yang aman juga harus mengorbankan getar pertempuran. Intinya, begitu tahu apa yang kau inginkan, kau harus siap berkorban untuk mendapatkannya. Orang yang menyadari ini adalah orang yang beruntung. Yaitu mereka yang tahu dan mau berusaha. Apalagi yang dapat diminta laki-laki selain itu?"
Chikara menggelengkan kepala. Baginya, tak ada yang lebih penting dari hal itu.
Oishi merasa senang telah mengizinkan putranya bergabung dalam kelompok ini.
Namun, ada kenangan...
Saat makan malam bersama, Oishi tiba-tiba teringat pada istrinya dan anak-anaknya yang lain. Selama beberapa saat dia merasa dikuasai emosi, tapi dia menyembunyikan itu dari putranya.
"Jangan habiskan nasinya," katanya pada Chikara, sambil berdehem. "Kau akan merasa lebih baik bila tidak terlalu banyak makan."
Chikara mengangguk dan menaatinya, meskipun sebenarnya dia masih lapar. Tentu saja tak ada daging atau ikan, dan makanan yang enak lainnya tak diperbolehkan karena alas an spiritual. Memanjakan diri sebelum melakukan sesuatu yang penting seperti yang mereka hadapi sekarang akan menjadi pertanda buruk.
Setelah makan malam, mereka berbaring sejenak untuk beristirahat meskipun mereka berdua tidak bisa tidur. Chikara mengingat kembali tugasnya dalam penyerangan itu, dan kemudian
pikirannya melayang ke masa lalu. Dia ingat pada ibu dan adik-adiknya, lalu maiko kecil yang dikenalnya secara singkat; Sedikit pun takkan ada kesempatan baginya untuk bertemu lagi dengan maiko kecil, namun dia tetap belum dapat melupakannya...
Mereka "dibangunkan" tepat pukul delapan oleh kedatangan Kataoka dan Onodera yarig berbisik sehingga semakin menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ini. Dalam keheningan mereka bangkit dan berpakaian lalu keluar menembus salju.
Tempat pertemuan pertama untuk kelompok Oishi adalah sekolah anggar milik Horibe, di mana mereka berganti pakaian tempur. Ada tiga tempat yang ditunjuk untuk keperluan itu, di mana seluruh anggota akan berkumpul, bila mereka sudah siap menyerang.
Pakaian mereka biru, keduanya merupakan lambang dari kesucian untuk menjamin perlindungan Yang Kuasa dan sebagai bukti bahwa tindakan mereka ini bukan karena kemiskinan. Di atas tumpukan pakaian dalam dari sutera, mereka mengenakan kemeja yang dikancingkan hingga ke pergelangan tangan. Setelah itu celana lebar yang akan memudahkan gerak mereka. Kemudian pakaian perang berlapis kain satin dan di atasnya. Setiap prajurit memakai pelindung dada dengan jalinan tali sutera dan hiasan dari emas. Sebuah mantel dan pelindung kepala dari bahan tenunan halus yang dapat dilepas dengan mudah memtuat penampilan mereka mirip seperti petugas pemadam kebakaran, suatu penyamaran yang mereka harap dapat memungkinkan mereka untuk pergi tanpa mengalami hambatan melewati jalan-jalan.
Oishi menyiapkati seragam ini dengan diam-diam di beberapa penmbuat pakaian perang di Kyoto, sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah berpakaian, mereka berjalan berdua atau bertiga menuju toko beras milik Hara, tempat pertemuan terakhir.
Di sini Oishi memeriksa setiap prajurit dan mengajukan pertanyaan tentang tugas yang diberikan untuk mereka. Oishi sudah menyelesaikan tugas dan sedang duduk dengan tenang menunggu
waktu berangkat, ketika dia dikejutkan oleh seseorang yang memberinya secangkir sake. Dia menoleh dan melihat Hara yang beruban.
Inilah waktunya untuk bersulang terakhir demi keberhasilan dan dia melakukannya dengan sikap percaya diri yang memberikan kekuatan pada yang lain.
Saatnya untuk berangkat.
Di luar, mereka membentuk empat barisan dan berjalan di bawah komando Oishi. Mereka membawa dua tangga yang ringan dan tampak seperti pasukan pemadam kebakaran yang berpatroli, pemandangan yang biasa di lorong dan gang. Satu-satunya perbedaan yaitu di barisan luar Mimura membawa plakat yang berisi pernyataan atas tujuan mereka yang akan diperlihatkan pada waktu tepat.
Salju sudah berhenti, tapi lapisan salju yang ada dapat menyembunyikan bunyi langkah kaki mereka. Tak seorang pun yang terlihat di jalan, kecuali seorang pengawas kebakaran yang memukulkan tongkatnya untuk menunjukkan bahwa dia bersiaga. Oishi membalas salamnya dan tidak ada yang menghalangi mereka.
Mereka sudah menyeberangi jembatan yang terbentang di atas sungai Sumida menuju Honjo, dan berjalan memasuki Matsuzaka ketika terjadi insiden. Seekor anjing kotor yang menggigil, berdiri di tengah jalan dan mulai menggeram ketika mereka mendekat. Takut jika anjing itu menggonggong dan menimbulkan keributan, Oishi memberi tanda pada Hara yang berada di sampingnya. Tanpa berhenti, Hara memasang anak panah lalu membidik anjing itu tepat di leher. Anjing itu menggelepar, lalu diam tak bergerak. Pasukan berjalan terus melewatinya. Ketika melihat bangkainya, mereka sadar bahwa ini tindakan pelanggaran pertama mereka atas undang-undang Shogun. Kejadian itu bisa membuat mereka dihukum berat, dan mereka tahu ini baru awal.
Bagi Hara, pemandangan anjing itu membuatnya tertawa. Dia senang dengan keahliannya memanah selain juga menyadari bahwa mereka sudah melewati titik di mana mereka tidak bisa mundur lagi.
Inilah peristiwa yang telah dia nantikan selama hampir dua tahun dan dia ingin menikmati saat-saat ini sebaik mungkin. Apa yang lebih menyenangkan dalam hidup ini selain penantian untuk bertempur?
Sambil berbaris, pikiran Kataoka juga dipengaruhi kematian anjing itu. Dia ingat prosesi pemakaman yang mereka jumpai di kota Edo dalam perjalanan ke kastil Shogun bersama Lord Asano. Dia meyakini itu adalah pertanda buruk. Seekor anjing mati adalah tanda yang pasti bahwa Kira sedang menanti kedatangan mereka. Dia hanya berharap dialah yang akan pertama kali menemukan Kira. Dia tahu bahwa Kira pemain pedang yang hebat, namun dengan semangat yang ada sekarang, dia merasa sanggup melawan dua puluh orang seperti Kira, dan menang. Pedang bajanya sudah ingin menebas orang yang membawa kematian bagi pemimpinnya.
Anggota yang lebih tua berbaris dengan susah melewati salju, tapi langkah mereka sama gagahnya. Onodera dan Yoshida, keduanya memandang peristiwa malam ini dengan cara pandang yang lebih luas. Bagi mereka, peristiwa ini seperti langkah dalam permainan go di mana setiap biji harus memainkan satu bagian. Membunuh anjing adalah gerakan pertama, namun strategi keseluruhan yang paling penting dan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan mereka.
Bagi sebagian besar anggota yang lebih muda, anjing hanyalah anjing, gangguan yang memang harus disingkirkan. Ujian mereka yang sebenarnya akan tiba ketika menghadapi baja dingin untuk pertama kalinya. Setelah itu mereka akan tahu, termasuk Chikara, apakah mereka pantas disebut samurai.
Ketika Mimura melewati bangkai anjing itu, dia cepat-cepat keluar dari barisan untuk menimbun bangkai itu dengan salju agar tidak ditemukan sampai matahari menghangatkan bumi. Kembali ke barisannya, dia memandang lekat ke salju, seolah belum pernah melihatnya. Dalam cahaya rembulan, salju tampak begitu indah. Dia berusaha mengingat puisi tentang salju tapi tidak berhasil; tak
pernah terlintas di benaknya untuk membuat puisi sendiri. Hal itu hanya dilakukan para bangsawan.
Oishi, yang memimpin barisan, sudah melupakan anjing itu. Dia sibuk membayangkan reaksi musuhnya atas serangan itu.
Satu-satunya bahaya terbesar yaitu tanda peringatan akan dinaikkan dengan sangat cepat hingga bantuan akan tiba sebelum mereka membereskan Kira. Pasukannya yang terdiri dari empat puluh tujuh orang sudah jelas tak sebanding dengan enam puluh pemanah yang ada di rumah itu, belum lagi pembantu yang juga akan melakukan perlawanan bila terpaksa. Tapi kalau pasukan lain juga dikerahkan, baik oleh Chisaka dari Klan Uesugi atau tetangga Kira yang lain, maka pasukannya pasti akan kalah.
Oishi merasa perlu memikirkan tindakan pertama yang akan dilakukan Kira: meminta bantuan. Bila Kira mempunyai api isyarat yang bisa dinyalakan, maka harus segera mereka padamkan. Atau mungkin Kira akan berusaha mengirim utusan. Dengan kekuatan pasukan Oishi di kedua gerbang, dia rasa tidak mungkin seorang pun bisa lolos. Tapi jika berhasil lolos, maka dalam waktu sekejap pasukan pemanah dari Uesugi pasti telah berhadapan dengan mereka. Pertanyaannya adalah, dapatkah mereka menemukan Kira sebelum semua kemungkinan itu terlaksana?
Perintahnya pada seluruh pasukan yaitu menemukan Kira tanpa penundaan, tidak terlibat dalam perkelahian yang tidak perlu dan tidak membunuh orang yang tidak melawan. Melalui peta, mereka tahu mana kamar Kira, namun mungkin dia akan bersembunyi begitu mendengar tanda peringatan.
Oishi menggelengkan kepala. Dia telah memperhitungkan segalanya; dia hanya berharap tidak hal lain terlewati.
Tapi kini semua perenungan telah berakhir. Mereka sudah sampai di gerbang Kira dan tibalah waktunya untuk bertindak.
Kesunyian adalah hal yang sangat penting dan tak seorang pun bersuara ketika berjalan perlahan hingga akhirnya berhenti. Tak ada
suara dari arah dalam rumah dan mereka menganggap bahwa sejauh ini kehadiran mereka tidak diketahui.
Oishi memberi perintah dan kedua kelompok berkumpul. Hara memimpin pasukannya ke pintu samping, dan sekali lagi berusaha mendengar tanda-tanda kegiatan dari dalam. Tak terdengar suara apa pun, jadi dia langsung memberi isyarat pada Kataoka yang ditugaskan untuk memimpin kelompoknya dengan satu alasan khusus. Dia melangkah maju sambil menyeringai, meludahi kedua tangannya lalu mulai memanjat tembok di sisi gerbang dengan ditopang Mimura. Dia berhasil mencapai puncak tembok tanpa bersuara. Setelah memeriksa sekeliling dengan hati-hati, dia bersandar untuk membantu orang berikutnya naik. Orang itu adalah Yato, yang ditopang oleh Hara dan Mimura; Sesudah Yato, dua orang lainnya juga naik. Keempat orang itu tetap di atas tembok menunggu hingga mata mereka terbiasa dengan kegelapan dan bisa melihat apa yang sedang dilakukan para penjaga. Di bawah ada dua penjaga yang mengantuk sambil bersandar ke tembok tempat para penyerang berdiri. Kedua penjaga tak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka tahu keharian orang lain.
Kataoka mengangkat tangan, lalu menurunkannya dengan tanda tanpa suara dan keempat orang itu pun segera melompat turun. Mereka mendarat di atas tanah yang lembut lalu menyerang para penjaga yang tidak sempat berteriak. Empat pedang menusuk kedua tubuh itu hampir bersamaan hingga mereka mati tanpa bersuara. Kataoka lalu berlari ke gerbang, membuka kunci, dan dengan bantuan yang lain mendorong gerbang hingga terbuka lebar. Hara serta pasukan pedangnya masuk meninggalkan Yoshida dan anggota lain yang lebih tua di luar. Dari arah gerbang utama masih belum terdengar suara anggota lain yang masuk hingga Hara menjadi bimbang. Dorongan untuk menjelajahi rumah itu sendirian begitu kuat tapi dia menahan diri untuk menunggu. Dia sadar bahwa satu tanda peringatan bisa menimbulkan bencana bila Oishi dan anak buahnya belum selesai memanjat tembok.
Di gerbang utama, dua buah tangga yang disiapkan untuk penyerangan ini diletakkan pada posisinya ketika Oishi
memperkirakan bahwa Kataoka telah selesai menaiki tembok samping. Kecuali Onodera dan anggota yang sudah tua, para anggota yang lain menaiki tangga itu dan melompat ke dalam. Para penjaga berhasil dilumpuhkan tanpa sempat berteriak. Karena tidak melawan para penjaga itu diikat dan mulutnya disumbat. Hal ini butuh waktu lebih lama daripada ditikam. Demi mengejar waktu, Oishi memimpin anak buahnya berlari menyeberangi daerah terbuka yang mengelilingi rumah. Dia bertemu Hara tepat pada waktunya untuk mencegahnya masuk ke dalam sendirian.
Kini kedua kelompok itu bergabung dan para anggota yang bertubuh besar diperintahkan mendobrak pintu rumah. Kayu pintunya ternyata hanya sekadar hiasan dan tidak kokoh sehingga langsung hancur begitu didobrak. Ini menjadi pertanda pertama bagi penghuni rumah bahwa mereka diserang. Oishi dan anggotanya segera ke ruang masuk, lalu ke ruang lain untuk memberi kejutan pada para penjaga sebelum mereka sempat menyiapkan diri. Di ruang penerimaan utama mereka menemukan lima penjaga yang langsung menyerah. Kini para penyerang menyebar ke seluruh penjuru rumah, ingin segera menyelesaikan urusan sebelum datang lebih banyak pasukan musuh.
Kira terbangun sebelum seorang pelayan tua membuka pintu kamar dengan panik. Dia mendengar keributan lalu dengan sangat ketakutan dia sadar apa yang sedang terjadi.
"Tuan!" pelayan tua itu berteriak. "Musuh telah memasuki rumah. Apa yang harus kita lakukan?"
Kira bangkit dengan tergesa-gesa, menjatuhkan nampan berisi sisa tehnya semalam.
"Penjaga," gumamnya, sambil mencari pedang, "beritahu penjaga."
"Mereka sedang bertarung, tuan," jawab orang tua itu.
"Keluar dan bantu mereka," kata Kira dengan datar sambil mengikatkan pedang di atas jubah tidurnya. Kemudian dia berjalan ke pintu.
Ketika melangkah ke lorong, dia terkejut mendengar teriakan dan dentingan pedang lalu segera berbalik ke arah yang berlawanan.
"Tahan mereka, bodoh!" dia berteriak sambil menoleh ke belakang.
"Tahan mereka selama mungkin!"
Setelah itu dia menghilang. Pelayan yang ke-bingunan itu berjalan kembali ke arah dia datang tadi. Pikiran untuk menahan sepasukan samurai muda yang sangat kuat tidak dapat dia pahami.
Waktu Kira berjalan cepat dengan bertelanjang kaki ke ruangan terpencil di samping rumah. Dia hampir menabrak pelayan muda bertubuh kokoh yang berdiri dengan mata mengantuk.
"Kau!" tegurnya. "Apa ada musuh lewat sini?"
"Musuh?" tanya pemuda itu sambil mengantuk.
"Orang-orang dari Ako," Kira membentaknya dengan tidak sabar. "Kau tidak tahu kalau kita diserang?"
Mata pembantu itu membelalak karena terkejut tanpa menunjukkan rasa takut. Dengan penuh harapan Kira meraih bahu pemuda itu.
"Kuminta kau antar pesan - pada Klan Uesugi."
Pembantu itu mengangguk. Dia mengerti apa yang harus dilakukan.
"Minta Chisaka mengirim pasukan! Dan cepat!"
Dia membawa pelayannya ke pintu samping dan melihat keluar. Dalam kegelapan, dia hanya dapat melihat bentuk samar di halaman dan mendorong pemuda itu dengan senyum menakutkan.
"Cepat," bisiknya. "Cepatlah dan kita bisa diselamatkan."
Pemuda itu menghilang dalam gelap dan Kira membungkuk kembali ke dalam rumah. Dia berlari ke bagian lain rumahnya yang terdiri dari beberapa kamar tidur dan membuka pintu salah satu kamar tanpa basa-basi. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu
pada penghuni kamar itu ketika terdengar langkah orang mendekati kamar. Kira cepat-cepat masuk ke dalam dan menutup pintu.
Oishi, bersama Chikara dan beberapa orang pilihan, berjalan menuju kamar Kira sesuai dengan denah yang sudah mereka pelajari dengan cermat. Mereka bertemu beberapa pelayan yang ketakutan, laki-laki maupun wanita, dan dengan kasar memerintahkan mereka keluar dari rumah untuk mengurangi orang yang berkeliaran dengan kebingungan di sekitar lorong.
Di kamar tidur, Oishi serta anak buahnya menendang pintu kamar itu dan membangunkan pelayan serta tamu tanpa mendapat perlawanan. Mereka tidak menemukan Kira di kamarnya, maka pencarian pun menjadi lebih kacau ketika mereka bergerak dari lorong ke lorong.
Saat itu seluruh bagian rumah kacau dan penuh dengan jeritan dan teriakan yang bercampur dengan pukulan bila ada orang yang menghalangi jalan. Tapi tak banyak terjadi pertumpahan darah karena penyerang tak bermaksud membunuh secara membabi-buta. Begitu musuh dilumpuhkan, mereka tidak lagi menaruh perhatian pada orang itu; satu-satunya kepedulian mereka adalah menemukan Kira.
Kekacauan yang sama juga terjadi di luar. Saat itu, sebagian besar pelayan dan tamu berlarian kesana kemari dengan bingung di depan rumah. Gerbang ditutup dan dijaga pembawa obor untuk mencegah orang lari, tapi pelayan muda yang menerima perintah Kira melihat ada jalan keluar. Begitu mendapat ide, dia langsung lari ke tembok di antara kedua gerbang lalu melompat naik dengan cara sama seperti yang dilakukan Kataoka untuk masuk. Dia mengangkat tubuh lalu mendarat di luar di tepi jalan.
Onodera, komandan pasukan yang menjaga gerbang utama, memergoki pemuda itu saat bangkit berdiri lalu berlari dengan cepat di tepi jalan. Sambil berteriak, orang tua itu menarik busur dan melepas anak panah tapi luput. Begitu juga panah dari pasukan Ako lain yang segera tahu apa yang terjadi.
Onodera segera memerintahkan dua prajuritnya mengejar pelayan itu, namun sama sekali tak ada gunanya. Selain karena pemuda itu sudah berlari lebih dulu, orang yang mengejarnya juga sudah tua. Onodera mengumpat kesal. Bila tujuan pemuda itu ke kastil Uesugi, tak lama mereka akan diserang dalam jumlah pasukan yang besar. Onodera bersumpah akan bunuh diri atau mati dalam pertempuran bila kesalahannya membuat mereka gagal menangkap Kira.
Ada masalah lain yang dihadapi Onodera.. Pelayan dari beberapa rumah tetangga mulai berdatangan dengan rasa ingin tahu oleh keributan itu. Dia menjawab pertanyaan mereka dengan menunjukkan plakat yang sudah disiapkan Oishi:
Kami, ronin yang mengabdi pada Lord Asano Takumi no Kami, malam ini akan menyerbu kediaman Kira Kotzuke no Suke untuk membalas dendam atas kematian pemimpin kami. Percayalah bahwa kami bukan perampok dan takkan menimbulkan kerusakan di lingkungan ini.
Tampaknya ini cukup memuaskan bagi mereka dan Onodera lega karena tak ada yang menentang dan mencari bantuan. Sayangnya, kelegaannya tak berlangsung lama ketika dua orang yang diperintahkannya mengejar pemuda itu kembali tanpa hasil. Mereka hanya bisa melaporkan bahwa buronan terlihat berlari dengan sangat cepat ke kastil Uesugi.
Di dalam rumah, pencarian atas Kira terus berlangsung. Oishi melanjutkan pencariannya di bagian kamar tidur, sementara anak buah Hara memeriksa dapur dan ruangan untuk pelayan. Chikara diperintahkan tetap bersama ayahnya dan dia berusaha menaatinya meskipun bingung dengan pencarian itu. Dia begitu bersemangat, namun dia berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri, sekuat genggaman di pedangnya agar tidak melakukan hal yang bodoh. Dia takut bergerak mendahului ayahnya karena tak mau terlihat sombong, tapi juga ingin berada di belakangnya karena tak ingin kelihatan seperti pengecut. Akibatnya gerakan mereka menjadi kaku, hingga akhirnya Oishi berhasil mengatur cara menyerbu
kamar. Dia perintahkan Chikara membuka pintu di saat yang bersamaan hingga dia bisa masuk sambil menghunus pedang untuk menghadapi penghuni kamar. Cara ini ternyata jauh lebih berhasil dibanding berusaha masuk ke kamar bersamaan.
Sayangnya, mereka tak berhasil menemukan Kira. Ada beberapa bangsawan yang menjadi tamu di sana tapi tak satu pun dari mereka yang melawan. Oishi melewati mereka dengan tidak sabar. Mereka hanya perlu memeriksa beberapa kamar lagi ketika tiba-tiba terdengar teriakan Hara. Oishi segera memimpin anak buahnya berlari ke dapur, meninggalkan Chikara menjaga lorong sendirian.
Hara sudah membuka pintu dapur dan berhadapan dengan pasukan pemanah cadangan Klan Uesugi. Dia hampir tak sempat berteriak memberi peringatan saat anak panah menembus bahunya. Panah itu membuatnya pusing tapi dengan kekuatan yang luar biasa dia berbalik untuk menerjang lawan-lawannya. Saat itu anak buah Hara muncul dari belakang dan menerjang musuh yang tak sempat memasang anak panah ke busur. Mereka terpaksa menarik pedang, tapi dalam pertarungan berdarah itu kelihatan kalau musuh tidak mahir menggunakan pedang. Dalam waktu singkat semua musuh berhasil ditaklukkan.
Hara bernapas dengan susah. Darah membasahi pelindung dadanya namun dia tak ingin berhenti. Dia sudah menunggu penyerangan ini terlalu lama dan tak ingin kehilangan kesempatan untuk turut ambil bagian di dalamnya. Dia memegang anak panah yang menancap lalu dia patahkan agar tidak mengganggu gerakannya. Setelah itu dia langsung ke ruangan lain untuk memeriksa. Anak buahnya, yang terbakar oleh tekadnya, mengikuti dengan bersemangat.
Oishi, yang datang setelah mendengar teriakan Hara, tiba di tempat itu dan melihat bahwa Hara telah berhasil mengendalikan keadaan. Dia berharap teriakan itu berarti Kira sudah ditemukan. Tapi ketika tahu ternyata bukan, dia hanya melambaikan tangan ke arah ksatria tua itu tanpa memerhatikan lukanya dan kembali ke bagian kamar tidur.
Sementara itu Chikara, yang ditinggalkan sendirian di lorong, mengumpat dengan tidak sabar. Bagaimana kalau Kira ada di salah satu kamar yang belum diperiksa itu? Bukankah ia akan bangga jika berhasil menemukan Kira lalu membunuhnya atau menangkapnya sendiri. Kabarnya, Kira jago pedang, namun dengan kepercayaan diri, Chikara yakin dia bisa mengalahkannya.
Namun dia harus mematuhi perintah ayahnya dan tetap menunggu seandainya dia tak mendengar suara pintu yang didorong di ujung lorong. Dia langsung berlari ke arah suara namun terlambat untuk melihat Kira yang, karena sepi, berani berlari di lorong lalu menghilang lewat pintu samping. Tapi, ketika berdiri sambil memerhatikan, dia mendengar bunyi pedang dikaitkan dan sadar tak mungkin diam di sana dan menunggu diserang.
Dia berlari ke pintu dari mana suara itu berasal dan membukanya. Ternyata dia tak salah tentang pedang itu, di depannya berdiri seorang pemuda seumur dengannya yang bersenjata lengkap dan siap bertarung.
Pemuda itu adalah Sahyoe, cucu dan penerus Kira, walaupun Chikara belum pernah melihatnya. Beberapa saat mereka saling menatap dengan kaget, lalu Sahyoe menarik pedang. Mereka menyerang di saat bersamaan namun ayunan pedang mereka luput dan tak ada yang terluka. Dengan hati-hati mereka saling mengitari dalam kamar yang kecil, mengayunkan pedang di tempat yang sempit. Tebasan pedang mengenai shoji yang ada di dinding, tepat di seberang pintu, dan Chikara melihat ada lorong di balik pintu itu. Dia sengaja mengayunkan pedang ke arah seluruh dinding dan menghancurkan partisi yang tipis seperti gagang korek api. Kini ruangan menjadi lebih luas hingga mereka dapat mengayunkan pedang dengan berani dan memporak-poranda-kan ruangan itu. Chikara ingin minta bantuan, tapi dia bertekad untuk mengalahkah musuhnya tanpa bantuan orang lain. Lawannya jelas lebih berpengalaman. Sementara perlahan Chikara mulai mundur.
Dalam perjalanan kembali dari dapur, Oishi mendengar denting besi beradu dan berusaha mencari sumber bunyi itu.
Kedengarannya berasal dari taman dan dia meninggalkan anak buahnya lalu berjalan ke arah itu. Bunyi yang menarik perhatiannya itu seperti datang dari balik pintu kayu tepat di seberang tempatnya berdiri.
Dia kaget ketika melihat dua sosok jatuh dengan keras menghantam pintu lalu jatuh ke taman, saling menindih. Dia baru tahu kalau orang yang tergeletak di bawah adalah Chikara saat lawannya bangkit berdiri dan hendak menusuk.
"Chikara!" teriak Oishi hingga perhatian musuh anaknya itu terpecah. Dalam waktu singkat Chikara berguling ke samping, dan menebas dengan mem-babi-buta. Dia berhasil menghantam kaki orang itu yang langsung jatuh seperti pohon tumbang. Chikara segera berdiri dan hendak menghujamkan pedang ke orang yang mengerang di tanah ketika Oishi menghentikannya.
"Tunggu!" katanya, sambil berlari mendekat. "Dia tidak berbahaya lagi."
Oishi menendang pedang Sahyoejauh dari jangkauan, mengenali lambang Klan Uesugi yang ada di sana. Dia menunjuk ke lambang itu dan Chikara mengangguk. Oishi menepuk bahu putranya sebagai ucapan selamat atas pertarungannya yang bagus, lalu mereka kembali ke dalam rumah untuk mencari musuh utama mereka.
Di dalam rumah mereka kembali bergabung dengan kelompok Oishi dan menyelesaikan penyisiran di bagian kamar tidur. Setiap kamar dan lemari telah diperiksa, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Kira. Ketika meninggalkan rumah lewat pintu samping, mereka bertemu Hara dan kelompoknya yang juga tidak memperoleh hasil.
Selama beberapa waktu Oishi dan Hara berdiri dalam kebimbangan. Saat itulah baru Oishi tahu kalau bahu teman lamanya ini terluka. Ketika memerhatikan lebih dekat dan melihat panah yang patah, dia memanggil pemegang obor dan memerintahkan agar Hara dirawat. Hara marah dan berusaha melawan, tapi wajahnya berubah pucat ketika Kataoka berusaha mencabut anak panah itu.
Oishi hampir putus asa. Setelah sekian lama, apakah usaha mereka akan sia-sia? Bagaimana Kira bisa lolos padahal semua pintu masuk sudah dijaga? Dia merasa tekanan yang besar mulai menguasai dirinya ketika, untuk pertama kalinya, dia memikirkan kemungkinan gagal.
Hara juga terbakar oleh perasaan yang sama. Ketika mata panah berhasil dicabut, dia melepaskan kemarahannya dengan teriakan kesakitan dan kesal.
"Kira! Apakah kau tikus yang harus diasapi untuk keluar dari persembunyian? Keluar dan bertarunglah secara jantan!"
Ada keheningan sesaat lalu terdengar teriakan dari gudang kayu yang terletak dekat pintu masuk dapur. Perlahan pintu gudang itu terbuka. Kemudian, dengan mengenakan jubah tidur sambil memegang pedang panjang, Kira keluar dengan hati-hati. Ancaman Hara untuk membakar ternyata berhasil dan Oishi lega dengan rasa kemenangan.
Tapi, setelah menyadari keadaannya, dengan tiba-tiba Kira mengambil sikap menantang dan berteriak ke arah mereka.
"Ayo, maju kalian semua - akan kuhabisi kalian sekaligus! Ada berapa orang? Seratus? Akan kulawan semuanya kalau mereka pengecut terbaik yang dapat kalian tawarkan!"
Entah tantangannya ini karena keberanian atau hanya siasat, tapi itu berhasil menghentikan para samurai Ako. Bahkan Hara tak mampu bicara karena kaget. Kemudian Oishi maju.
"Jangan ada yang mengganggu," kata Oishi. "Pasukanku takkan membunuhmu, Lord Kira - tapi aku."
Dengan teriakan mengerikan, Kira menyerang dengan pedang. Oishi menangkis dan duel hingga tetes darah terakhir pun dimulai. Ketika mereka saling menebas, Oishi sengaja membuat jubah Kira robek di bahu sehingga luka sabetan Lord Asano dua tahun lalu tampak jelas dalam cahaya fajar. Melihat luka itu, orang yang menonton berteriak marah. Luka itu menyulut semangat mereka seperti juga Oishi, maka dia pun bertarung dalam kemarahan. Luka
itu adalah simbol dari apa yang pernah terjadi dan menambahkan arti pada setiap goresan.
Kira bukanlah lawan yang lemah; dia jago pedang sehingga setiap tebasannya harus diperhitungkan. Tapi bertahun-tahun hidup nyaman di istana membuatnya lemah. Sadar kalau tak ada pendukung dan bantuan tak akan datang, dia terus bertarung. Matanya menatap tajam sementara napasnya kian menderu. Ketika menangkis hantaman pedang yang keras, Kira tergelincir dan jatuh. Pedangnya tertancap di tanah. Waktu berusaha menarik pedang, dia sadar kalau akhir hidupnya sudah tiba.
"Asano!" umpatnya. Oishi lalu menebas dengan kedua tangan hingga kepala Kira terpenggal. Teriakan kemenangan meledak dari prajurit Ako dan Oishi tersenyum lemah ke arah mereka yang mengelilinginya.
"Kita berhasil... kita berhasil," gumamnya dan merasa bahwa pengorbanan mereka tak sia-sia. Kemenangan menjadi milik mereka dan takkan bisa diambil dari mereka. Namun untuk menyelesaikan urusan dengan baik, Oishi tahu masih ada yang harus dilakukan dan dia memerintahkan anak buahnya berbaris.
Onodera datang dengan sikap memohon maaf atas lolosnya pelayan Kira, namun kalau dia mengira akan ditegur, dia keliru. Oishi hanya mengangguk dan berterima kasih karena telah menjaga gerbang dari orang luar.
Kepala Kira lalu dibungkus dengan potongan jubahnya dan diikat ke ujung tombak Mimura, setelah itu diangkatnya tinggi-tinggi sementara kelompok itu berbaris keluar. Semua anggota lengkap; tak ada yang terbunuh, walau ada enam orang yang terluka, termasuk Hara. Mereka berjalan dengan perlahan agar tidak menyulitkan yang terluka.
Setelah Kira ditaklukkan, beberapa orang ingin bersantai dan bercanda, tapi Oishi memikirkan pasukan Uesugi dan memerintahkan mereka tetap siaga.
"Bila kau sudah meraih kemenangan, kencangkan ikatan pelindung kepalamu," katanya. "Kita telah menyelesaikan pertarungan kecil, tapi mungkin kita masih akan menghadapi pertempuran lain."
Salju mulai turun pagi itu ketika mereka mulai berbaris menyeberangi kota menuju Sengaku-ji. Di bagian ini, sedapat mungkin mereka berjalan melewati jalan belakang dan gang kecil, tidak ingin rencana tindakan terakhir mereka terganggu.
Ketika mencapai pemakaman kecil di Sengaku-ji, para prajurit berkumpul tanpa memakai penutup kepala walau hujan salju masih turun. Kepala Kira dibersihkan dan dipersembahkan di atas makam Lord Asano. Dupa dibakar dan Oishi meletakkan pedang di makam itu, mengarah pada kepala Kira dan mohon agar pimpinannya melakukan apa yang diinginkannya. Setelah itu dia berlutut dan membungkuk. Anak buahnya mengikuti dengan gerakan yang sama ke arah makam sambil mengucapkan janji setia. Oishi merasakan ketenangan yang aneh dalam dirinya. Dia mengartikan itu sebagai tanda bahwa jiwa Lord Asano telah puas dan dapat meninggalkan bumi dengan tenang. Setelah keadilan berhasil dilaksanakan, arwahnya dapat bergabung dengan para leluhurnya.
Mereka lalu menunduk sebagai salam perpisahan terakhir dan mengundurkan diri ke kuil. Kepala biara terbangun dengan ketakutan karena dikelilingi orang bersenjata. Ketika Oishi memberitahukan apa yang telah mereka lakukan, dia mengutus dua pendeta meletakkan kepala Kira dalam kotak untuk dikembalikan ke rumahnya. Oishi menegaskan bahwa mereka tidak meminta tempat berlindung; mereka hanya akan menunggu di sana hingga Shogun memutuskan atas kejadian itu. Dia menulis laporan tentang seluruh kejadian, termasuk mencantumkan nama mereka. Dia mengutus Yoshida membawa surat itu. Tinggal satu hal lagi yang harus dilakukan sebelum mereka ditangkap. Oishi menulis pesan pada janda Lord Asano tentang keberhasilan mereka dan meminta Yoshida menyampaikan pesan itu dalam perjalanan ke istana. Semua laporan telah selesai dan dia senang akan diadili.*

DUA PULUH

Yoshida mengabarkan pada Lord Sengoku, kepala prajurit Shogun, bahwa mereka telah membalaskan dendam Lord Asano. Lord Sengoku langsung berpakaian untuk datang ke kediaman Kira lalu dengan tergesa-gesa dan wajah pucat, segera menuju istana Shogun. Yoshida diizinkan kembali ke Sengaku-ji. Yoshida juga melaporkan bahwa dewan pemerintahan Shogun mengadakan pertemuan mendadak. Dia juga menyampaikan bahwa meskipun Lord Sengoku kaget dengan kematian Kira, namun sikapnya tetap baik dan bahkan tampak kagum pada Yoshida, sebagai orang yang ikut dalam peristiwa yang berani itu.
Hari sudah siang ketika Yoshida kembali, namun mereka harus menunggu lebih lama lagi sampai ada keputusan resmi. Setelah hari gelap, seorang utusan datang dengan membawa pesan bahwa mereka akan dibawa ke kediaman Lord Sengoku sampai ada ke-putusan. Tak lama setelah itu, Lord Sengoku tiba dengan tujuh ratus pasukan.
Oishi dan anak buahnya diminta berkumpul. Mereka tidak diperlakukan sebagai tawanan ketika berbaris. Dengan bangga mereka berjalan keluar dari Sengaku-ji, dalam dua baris - Oishi dan Chikara di barisan depan. Keenam orang yang luka ditandu oleh rekan-rekannya. Orang-orang berkumpul dari berbagai tempat dan memagari jalan dengan rasa hormat.
Di kediaman Lord Sengoku, kelompok itu diterima dan dijamu dengan makan malam yang mewah. Saat itu sudah larut malam dan ini adalah makanan pertama kali mereka sepanjang hari itu. Mereka disediakan kamar tidur yang nyaman, Oishi menyampaikan rasa terima kasihnya pada 'tuan rumah' atas perlakuan yang begitu baik, dan jenderal itu mengatakan bahwa mereka layak menerimanya.
Di kastil Uesugi, keadaan tenang. Ketika dipanggil menghadap Lord Uesugi yang sudah tua, Chisaka memberi alasan untuk kesepuluh kalinya mengapa dia tidak mengirim pasukan untuk membantu Kira.
"Pelayan itu melaporkan bahwa jumlah musuh paling sedikit seratus orang - sebagian besar pengawal telah terbunuh. Hamba bermaksud melindungi nama baik Anda..."
Lord Uesugi mengatupkan kedua tangannya agar tidak terlalu gemetar.
"Tapi kenapa kau tak beritahu? Dalam keadaan yang penting seperti itu, kenapa kau mengambil keputusan sendiri?"
"Hamba tak ingin mengganggu Tuanku,"jawab Chisaka sambil tertegun.
Lord Uesugi terus melihat ke arahnya dengan tatapan licik. Dia tahu sekarang, sesudah terlambat, bahwa dia memberi tanggung jawab yang terlalu besar pada orang yang ambisius ini. Dia menyalahkan diri karena kelambanannya, tapi sudah terlambat untuk melakukan perubahan. Kerusakan sudah terjadi.
Chisaka menambahkan. "Hamba berpikir bahwa jika hamba mengirim pasukan, mereka akan menemukan Kira sudah mati dan kalau sebagian cerita pelayan itu bisa dipercaya, pasti banyak dari prajurit kita yang akan terbunuh."
Lord Uesugi tak menanggapi seisin menarik napas, sehingga Chisaka pun melanjutkan.
"Hamba rasa Tuanku juga akan sependapat kalau hanya sedikit orang yang berduka atas kematian Lord Kira. Dia punya banyak musuh selama masa jabatannya..."
Chisaka hendak meneruskan namun disela oleh kedatangan pelayan yang membawa pesan untuk Lord Uesugi. Chisaka merasa terganggu melihat wajah pemimpinnya yang pucat menjadi makin pucat ketika membaca pesan itu. Kemudian dia meminta pelayan membawa tamunya masuk.
"Utusan dari dewan Shogun," katanya dengan gelisah.
Chisaka berdiri ketika utusan itu memasuki ruangan dan membuka gulungan surat resmi. Satu pertanda bahaya menyelimuti
Chisaka, namun dia menggelengkan kepala dan menyandarkan tubuhnya ke depan seolah tak ingin kehilangan satu kata pun.
"Menyangkut pembunuhan mantan Pembawa Acara Shogun," utusan itu membaca dengan nada datar, "keputusan berikut ini dibuat berdasarkan undang-undang Shogun."
"Pertama, cucu Lord Kira, Sahyoe, yang gagal dalam pertarungan hingga tetes darah terakhir demi melindungi keluarganya, diperintahkan untuk pergi begitu kesehatannya memungkinkan."
"Kedua, setiap pembantu Lord Kira yang diketahui melarikan diri tanpa melakukan perlawanan akan dipenggal bila mereka setingkat samurai, dan akan dibuang dan tanpa pemimpin bila mereka berasal dari tingkat yang lebih rendah."
"Ketiga, Lord Uesugi," dan di sini utusan ini berhenti sejenak, "Lord Uesugi, karena tidak menengahi peristiwa itu atas hubungan saudara angkat, seluruh wilayahnya disita untuk selamanya."
Utusan itu masih terus membaca keputusan resmi itu tapi tak ada yang mendengarkan. Lord Uesugi roboh dan meninggal, sementara Chisaka juga kembali terduduk, mendengar bunyi di telinganya bahwa dia tahu kiamat sudah datang.
Pagi berikutnya para samurai Ako dibagi menjadi empat kelompok dan diberangkatkan di kediaman Lord Hosokawa, Hisamatsu, Mori dan Mizuno. Mereka akan tinggal di sana sampai hukuman ditentukan dan dilaksanakan. Meskipun lebih suka tinggal bersama teman-temannya, Oishi merasa berkewajiban untuk menugaskan Hara, Kataoka, dan Horibe sebagai pemimpin dalam ketiga kelompok lain. Dia yakin akan kemampuan mereka dalam mengatasi keadaan dan tahu bahwa mereka bisa diandalkan untuk menjadi panutan. Dia menyalami mereka satu demi satu ketika berangkat, sadar bahwa kemungkinan besar mereka takkan bertemu lagi. Hara dan Kataoka adalah yang terakhir, dan tenggorokan Oishi tercekat ketika mengucapkan selamat tinggal. Hara tampak serius, namun Kataoka memaksakan diri tersenyum. "Kita akan bertemu lagi," katanya, "Jika bukan di dunia ini, di dunia lain."
Kemudian mereka pergi dan masa penantian pun dimulai. Hari berlalu dengan lambat disertai desas-desus tentang berat atau ringannya hukuman, namun Oishi tak tertarik mengikuti rumor itu. Dia senang telah berhasil melaksanakan tugas, dan kini dia siap mati kapan saja.
Suatu siang di musim dingin, Oishi dikunjungi Araki yang bertubuh tinggi dan tampak terhormat, yang membawa petisi menuntut pemulihan kastil untuk dewan kota Shogun. Araki ingin melaporkan bahwa secara keseluruhan, pihak yang berwenang berpendapat bahwa Oishi dan anak buahnya bersalah. Dari Araki, Oishi juga tahu tentang nasib Sahyoe, Lord Uesugi dan Chisaka.
Oishi mengucapkan terima kasih pada Araki atas berita itu, meskipun dia merasa bahwa keputusan itu takkan berdampak apa pun pada kasusnya. Shogun hanya menunjukkan sikap netral dalam menerapkan hukum. Oishi dan anak buahnya telah melanggar aturan dan akan menanggung akibatnya.
Araki juga memberitahukan bahwa ada simpati dari masyarakat bagi para samurai Ako dan pastilah itu alasannya hukuman ditunda. Bahkan Shogun mengambil langkah yang belum pernah dilakukan dengan melakukan pemungutan suara di antara para daimyo dan juga berkonsultasi dengan orang yang ahli agar yakin telah melakukan hal yang benar. Sebagai orang yang dengan sengaja melanggar peraturan yang melarang tindakan balas dendam, jelas sekali mereka layak dijatuhi hukuman mati. Namun tampaknya mereka takkan dihukum sebagai penjahat biasa karena mereka telah menyerahkan diri dengan damai di kastil Ano, dan bahwa mereka juga tidak menunjukkan kebencian pada Shogun.
"Jadi bagaimana keadaannya?" tanya Oishi seolah tertarik. "Apakah kami akan dihukum mati atau diasingkan atau dipenjara dengan siksaan? Aku tak melihat alasan hukumannya bisa lebih ringan."
"Masih ada satu harapan," kata Araki dengan sungguh-sungguh. "Kini Shogun sedang berunding dengan Kepala Biara Ueno, otoritas
Budha tertinggi di Edo. Kelihatannya Tsunayoshi ingin agar orang itu menjadi penengah."
Oishi menghembuskan napas panjang. "Aku tak mengira kalau kami begitu penting."
"Seluruh negeri membicarakan kalian," kata Araki, karena Oishi tak menyadari ketenarannya. "Mereka bahkan membawakan sandiwara tentang Anda dan anak buah Anda di berbagai teater di Osaka dan Kyoto."
"Kabuki?" tanya Oishi, marah karena tindakan mereka ditiru oleh pemain-pemain biasa.
"Kenapa?" tanya Araki. "Di mana lagi tradisi agung kita bisa dipertahankan sebagai contoh bagi semua orang?"
"Termasuk petani..." gumam Oishi.
"Termasuk petani," Araki setuju. "Kita tahu mereka tak mampu menjaga disiplin diri samurai yang abadi. Salahkah untuk memperlihatkan teladan itu dan untuk mencoba menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri?"
"Tidak, kurasa tidak," Oishi mengakui, lalu dia tersenyum.
Pembicaraan Tsunayoshi dengan Kepala Biara Ueno berlangsung tidak lama dan tidak banyak hasil. Shogun, orang yang memegang teguh etika, pelindung anjing, dan pengagum anak muda, merasa berat menghukum mati orang-orang pemberani karena bertindak sesuai hukum feodal.
"Ada undang-undang yang melarang balas dendam," pendeta berambut putih itu dengan lembut mengingatkan. "Coba pikirkan akibatnya jika kita membebaskan pelanggar undang-undang itu."
"Aku tak bermaksud membebaskan," kata Tsunayoshi dengan gelisah. "Namun sebagai pemimpin spiritual, mungkin Anda dapat mengusulkan keringanan..."
"Tapi aku tidak bisa," kata Kepala Biara. "Aku juga terikat pada aturan, sama seperti Anda. Tak ada yang dapat kita lakukan."
Tsunayoshi terdiam beberapa saat, kemudian dia menunduk dan pergi. Kini, tak ada yang dapat dilakukan kecuali membuat perubahan kecil dalam undang-undang. Hal ini masih dalam wewenangnya dan akan lebih memenuhi rasa keadilannya.
Di awal bulan Februari, daimyo yang mengawasi Oishi dan anak buahnya diberitahu bahwa keputusan telah ditetapkan dan akan datang orang yang menyampaikan keputusan itu. Lord Sengoku segera memberitahu Oishi bahwa bahkan Kepala Biara Ueno merasa tak mampu melakukan hal lain selain membiarkan hukum dilaksanakan: mereka dijatuhi hukuman mati.
Oishi mengangguk. Ini sudah dia duga. Tapi dia kaget ketika Lord Sengoku memberitahukan cara hukuman mati akan dilaksanakan. Walaupun tidak punya pemimpin sehingga tidak berhak diperlakukan seperti itu, mereka diizinkan bunuh diri dalam upacara agung seppuku. Oishi hampir tak percaya apa yang didengarnya dan dia menjatuhkan diri lalu membungkuk dengan ucapan terima kasih pada Lord Sengoku. Kemudian dia bergegas memberitahukan kabar baik ini pada anak buahnya.
Di hari yang ditentukan, petugas pemeriksa tiba dan para ronin dipanggil satu demi satu ke panggung di luar tempat penerimaan mereka masing-masing. Oishi yang pertama, diikuti Chikara, lalu anggota yang lain berdasarkan pangkat. Oishi mengucapkan salam perpisahan dan berjabat tangan dengan senyum bangga. Dia berbicara lama kepada Chikara, tapi dengan sikap yang sama seperti pada yang lain. Kemudian dia melangkah ke luar.
Pagi itu musim dingin yang cerah, hampir sama dengan hari ketika Lord Asano meninggal. Oishi mengenang majikannya saat dia berjalan perlahan dan dengan bangga untuk mengambil tempat di panggung di depan pedang upacara. Dia juga mengingat air mata istrinya, tawa Okaru, keberanian putranya dan kesetiaan tanpa batas anak buahnya: Hara, Kataoka, Mimura, Yoshida, Onodera dan yang lainnya. Kemudian dia teringat pada dirinya sendiri. Ada satu hal lagi dan dia akan melakukan semua yang harus dilakukannya. Di saat dia menempatkan pedang itu untuk tusukan terakhir, dia
berterima kasih kepada para dewa atas kesempatan yang dia peroleh untuk membuktikan diri sebagai samurai.
Pada akhirnya, hanya nama yang akan hidup untuk selamanya.
Para samurai Ako dengan berani menentang undang-undang Shogun. Mereka rela mati demi pemimpinnya, untuk menunjukkan pengabdian pada apa yang mereka anggap sikap moral tertinggi.
Keempat puluh tujuh ronin dimakamkan di kuil Sengaku dan berdekatan dengan makam pemimpin mereka. Lady Asano juga dimakamkan di sini, berhadapan dengan makam para pengikut yang setia. Kita juga dapat melihat sumur tempat kepala Kira dicuci dan di dekatnya ada museum yang berisi benda dari alat dan senjata yang memang digunakan para samurai Ako.*
---ooo0dw-kz0ooo---

Karya : John Allyn
Pdf ebook by : Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
Among flowers, the cherry blossom; Among men, the samurai
Pepatah Jepang
Cetakan pertama: Maret 2007

0 komentar:

Posting Komentar

 

1001 cerita dunia Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice