Sabtu, 02 April 2011

BAGI YANG SUKA KUCING,NI DIA. .WELEW. . .IMUTNYA. . .


Dia adalah salah satu kucing favorit saya.. Karena tingkah dan lagunya yang lucu.










Continue reading...

Selasa, 29 Maret 2011

KEUNIKAN ORANG ASIA

















Continue reading...

Selasa, 22 Februari 2011

BEDA ANTARA CINTA DAN SUKA




Dihadapan orang yang
kau cintai, jantungmu
tiba-tiba berdebar lebih
cepat dihadapan orang
yang kau sukai Apabila
engkau melihat kepada
mata orang yang kau
cintai, matamu berkaca
kaca Apabila engkau
melihat kepada mata
orang yang kau sukai,
engkau hanya tersenyum
saja

Dihadapan orang
yang kau cintai, kata kata
yang keluar berasal dari
perasaan yang terdalam
Dihadapan orang yang
kau sukai, kata kata
hanya keluar dari pikiran
saja Jika orang yang kau
cintai menangis,
engkaupun akan ikut
menangis disisinya Jika
orang yang kau sukai
menangis, engkau hanya
menghibur saja Perasaan
cinta itu dimulai dari
mata, sedangkan rasa
suka dimulai dari telinga
Jadi jika kau mau berhenti
menyukai seseorang,
cukup dengan menutup
telinga Tapi apabila kau
mencoba menutup
matamu dari orang yang
kau cintai, Cinta itu
berubah menjadi tetesan
air mata dan terus tinggal
dihatimu dalam jarak
waktu yang cukup lama
Tetapi selain rasa suka
dan rasa cinta... ada
perasaan yang lebih
mendalam.
Yaitu rasa sayang…. rasa
yang tidak hilang secepat
rasa cinta. Rasa yang tidak
mudah berubah. Perasaan
yang dapat membuatmu
berkorban untuk orang
yang kamu sayangi. Mau
menderita demi
kebahagiaan orang yang
kamu sayangi.
Continue reading...

Rabu, 02 Februari 2011

KISAH 47 RONIN


Judul asli: THE 47 RONIN STORY by John Allyn
PENDAHULUAN


Di awal abad ke-18, Jepang dilanda kekacauan. Pada masa itu, istana Shogun yang berada di Edo (sekarang Tokyo), marak dengan pameran kemewahan, korupsi, serta pesta-pora di kota tua Kyoto. Sama sekali jauh dari aturan sosial. Kesenian makin berkembang; teater populer mulai lahir. Dengan makin berkuasanya kias pedagang, masa itu juga merupakan awal dari berakhirnya pengaruh prajurit bayaran, atau samurai. Hilangnya pengaruh ini sangat mereka rasakan, terutama karena para samurai sangat membenci segala bentuk usaha yang bertujuan mencari keuntungan.
Di tengah perubahan yang membingungkan itu, kekacauan sering muncul. Kekacauan utama terjadi akibat petani dikenakan pajak di luar batas kemampuan mereka oleh Shogun, penguasa di seluruh Jepang. Samurai jarang sekali menimbulkan kekerasan, suatu sikap yang merupakan bentuk penghormatan atas tingginya latihan serta disiplin mereka.
Namun balikan seorang samurai pun memiliki batas kesabaran. Khususnya bagi seorang daimyo muda yang terpaksa harus berurusan dengan tradisi istana yang sama sekali tak bermanfaat.
Peristiwanya terjadi di Edo tahun 1701. Dalam keadaan marah dan kecewa,

Lord Asano dari Ako menyerang seorang pejabat istana yang korup sehingga memicu serangkaian peristiwa yang berakhir dengan balas dendam paling berdarah dalam sejarah kekaisaran Jepang. Rangkaian peristiwa ini mengejutkan seluruh negeri sehingga Shogun pun menghadapi kebuntuan hukum dan moral. Ketika semuanya berakhir, Jepang memiliki pahlawan baru - yaitu empat puluh tujuh ronin (mantan samurai) dari Ako.
Fakta sejarah atas tindakan mereka sangat jelas; tapi keterangan rinci tentang peristiwa itu sangat kabur. Berbagai versi telah dikisahkan dalam bentuk lagu, cerita, drama dan film.
Buku ini dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah catatan tentang apa yang mungkin terjadi di masa itu, ketika Jepang
dikucilkan oleh dunia dan tradisi lama masih mengatur kehidupan manusia.*

SATU


13 Maret, 1701.
Matahari yang mulai tenggelam membuat perairan di sekeliling kepulauan Jepang memerah. Di barat daya, di jalan dekat Laut Pedalaman, seorang laki-laki tinggi menunggang kuda yang tidak terawat. Dia melindungi mata dari sinar matahari sambil berkuda melewati hutan pinus.
Namanya Oishi Kuranosuke Yoshitaka; kepala samurai Klan Asano. Dia dalam perjalanan kembali ke kastil di Ako setelah berkeliling kota bersama putri majikannya yang menunggang kuda poni di sebelahnya. Surai kuda poni itu dibiarkan panjang tanpa dipotong.
Mereka merupakan pasangan yang aneh. Oishi adalah laki-laki tampan berumur empat puluhan dengan dahi menonjol, rahang persegi, dan sikap yang tenang berwibawa. Rambut, sarung hakama serta dua bilah pedang menunjukkan bahwa dia samurai, kias ksatria. Sedangkan anak itu mungil dan periang, bercahaya laksana kupu-kupu dalam balutan kimono dan obi. Keduanya tampak nyaman. Si gadis merasa terbebas dari disiplin ketat yang diterapkan orangtuanya; sedangkan Oishi merasa bebas bersama anak kecil, terutama anak orang lain, untuk melepas sikap resmi dan bahkan sedikit bercanda.
Sekarang, dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara seperti sebelumnya. Oishi terkejut dengan apa yang dilihatnya di kota.
Seumur hidupnya Oishi selalu menentang kekerasan sesuai ajaran Budha, meskipun kadang dia terpaksa membunuh untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, atau membunuh hewan untuk mendapat makan. Secara pribadi, dia menyesalkan kekejaman yang terjadi dalam pertandingan memanah anjing dan
dia tidak keberatan bila olahraga semacam itu dilarang. Akan tetapi, Undang-Undang Pelestarian Hidup yang dikeluarkan Shogun ternyata sangat merugikan. Sekarang ini binatang lebih beruntung dibanding manusia, dan ini membuat negeri berada di tepi jurang kekacauan ekonomi.
Di kota, Oishi melihat petani yang dulu sangat berhasil kini mengemis mencari kerja karena dilarang membunuh hama yang merusak tanaman. Serigala, musang, burung dan serangga berkeliaran dengan bebas di ladang, sementara petani hanya dapat melihat tanpa dapat berbuat apa-apa.
Oishi tahu bahwa unggas diperdagangkan secara diam-diam di ruang belakang beberapa toko terkenal, namun pelanggaran atas undang-undang ini hanya sedikit. Bukan saja karena perangkat administratif pemerintahan Shogun sangat berhasil dalam menangkap para pelanggar hukum, tapi juga karena denda bagi mereka yang melukai makhluk hidup sangat besar. Dan bila membunuh binatang, "pelaku kejahatan" itu akan dihukum mati.
Ada golongan lain yang senasib dengan petani. Para pemburu, pemasang jerat, dan penyamak kulit juga beramai-ramai memenuhi kota untuk mencari nafkah. Dan yang membuat mereka tidak berdaya adalah lapangan kerja yang tersedia sangat sedikit sementara harga makanan tak terjangkau oleh rakyat biasa karena hasil panen tidak mencukupi. Satu-satunya yang bisa diperoleh dengan murah adalah gadis untuk menemani tidur karena makin banyak petani yang menjual anak gadis mereka ke rumah pelacuran.
Oishi sering menyusuri pusat-pusat hiburan itu ketika menemani putri Lord Asano berkeliling kota, tapi kini rumah pelacuran telah menyebar hingga ke jalan utama.
Sebenarnya, golongannya kurang merasakan kesulitan ekonomi ini, tapi dampak dari keputusan Shogun memengaruhi mereka dalam bentuk lain.
Kini tak ada lagi latihan atau pertandingan memanah karena mereka tak boleh mencabuti bulu angsa untuk panah. Juga tak ada
lagi lomba burung elang karena semua burung harus dilepas bebas. Bahkan Burung Elang Utama milik Shogun pun dilepas. Lomba ketangkasan berkuda menjadi seni yang hilang karena kuku kuda tidak boleh dipotong dan surainya tidak boleh dipangkas. Dan, menurut Oishi, yang paling parah dari semua itu adalah menurunnya nilai-nilai moral yang menyebar mulai dari ibukota Shogun hingga ke propinsi.
Dia mendengar berbagai laporan bahwa tari-tarian dan sandiwara yang membanjiri ibukota Shogun Tokugawa Tsunayoshi mulai memengaruhi samurai di kota ini. Dia bahkan mendengar desas-desus bahwa ada samurai yang datang ke teater kabuki di Kyoto, kota hiburan sekaligus kota kuil, meskipun dia tidak memercayai berita ini.
Sebenarnya hal itu sudah berlangsung beberapa lama, tapi Oishi belum menyadari betapa hal-hal buruk telah merambah sampai ke kota ini. Saat memikirkan laporan yang akan disampaikan pada Lord Asano, dia menoleh ke gadis kecil yang berkuda di sampingnya. Gadis itu tersenyum kepadanya tapi kemudian terlihat lebih serius. Sang anak juga telah memerhatikan perubahan yang terjadi di daerah.
"Paman," tanyanya "mengapa pertanian ini tidak dirawat? Apakah tidak sebaiknya Paman laporkan pada ayah karena para petani tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya?"
Oishi tertawa perlahan. Belum sempat dia menjawab, gadis cilik itu melanjutkan, "Mungkin sebaiknya kita jangan menyalahkan para petani sebelum mendengar penjelasan mereka. Tapi apa alasan mereka menelantarkan ladang seperti itu?"
"Mereka terpaksa, gadis kecil, karena berdasarkan Undang-Undang Pelestarian Hidup, mereka dilarang membunuh binatang yang merusak ladang."
"Kenapa ada larangan membunuh binatang -terutama yang benar-benar mengganggu?"
"Karena Shogun sudah melarang membunuh binatang. Dan, karena kami setia pada ayahmu sehingga kami tak berpikir untuk mempermalukan beliau dengan melanggar perintah pemimpin-nya, yaitu Shogun."
"Tapi kenapa dia membuat undang-undang yang keras itu?"
Oishi menghela napas panjang. Walaupun menyakitkan, dia bisa memahami alasan Tsunayoshi memberlakukan undang-undang itu.
"Karena dia sangat ingin punya anak. Anak manis sepertimu. Kau tahu, dia pernah kehilangan seorang anak - putranya yang berusia empat tahun meninggal dunia. Dan pendetanya mengatakan bahwa untuk bisa punya putra lagi, dia harus bertobat - mungkin dia pernah menghilangkan nyawa beberapa makhluk hidup. Kau sudah tahu kalau kita tidak lagi menggunakan anjing dalam pertandingan - itu karena Shogun dilahirkan pada Tahun Anjing, Sekarang, membunuh anjing akan dihukum mati."
"Walaupun saat kita diserang?"
Oishi diam beberapa saat. "Dalam hal itu, membunuh anjing mungkin dapat dibenarkan - tapi akan lebih baik bila ada saksi bahwa anjing itu yang menyerang lebih dulu."
Oishi tersenyum. Si gadis membalas senyumnya, meskipun tidak yakin apakah Oishi bergurau atau tidak. Dia memutuskan untuk menaijyakan hal ini bila ayahnya sudah kembali dari Edo.
Sambil berteriak, dia menghentakkan kaki ke panggul kuda yang segera berlari kencang. "Aku akan mendahului Paman sampai di rumah," teriaknya yang sudah sepuluh langkah di depan Oishi. Rambut panjangnya yang tergerai melambai-lambai.
Oishi berteriak dahsyat laksana seorang ksatria yang hendak menyerang lalu berpacu mengejar gadis itu. Dia tetap mempertahankan jarak, dan bersama-sama mereka melewati jalan berliku menuju bukit terakhir. Dari puncak bukit mereka dapat melihat kastil yang jauh di bawah, di tengah dataran yang luas. Letak kastil begitu strategis hingga penyerang takkan dapat mendekat tanpa diketahui. Pemandangan itu selalu tampak luar
biasa, dengan tembok yang tinggi serta menara yang beratap putih. Namun kali ini mereka tidak berhenti untuk mengagumi keindahan tersebut.
Matahari yang terbenam memantulkan bayangan panjang saat mereka berlomba menuruni bukit menuju kastil. Terlintas di benak Oishi bahwa bila matahari yang sama terbit kembali esok pagi, maka itu akan menjadi awal dari hari terakhir Lord Asano di Edo. la berharap seluruh upacara akan berjalan lancar di ibukota Shogun. Ketika si gadis memasuki gerbang, dan Oishi mengikuti dari belakang untuk menerima penghormatan dari penjaga, pikiran itu datang lagi; besok akan menjadi hari terakhir Lord Asano di Edo.*

DUA

Fajar yang dingin tiba menyelimuti Edo, ibukota Jepang kuno. Hari itu akan menjadi hari yang suram tanpa matahari. Angin dingin yang bertiup dari puncak gunung yang bersalju menghentak atap rumah di daerah pinggiran kota, menghembuskan debu di sepanjang jalan pos dari barat daya lalu memasuki kota.
Dalam perjalanannya, angin membawa serta bau kotoran manusia dari daerah persawahan, bau batu bara dari dapur, serta bau garam dari perairan asin di Lembah Edo.
Angin kehilangan kekuatannya di dataran rendah saat melewati lorong-lorong sempit yang berkelok-kelok di antara bangunan-bangunan kayu yang merupakan tempat tinggal dan tempat usaha bagi sekitar tujuh ratus ribu pedagang dan seniman. Di atas atap bangunan, angin terus bertiup keras ke dataran tinggi di tengah kota, menukik menyeberangi saluran air yang terbuat dari susunan batu lalu melewati menara-menara pengawas dan istana-istana di Kastil Edo tempat Shogun Tsunayoshi, pemimpin tertinggi.
Angin berhembus begitu kencang hingga menimbulkan bunyi keras. Menyapu pemakaman dan lapangan tempat pelaksanaan hukuman mati. Deru angin membuat seekor anjing kampung menyalak lalu diikuti anjing lain. Deru angin kian kencang dan
menakutkan ketika berhembus melewati gubuk para pengemis dan istana-istana bangsawan, memekakkan telinga baik orang miskin maupun kaya....
Lord Asano bersama Oishi sedang berkuda di padang rumput yang berkabut. Mereka melompati bangkai seekor babi hutan yang selalu mengancam para petani. Ketika mereka masuk ke kabut yang tebal, suara yang menakutkan membuat kuda Lord Asano gelisah. Oishi berhenti di belakangnya, tapi dengan tidak sabar Lord Asano semakin memacu kuda dan menghilang dari pandangan.
"Tuanku Asano!" teriak Oishi dengan rasa kuatir, "kembalilah, kembali!"
Continue reading...

NOVEL MUSASHI I


TANAH


Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya.
“Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur.”
Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba
mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah
merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya-tanya.
Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tangan untuk
mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian
tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,” pikirnya sambil menggerak-gerakkan
jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu sadar bahwa dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di
dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara tengah malam dan
fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat tengah hari, tanggal lima belas bulan
sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayatmayat
itu, termasuk wajah Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup
mulutnya seperti ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. “Seperti air yang dipakai mengusap bibir orang
sekarat,” kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah hilang rasa, sedangkan
pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas.
Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu, ternyata diam-diam
telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan Ishida Mitsunari pada senja hari,
jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang tentara panglima-panglima yang lain – Ukita,
Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari
pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa
Ieyasu, daimyo Edo yang perkasa.
Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan matanya.
“Aku akan mati,” pikirnya tanpa rona sedih. “Jadi, beginikah rasanya?” Dan ia pun merasa tertarik ke arah
Ebook by Kang Zusi
kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala api.
Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, “Takezo!”
Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh ke arah
suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan, ia mengangkat tubuhnya sedikit
dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan.
“Matahachi, kaukah itu?” Lalu ia rebah, terbaring diam, mendengarkan.
“Takezo! Betul-betul kau masih hidup?”
“Ya, hidup!” serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. “Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati juga. Jangan
berani-berani!” Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain di bibirnya.
“Mana bisa aku mati! O, tidak!” Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan dengan susah
payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak. Ditangkapnya tangan Takezo, tapi
yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak
kanak-kanak mereka sering mematrikan janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian
menggenggam tangan sahabatnya itu seluruhnya.
“Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!”
“Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri.”
“Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!”
Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, “Pura-pura mati! Celaka lagi!”
Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin pusaran
sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam jelaga meluncur
langsung menuju mereka berdua.
“Bajingan! Mereka kembali!” kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah bersiap melompat.
Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir mematahkannya, serta
merenggutnya ke bumi.
Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus kaki kuda
yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan para samurai yang
sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan dengan zirah serta senjata
berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga mereka tidak
terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit. Kuda-kuda itu begitu dekat dengan
mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya. Kemudian semuanya berlalu.
Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya keduanya tinggal
diam tak percaya.
“Selamat lagi!” kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum bumi, pelanpelan
Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit bergetar. “Ada yang berpihak
pada kita, itu pasti,” katanya parau.
Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi medan
pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan berangkulan. Di sana
mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka mencari-cari makanan. Dua hari mereka
hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di
Gunung Ibuki. Makanan itulah yang membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan
usus Matahachi tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat
menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit.
Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam sesudahnya, bulan
yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang tak berawan.
Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang. Bayangan
mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat oleh patroli yang sedang
mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk mengambil resiko itu datang dari Takezo. Melihat
keadaan Matahachi yang begitu jelek – katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan –
agaknya memang tidak banyak pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka
harus menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun
berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
“Bisa kau bertahan?” Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu ke bahunya
sendiri, untuk membantunya berjalan. “Kau baik-baik saja, kan?” Napas berat temannya itulah yang
mengkhawatirkannya. “Mau beristirahat?”
“Aku baik-baik saja.” Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di
atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat pun hampir tidak dapat
melangkahkan kaki.
Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, “Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang melambatkan
jalan kita. Betul-betul aku minta maaf.”
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, “Lupakan itu.” Tapi akhirnya, ketika mereka
sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temannya dan cetusnya, “Coba dengar, akulah
yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang menjerumuskanmu ke sini, ingat tidak? Kau ingat,
Ebook by Kang Zusi
bagaimana aku menyampaikan rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang
bakal betul-betul mengesankan ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai
meninggalnya, Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya!
Ha!”
Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo mendengar
bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa kesempatan yang hanya sekali
seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang samurai. Apakah tidak sewajarnya kalau ia pun
menjadi samurai? Ingin sekali ia memasuki kancah keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk
membikin berita tersebar seperti api kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia
sangat ingin membuktikan dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati – bukan hanya
sebagai perisau dusun.
Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. “Aku tahu. Aku tahu.
Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau.”
Takezo melanjutkan, “Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama melakukan
semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak mengatakan pada semua
orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara perempuanku, dan semua orang
menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun. Ya, barangkali mereka benar
juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan kalau kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama
keluarga. Tapi peduli apa? Apa begitu mestinya hidup?”
Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak ada lagi
penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika sampai di
perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka langsung diberitahu bahwa
mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan tidak dalam beberapa minggu, tak peduli
siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderal-jenderal lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang
orang udik, tidak banyak lebihnya dari anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling
banyak yang dapat mereka peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung
jawab mereka, kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi, dan alatalat
rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan, dan sesekali bertugas
sebagai pandu.
“Samurai, ha!” kata Takezo. “Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai musuh saja
tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat. Sekarang apa yang mau kita lakukan?
Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian. Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi
ibumu dan Otsu?”
“Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun ada yang mesti
disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu. Betul-betul aku ingin
menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!”
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan miskantus yang
serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada rumah. Tak ada cahaya.
Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu mayat itu tergeletak
dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil. Lainnya lagi tersangkut dengan anehnya
pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti
sisik ikan. Di sekitar semua itu, yang terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang
sepi.
Aliran air mata membentuk jalur putih menuruni wajah suram Matahachi, dan ia memperdengarkan keluhan
seorang yang sakit parah.
“Takezo, kalau aku mati, maukah kau mengurus Otsu?”
“Apa yang kau omongkan ini?”
“Aku merasa seperti mau mati.”
Takezo membentaknya, “Nah, kalau memang itu yang kau rasakan, barang kali kau memang akan mati.” Ia
jengkel, karena sesungguhnya ia ingin temannya itu lebih kuat, hingga ia sendiri dapat menyandarkan diri
kepadanya sekali-kali, bukan secara fisik, melainkan sebagai pendorong.
“Ayolah Matahachi! Jangan seperti bayi cengeng begitu.”
“Kalau ibuku pasti ada yang mengurus, tapi Otsu, dia sendirian di dunia ini. Selamanya begitu. Kasihan aku
padanya, Takezo. Berjanjilah kau akan mengurusnya, kalau aku tak ada.”
“Kau mesti percaya pada diri sendiri! Tak ada orang mati karena mencret. Cepat atau lambat kita akan
menemukan rumah, dan kalau kita sudah menemukan rumah itu, kutidurkan kau dan akan kudapatkan
obat. Sekarang hentikan rengekan tentang mati itu!”
Lebih jauh sedikit, sampailah mereka di tempat bertumpuknya tubuh-tubuh tanpa nyawa, hingga kelihatan
seolah satu divisi penuh telah disapu habis. Waktu itu sudah hilang perasaan mereka melihat darah kental.
Mata mereka berkaca-kaca menangkap pemandangan itu dengan sikap masa bodoh yang dingin. Mereka
berhenti lagi, beristirahat.
Selagi mereka mengatur napas, terdengar ada yang bergerak di antara mayat-mayat itu. Keduanya undur
ketakutan, dan secara naluriah merundukkan badan dengan mata terbuka lebar dan perasaan
Ebook by Kang Zusi
diwaspadakan.
Sosok tubuh itu membuat gerakan melejit cepat, seperti gerakan seekor kelinci yang terkejut. Dan ketika
mata mereka sudah terpusat ke arahnya, terlihat oleh mereka orang yang entah siapa itu sedang
berjongkok rendah. Semula mereka menduga ia seorang samurai yang tersesat, karena itu mereka
menabahkan diri untuk menghadapi pertemuan yang berbahaya. Tapi alangkah kaget mereka, karena
ternyata prajurit dahsyat itu hanyalah seorang gadis muda. Gadis itu agaknya berumur sekitar tiga belas
atau empat belas tahun, mengenakan kimono dengan lengan digulung. Obi sempit yang membelit
pinggangnya sudah bertambal-tambal di beberapa tempat, namun terbuat dari brokat emas. Di tengah
himpunan mayat itu, ia betul-betul merupakan pemandangan yang ganjil. Ia melayangkan pandang dan
menatap mereka dengan penuh kecurigaan, dengan mata kucing yang licik.
Takezo dan Matahachi heran akan hal yang sama: apa yang menyebabkan gadis itu dating di malam buta
itu?
Sekejap keduanya hanya balas memandang gadis itu. Kemudian Takezo berkata, “Siapa kau?”
Gadis itu mengerdip beberapa kali, berdiri, lalu enyah dari situ.
“Stop!” seru Takezo. “aku cuma mau mengajukan satu pertanyaan padamu. Jangan pergi dulu!”
Tapi gadis itu sudah pergi, seperti kilasan kilat di tengah malam. Dan bunyi giring-giring kecil pun
menghilang ke dalam ngeri kegelapan.
“Apa kemungkinan itu hantu?” renung Takezo keras, sementara ia memandang kosong ke dalam kabut
tipis.
Matahachi menggigil sedikit, tapi memaksakan diri tertawa. “Kalau ada hantu di sini, tentunya hantu
serdadu-serdadu itu, kan?”
“Sayang aku telah membikin takut gadis itu,” kata Takezo. “Tentunya ada dusun di dekat-dekat sini. Dan dia
tentunya bisa memberikan petunjuk pada kita.”
Mereka berjalan terus, mendaki bukit pertama dari dua bukit yang ada di hadapan mereka. Di cekungan
sebelah sana terdapat paya-paya yang menghampar ke selatan Gunung Fuwa. Dan tampak cahaya, hanya
setengah mil jauhnya.
Ketika mendekati rumah pertanian itu, terasa oleh mereka bahwa rumah itu bukan sekedar rumah biasa.
Kelihatan dari tembok tanah tebal yang mengelilinginya. Juga dari pintu gerbangnya yang boleh dikatakan
megah. Atau setidaknya sisa-sisanya, karena pintu gerbang itu sudah tua dan sudah sangat memerlukan
perbaikan.
Takezo mendekati pintu dan mengetuk-ngetuk pelan. “Permisi!”
Karena tidak ada jawaban, ia mencoba sekali lagi. “Maaf kami mengganggu pada jam seperti ini, tapi
temanku ini sakit. Kami tak ingin menyusahkan – dia perlu istirahat sedikit.”
Mereka mendengar orang berbisik-bisik di dalam, dan akhirnya terdengar bunyi orang berjalan ke pintu.
“Kalian yang berkeliaran di Sekigahara, kan?” Suara itu datang dari seorang gadis muda.
“Betul,” kata Takezo. “Kami bawahan Lord Shimmen dari Iga.”
“Menyingkirlah! Kalau kalian ditemukan orang di sini, kami bisa celaka.”
“Betul-betul kami minta maaf telah mengganggu seperti ini, tapi kami telah lama sekali berjalan. Temanku
ini butuh sedikit istirahat, hanya itu, dan …”
“Pergilah. Menyingkirlah!”
“Baiklah, kalau memang itu yang Anda kehendaki. Tapi apa tak bisa temanku ini diberi obat? Perutnya sakit
sekali sekali, hingga sukar bagi kami berjalan terus.”
“Entahlah….”
Beberapa waktu kemudian, mereka mendengar langkah-langkah kaki dan bunyi dering kecil menjauh ke
dalam rumah, makin lama makin lemah.
Baru pada waktu itulah mereka melihat wajah itu. Wajah itu tampak di jendela samping, wajah seorang
wanita, dan wajah itu memperhatikan mereka terus.
“Akemi,” serunya, “biar mereka masuk. Mereka prajurit biasa. Patroli Tokugawa tak akan membuang-buang
waktu buat mereka. Mereka tak dikenal.”
Akemi membuka pintu, dan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Oko itu pun datang untuk
mendengarkan cerita Takezo.
Maka disetujuilah bahwa mereka tidur di lumbung. Untuk mengobati sakit perutnya, Matahachi mendapat
tepung arang magnolia dan bubur beras encer dengan campuran bawang. Beberapa hari berturut-turut ia
tidur terus-menerus, sedangkan Takezo duduk berjaga-jaga di sampingnya, sambil mengobati luka-luka
peluru di pahanya dengan minuman keras murah.
Pada suatu malam, kira-kira seminggu kemudian, Takezo dan Matahachi duduk mengobrol.
“Mereka tentunya punya usaha tertentu,” kata Takezo.
“Aku tak peduli dengan kerja keras mereka. Aku senang mereka telah menerima kita.”
Tetapi rasa ingin tahu Takezo telah bangkit. “Ibunya belum begitu tua,” sambungnya. “Aneh, bahwa mereka
berdua hidup sendiri di pegunungan ini.”
“Hm. Apa menurut pendapatmu gadis itu agak mirip Otsu?”
“Memang ada sesuatu padanya yang membuat aku ingat Otsu, tapi kukira mereka tidak betul-betul serupa.
Keduanya manis, titik. Menurutpendapatmu, apa yang sedang dia lakukan waktu pertama kali kita
Ebook by Kang Zusi
melihatnya itu? Merangkak-rangkak di antara mayat-mayat itu di tengah malam? Dan kelihatannya
pekerjaan itu tidak mengganggunya sama sekali. Ha! Masih terbayang olehku hal itu. Wajahnya tenang dan
tenteram, seperi boneka buatan Kyoto. Sungguh gambaran yang luar biasa!”
Matahachi memberi isyarat pada Takezo untuk diam.
“Ssst! Kudengar giring-giringnya.”
Ketukan ringan Akemi di pintu terdengar seperti ketukan burung pelatuk. “Matahachi, Takezo,” panggilnya
lembut.
“Ya?”
“Ini aku.”
Takezo berdiri dan membuka kunci. Gadis itu membawa sebaki obat-obatan dan makanan, dan bertanya
tentang kesehatan mereka.
“Jauh lebih baik. Terima kasih untukmu. Juga untuk ibumu.”
“Ibu bilang, biar kalian sudah sehat, kalian jangan bicara terlalu keras atau pergi keluar.”
Takezo pun menjawab atas nama mereka berdua. “Kami minta maaf sudah membikin repot kalian.”
“Oh, tidak apa-apa. Cuma kuminta kalian berhati-hati. Ishida Mitsunari dan beberapa jenderal lain belum
tertangkap. Mereka mengawasi daerah ini dengan ketat, dan jalan-jalan penuh dengan pasukan
Tokugawa.”
“Betul?”
“Makanya, biar kalian cuma prajrit biasa. Ibu bilang, kalau kami tertangkap menyembunyikan kalian, kami
akan ditahan.”
“Kami tak akan bikin rebut,” janji Takezo. “Malahan muka Matahachi akan kututup kain, kalau dia
mendengkur terlalu keras.”
Akemi tersenyum, membalikkan badan untuk pergi, dan katanya, “Selamat malam. Aku akan datang lagi
besok pagi.”
“Tunggu!” kata Matahachi. “Apa salahnya kau datang ke sini, bicara dengan kami sedikit?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Ibu nanti marah.”
“Peduli apa dengan ibumu? Berapa tahun umurmu?”
“Enam belas.”
“Kalau begitu, badanmu terlalu kecil, ya?”
“Terima kasih atas komentar itu.”
“Di mana ayahmu?”
“Tidak punya lagi.”
“Maaf. Lalu bagaimana kalian hidup?”
“Kami bikin moxa.”
“Obat yang dibakar di kulit buat menghilangkan sakit itu?”
“Ya, moxa daerah ini terkenal. Musim semi kami memotong mugwort di Gunung Ibuki. Musim panas
mengeringkannya, lalu musim gugur dan dingin membuatnya jadi moxa. Kami jual di Tarui. Orang datang
dari mana-mana hanya untuk beli moxa itu.”
“Kiranya kalian tidak butuh lelaki untuk mengerjakan itu.”
“O, kalau itu yang ingin kalian ketahui, lebih baik aku pergi.”
“Nanti dulu, sedikit lagi,” kata Takezo. “Ada satu pertanyaan lagi.”
“Apa itu?”
“Malam ketika kami datgn kemari itu, kami melihat seorang gadis di medan pertempuran, dan dia mirip
sekali denganmu. Apa itu kau?”
Akemi cepat membalikkan badan dan membuka pintu.
“Apa kerjamu di sana?”
Gadis itu membanting pintu di belakangnya. Dan ketika ia berjalan ke rumah itu, giring-giring kecil pun
berdering dengan iramanya yang aneh dan sumbang
Sisir
Dengan tinggi sekitar 1,75 meter, Takezo cukup jangkung untuk orang sezamannya. Tubuhnya seperti
tubuh kuda yang indah: kuat dan lentur, dengan kaki panjang berotot. Bibirnya penuh, berwarna merah tua,
dan alisnya yang hitam tebal jadi tampak tidak lebat karena bentuknya yang indah. Karena jauh melampaui
sudut-sudut luar matanya, alis itu pun menambah kejantanannya. Orang-orang kampung menyebutnya
“anak tahun yang gemuk”, suatu ungkapan yang hanya dipakai untuk anak dengan badan lebih besar dari
rata-rata. Sebutan itu jauh dari maksud menghina, tapi bagaimanapun membuatnya ada jarak dengan anakanak
muda lain, dan itu membuatnya cukup malu pada masa kanak-kanaknya.
Ungkapan itu tidak pernah dipergunakan untuk menggambarkan Matahachi, namun dapat pula dikenakan
Ebook by Kang Zusi
padanya. Ia agak lebih pendeka dan pejal daripada Takezo, dadanya bidang dan besar, dan wajahnya
bulat, memberikan kesan periang, kalau bukan sifat badut sejati. Matanya yang besar dan sedikit menonjol
itu cenderung bergerak ketika ia berbicara, dan kebanyakan lulucon yang dibuat orang untuk
merendahkannya berpusat pada kemiripannya dengan katak yang yak henti-hentinya berdengkung pada
malam-malam musim panas.
Kedua pemuda itu sedang berada di puncak usia pertumbuhan mereka, dan karenanya cepat pulih dari
sebagian besar penyakit. Ketika luka-luka Takezo sudah sepenuhnya sembuh, Matahachi pun tidak dapat
lagi menahan hambatan yang dirasakannya. Mulailah ia berjalan mondar-mandir di seputar lumbung, dan
tak henti-hentinya mengeluh karena merasa terkurung. Tidak hanya sekali ia membuat kesalahan, dengan
mengatakan bahwa ia merasa seperti jangkrik di dalam lubang yang gelap dan jangrik memang suka pada
suasana hidup seperti itu. Matahachi tentunya telah mulai mengintip kedalam rumah, karena pada suatu
hari ia mendekatkan mulutnya kepada teman seselnya itu, seolah hendak menyampaikan berita yang
mengguncangkan dunia. “Tiap malam,” bisiknya genting, “janda itu membedaki mukanya dan mempercantik
diri!” Muka Takezo pun jadi seperti anak umur dua belas tahun yang benci anak gadis, melihat
pengkhianatan teman karibnya yang makin tertarik kepada “mereka” itu. Matahachi sudah menjadi
pengkhianat kini, dan pandangan mata Takezo pun tidak salah lagi mengungkapkan kemuakan.
Matahachi mulai kerap pergi ke rumah itu, duduk-duduk di dekat perapian bersama Akemi dan ibunya yang
masih muda. Sesudah tiga atau empat hari mengobrol dan berkelakar dengan mereka, tamu yang ramah itu
pun sudah menjadi anggota keluarga. Ia tidak kembali ke lumbung, juga pada malam hari, dan kalau
kadang-kadang pulang, napasnya berbau sake. Ia mencoba membujuk Takezo datang ke rumah itu,
dengan menyanyikan puji-pujian terhadap kehidupan yang baik, yang hanya beberapa meter jauhnya dari
tempat itu.
“Gila kau!” jawab Takezo gusar. “Kau bisa bikin kita terbunuh, atau setidaknya tertangkap. Kita ini sudah
kalah, jadi gelandangan – apa kau belum juga mengerti? Kita mesti berhati-hati dan bersembunyi, sampai
keadaan mereda.”
Tapi dengan segera ia bosan mencoba mengajak temannya yang cinta kenikmatan itu untuk berpikiran
sehat, dan mulailah ia menghentikan omongan temannya dengan jawaban-jawaban ringkas.
“Aku tidak suka sake,” atau kadang-kadang, “Aku lebih suka di sini. Santai.”
Tapi Takezo sendiri akhirnya mulai sinting juga. Ia merasa bosan bukan kepalang, dan mulai
memperlihatkan tanda-tanda mengalah. “Apa betul-betul aman?” tanyanya. “Maksudku sekitar sini? Apa tak
ada tanda-tanda patroli? Apa kau yakin?”
Maka, sesudah terkubur dua puluh hari lamanya dalam lumbung itu, akhirnya ia keluar seperti tawanan
perang yang setengah kelaparan. Kulitnya tampak jernih pucat, seperti mayat, lebih-lebih ketika ia berdiri di
samping temannya yang sudah terbakar matahari dan sake itu. Dipandangnya langit biru yang terang, dan
sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, ia pun menguap dengan nikmatnya. Ketika mulutnya
yang besar itu akhirnya menutup kembali, terlihatlah bahwa alisnya waktu itu mengait. Wajahnya tampak
resah.
“Matahachi,” katanya sungguh-sungguh, “kita terlalu memaksakan keinginan pada orang-orang ini. Mereka
sekarang menghadapi resiko besar gara-gara kita di sini. Kupikir kita harus berusaha pulang sekarang.”
“Kau benar,” kata Matahachi. “Tapi tak seorang pun dapat melewati rintangan itu tanpa pemeriksaan. Jalan
ke Ise dan Kyoto tak bisa ditempuh, menurut janda itu. Katanya, kita mesti bertahan sampai salju turun.
Gadis itu juga bilang begitu. Dia yakin mesti tetap bersembunyi. Dan kau tahu, dia selalu pergi ke manamana
setiap hari.”
“Kau bilang duduk di dekat api sambil minum itu bersembunyi?”
“Tentu. Tahu tidak, apa yang sudah kulakukan? Beberap hari yang lalu orang-orang Tokugawa datang
mengintai; mereka masih mencari Jenderal Ukita. Dan aku bisa melepaskan diri dari bajingan-bajingan itu
hanya dengan keluar dan menyapa mereka.“ Mata Takezo membelalak tak percaya mendengar itu,
sedangkan Matahachi tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya reda, ia pun melanjutkan. “Kau lebih
selamat di tempat terbuka daripada meringkuk di lumbung, sambil mendengarkan langkah-langkah kaki
orang dan dibikin gila olehnya. Inilah yang mau kukatakan padamu.” Matahachi tertawa terpingkal-pingkal,
sedangkan Takezo mengangkat bahu.
“Barangkali kau benar. Itu bisa jadi cara terbaik untuk mengatasi persoalan.”
Takezo masih juga mengajukan persyaratan, tapi sesudah percakapan itu, ia pun ikut pergi ke rumah
tersebut. Oko, yang agaknya senang kalau ada orang lain, terutama laki-laki, berusaha membuat mereka
betul-betul kerasan. Namun sekali-kali ia membuat kedua pemuda itu terlonjak dengan sarannya agar
seorang dari mereka mengawini Akemi. Tapi ini agaknya lebih membikin bingung Matahachi daripada
Takezo. Takezo mengabaikan saja saran itu, atau menandinginya dengan kata-kata lucu.
Waktu itu musim matsutake yang lezat dan harum, yang tumbuh di pangkal-pangkal pohon-pohon pinus,
dan Takezo cukup terhibur mencari jamur-jamur besar di gunung yang berhutan, di belakang rumah itu.
Sambil memegang keranjang, Akemi mencari jamur itu dari pohon ke pohon. Setiap kali tercium baunya,
suaranya yang tanpa dosa itu pun menggema di tengah hutan.
“Takezo, sini! Banyak di sini!”
Dan kalau sedang mencari-cari di dekatnya, Takezo pun selalu menjawab, “Di sini juga banyak!”
Ebook by Kang Zusi
Sinar matahari musim gugur menerobos tipis dan miring ke arah mereka, lewat ranting-ranting pinus. Babut
daun pinus di tempat teduh yang sejuk di bawah pohon-pohonan itu bagaikan bunga mawar yang lunak
berdebu. Setelah lelah, Akemi pun menantang Takezo sambil terkikik, “Mari kita lihat, siapa yang paling
banyak!”
“Aku!” jawab Takezo pasti. Mendengar itu, Akemi pun mulai memriksa keranjang Takezo.
Hari ini tidak beda dengan hari-hari lain. “Ha, ha! Aku tahu!” teriak Akemi. Dengan rasa kemenangan penuh
kegembiraan yang hanya bisa terjadi pada gadis semuda itu, dan tanpa kesadaran diri ataupun sikap sopan
yang dibuat-buat, ia pun menunduk ke keranjang Takezo. “Yang banyak kau dapat itu jamur payung!” Lalu
ia pun membuangi jamur beracun itu satu per satu, bukan sambil menghitungnya keras-keras, melainkan
diiringi gerakan yang begitu pelan dan disengaja, hingga Takezo hampir tidak dapat mengabaikannya,
sekalipun dengan mata terpejam, Akemi melontarkan masing-masing jamur itu sejauh-jauhnya. Selesai
dengan tugas itu, ia pun menengadah dengan wajah membinarkan rasa puas diri.
“Sekarang lihat, aku dapat jauh lebih banyak daripada kau!”
“Sudah siang sekarang,” gumam Takezo. “Mari pulang.”
“Kau marah karena kalah, kan?”
Akemi pun berlari kencang seperti ayam pegar menuruni sisi bukit, tapi sekonyong-konyong ia berhenti,
wajahnya dipenuhi rasa terkejut. Seorang lelaki raksasa datang lurus mendekat lewat belukar, setengah
jalan menuruni lereng bukit; langkah-langkhanya panjang dan tenang, matanya yang tajam menatap
langsung kepada gadis muda yang rapuh di hadapannya. Orang itu tampak primitif luar biasa. Segala
sesuatu pada dirinya bernada perjuangan untuk tetap hidup, dan ia menampakkan ciri suka berkelahi: alis
yang lebat dan ganas, dan bibir atas yang tebal melingkar; pedang berat, jubah zirah, dan kulit binatang
melengkapi dirinya.
“Akemi!” raungnya seraya mendekati gadis itu. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya yang kuning
melapuk, tapi wajah Akemi tetap saja menyiratkan kengerian belaka.
“Apa ibumu yang hebat itu ada di rumah?” tanyanya dengan ejekan yang dibuat-buat.
“Ya,” cicit Akemi.
“Nah, kalau nanti kau pulang, ceritakan sesuatu padanya. Mau tidak?” Ejekan itu diucapkannya dengan
sopan.
“Ya.”
Dan kini nadanya berubah kasar. “Katakan padanya, jangan mempermainkan aku dengan menimbun uang
tanpa sepengetahuanku. Katakan aku akan datang segera untuk mengambil bagianku. Mengerti?’
Akemi diam saja.
“Dia pikir barangkali aku tidak tahu, tapi orang yang dijuali barang-barang itu datang langsung padaku. Aku
berani bertaruh, kau pergi juga ke Sekigahara, bukan, Nak?”
“Ah, tidak!” protes Akemi lemah.
“Ya, tak apalah. Cuma sampaikan padanya apa yang kukatakan tadi. Kalau dia main tidak jujur lagi, akan
kutendang dia keluar dari daerah ini.” Ia menyorot gadis itu sesaat dengan matanya, kemudian pergi
dengan lamban ke arah paya.
Takezo mengalihkan matanya dari orang asing itu kepada Akemi, dengan penuh minat. “Siapa orang itu?”
Dengan bibir masih menggeletar Akemi menjawab lesu, “Namanya Tsujikaze. Dia dari kampung Fuwa.”
Suara Akemi hampir tak lebih dari bisikan.
“Dia bandit, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dia begitu marah?”
Akemi berdiri saja tanpa menjawab.
“Tak akan kuceritakan itu pada orang lain,” kata Takezo, mencoba meyakinkan Akemi. “Apa tak bisa kau
menceritakannya padaku?”
Akemi, yang jelas merasa tak senang, agaknya sedang mencari-cari kata. Dan tiba-tiba ia pun
menyandarkan diri ke dada Takezo dan memohon, “Kau janji taka akan bercerita pada orang lain?”
“Siapa yang akan kuceritai? Samurai Tokugawa?”
“Ingat waktu kau pertama kali melihatku malam itu? Di Sekigahara?”
“Tentu saja ingat.”
“Nah, apa belum kau bayangkan, apa yang kulakukan waktu itu?”
“Belum, aku belum pernah memikirkannya,” kata Takezo dengan wajah sungguh-sungguh.
“Nah, waktu itu aku mencuri!” Lalu ia pun menatap Takezo dekat-dekat, untuk menaksir reaksi Takezo.
“Mencuri?”
“Sesudah pertempuran, aku pergi ke medan, mengambili barang-barang serdadu yang tewas: pedang,
hiasan sarung pedang, kantong kemenyan –– apa saja yang dapat kami jual.” Ia memandang Takezo lagi
untuk menangkap tanda-tanda sikap tidak setuju, tetapi wajah Takezo tidak memperlihatkannya sama
sekali. “Pekerjaan itu mengerikan,” keluhnya kemudian, lalu berubah bersikap pragmatis, “tapi kami butuh
uang untuk makan. Kalau aku bilang tak mau pergu, Ibu marah.”
Matahari masih cukup tinggi di langit. Atas saran Akemi, Takezo duduk di rumput. Lewat pohon-pohon
pinus, mereka dapat memandang ke bawah, ke rumah di tengah paya itu.
Ebook by Kang Zusi
Takezo mengangguk pada diri sendiri, seolah sedang membayangkan sesuatu. Sejenak kemudian ia
berkata, “Kalau begitu, cerita tentang memotong mugwort dan membuat moxa itu bohong semuanya?”
“O, tidak. Kami mengerjakan itu juga! Tapi selera Ibu begitu mahal. Tak mungkin kami dapat hidup dari
moxa saja. Ketika ayahku masih hidup, kami tinggal di rumah terbesar di kampung ini, malahan boleh
dibilang di tujuh dusun yang ada di Ibuki. Kami punya banyak pelayan, dan Ibu selalu punya barang-barang
bagus.
“Apa ayahmu pedagang?”
“O, tidak. Dia pemimpin bandit setempat.” Mata Akemi bersinar penuh kebanggaan. Jelaslah, ia tidak lagi
takut akan reaksi Takezo, dan kini ia melepaskan perasaan sebenarnya. Rahangnya mantap, tangannya
yang kecil mengepal pada waktu bicara. “Tsujikaze Temma, orang yang baru kita jumpai tadi, itulah yang
membunuhnya. Paling tidak, begitulah kata semua orang.”
“Maksudmu, ayahmu dibunuh?”
Sambil mengangguk diam, Akemi mulai menangis, sekalipun ia berusaha menahannya. Takezo merasa
sesuatu yang berada jauh di dalam dirinya mulai mencair. Semula ia tidak menaruh simpati pada gadis itu.
Sekalipun gadis itu lebih kebanyakan dari gadis yang sudah berumur enam belas tahun, namun bicaranya
seperti wanita dewasa, dan sering kali ia membuat gerakan cepat yang membuat orang lain berjaga-jaga.
Tapi ketika air mata mulai menitik dari bulu matanya yang panjang, tiba-tiba Takezo pun jadi meleleh oleh
rasa kasihan. Ia ingin mendekap gadis itu untuk melindunginya.
Gadis itu bukanlah gadis yang dibesarkan seperti biasa. Agaknya tak pernah ia pertanyakan, apakah di
dunia ini tidak ada yang lebih mulia daripada pekerjaan ayahnya. Ibunya telah meyakinkannya bahwa tak
ada salahnya melucuti mayat, bukan untuk makan, melainkan untuk hidup layak. Banyak pencuri sejati
enggan melakukan pekerjaan itu.
Selama bertahun-tahun berlangsungnya perselisihan kaum feodal, keadaan telah menjadikan semua
manusia, sampai yang pemalas di pedesaan, terhanyut oleh cara hidup seperti ini. Orang banyak pun lebihkurang
memang telah minta mereka melakukan hal itu. Ketika perang pecahn para penguasa militer
setempat bahkan memanfaatkan jasa-jasa mereka dan memberikan imbalan melimpah pada mereka atas
jasa membakar perbekalan musuh, menyebarkan desas-desus bohong, mencuri kuda dari kamp-kamp
musuh, dan lain-lain hal seperti itu. Yang paling sering terjadi adalah jasa-jasa mereka dibeli orang. Tapi,
sekalipun tidak dibeli, perang menawarkan banyak kesempatan. Di samping berkelaiaran di antara mayatmayat
untuk mengumpulkan barang-barang berharga, kadang-kadang mereka berhasil mendapat hadiah
dari menyerahkan kepala samurai yang kebetulan tersandung oleh mereka dan kemudian mereka pungut.
Satu saja pertempuran besar sudah cukup bagi para pencuri bejat ini hidup senang enam bulan atau
setahun.
Pada waktu-waktu bergolak, petani atau pembelah kayu biasa pun sudah tahu mengambil keuntungan dari
kesengsaraan orang dan pertumpahan darah. Perkelahian di luar kampung sendiri sudah bisa membuat
orang-orang sederhana ini meninggalkan pekerjaan, dan dengan cakapnya mereka menyesuaikan diri
dengan situasi, dan menemukan cara untuk memunguti sisa-sisa hidup manusia lain, seperti burung
pemakan bangkai. Sebagian karena gangguan inilah para penjarah professional menetapkan perlindungan
keras atas wilayah masing-masing. Sudah menjadi peraturan keras bahwa para pemburu liar, yaitu
perampok-perampok yang melanggar hak-hak yang telah dimiliki para penjahat kejam ini dapat dikenai
pembalasan dendam.
Akemi pun menggigil, dan katanya, “Apa akal kita? Orang-orang bayaran Temma sedang dalam perjalanan
kemari sekarang. Aku tahu itu.”
“Jangan khawatir,” kata Takezo meyakinkannya. “Kalau mereka nanti muncul, aku sendiri yang akan
menyambut mereka.”
Ketika mereka turun bukit, senja telah turun di atas paya itu, dan segalanya sunyi. Jejak asap api
pemandian di rumah itu merayap di area puncak jajaran rumput mendong, seperti ular yang melenggoklenggok
di langit. Oko sedang berdiri santai di pintu belakang, seusai melakukan riasan malam. Ketika
melihat anak perempuannya datang bersama Takezo, ia pun berseru, “Akemi, apa kerjamu sampai begini
larut?”
Terasa benar tajamnya mata dan suaranya. Gadis itu pun segera tersadar, sesudah begitu lama ia berjalan
dengan kepala kosong. Ia memang lebih peka terhadap suasana hati ibunya daripada apa pun di dunia ini.
Ibunya telah menanamkan kepekaan ini dan telah berhasil memanfaatkannya, mengendalikan anak gadis
itu seperti boneka, hanya dengan pandangan atau gerak-geriknya. Cepat-cepat Akemi menjauh dari sisi
Takezo, dan dengan wajah memerah ia pun mendahului dan masuk rumah.
Hari berikutnya, Akemi menyampaikan pada ibunya tentang Tsujikaze Temma. Oko naik pitam.
“Kenapa tidak cepat-cepat kau ceritakan?” raungnya sambil menyeruduk ke sana kemari seperti perempuan
gila, menarik-narik rambutnya, mengeluar-ngeluarkan barang dari laci dan lemari dan mengonggokkan
semuanya di tengah kamar.
“Matahachi! Takezo! Bantu aku! Semua ini mesti kita sembunyikan.”
Matahachi menggeser sebuah papan yang ditunjukkan oleh Oko, lalu ia menempatkan diri di atas langitlangit.
Tak banyak ruangan antara langit-langit dan kasau itu. Orang hampir tidak dapat merangkak di situ,
tapi cukuplah itu untuk memenuhi kebutuhan Oko, dan terutama agaknya kebutuhan almarhum suaminya.
Ebook by Kang Zusi
Takezo berdiri di atas bangku, di antara ibu dan anak, dan mulai mengulurkan barang-barang itu satu
persatu kepada Matahachi. Jika Takezo tidak mendengar cerita Akemi hari sebelumnya, tidak bakal ia tidak
merasa kagum melihat keanekaragaman barang-barang yang sekarang dilihatnya.
Takezo tahu ibu dan anak ini sudah lama melakukan pekerjaan itu, namun demikian sungguh
mengagumkan. Betapa banyaknya barang yang mereka timbun. Ada belati, umbai lembing, lengan baju
zirah, helm tanpa mahkota, kuil mini yang dapat dibawa-bawa, tasbih Budha, tiang bendera…. Bahkan ada
sandal berlak berukir indah dan bertatah emas, perak, dan indung mutiara.
Dari lubang di langit-langit, Matahachi mengintip keluar dengan wajah bingung. “Sudah semua?”
“Tidak, ada satu lagi,” kata Oko seraya pergi cepat-cepat. Sesaat kemudian ia sudah kembali membawa
sebilah pedang, satu seperempat meter panjangnya, dari kayu ek hitam. Takezo mulai mengeluarkan
barang itu pada Matahachi, tetapi bobot, lengkung dan sempurnanya keseimbangan senjata itu demikian
mengesankannya, sampai tak dapat ia melepaskannya.
Ia pun menoleh kepada Oko dengan pandangan tersipu. “Apa tak bisa Ibu menghadiahkan ini padaku?”
tanyanya dengan mata memancarkan kepasrahan. Ia memandang kakinya sendiri, seakan-akan hendak
mengatakan bahwa ia memang belum melakukan sesuatu yahg pantas mendapat ganjaran pedang itu.
“Apa kau betul-betul menginginkannya?” jawab nyonya itu dengan lembut, dengan nada seorang ibu.
“Ya…ya… tentu!”
Sekalipun wanita itu tidak benar-benar mengatakan Takezo boleh memilikinya, namun ia tersenyum,
memperlihatkan dekik pipinya, dan tahulah Takezo bahwa pedang itu sudah menjadi miliknya. Matahachi
melompat turun dari langit-langit, meledak oleh rasa iri. Ia pun meraba-raba pedang itu dengan tamaknya,
membuat Oko tertawa.
“Coba lihat, orang kecil ini merajuk karena tidak dapat hadiah!” Ia mencoba menenteramkan hati Matahachi
dengan memberikan pundit-pundi kulit yang manis dan berbatu akik. Matahachi tidak tampak terlalu
senang. Matanya terus tertuju kepada pedang kayu ek hitam itu. Perasaannya terluka, dan pundit-pindi itu
hanya sedikit dapat menyembuhkan harga dirinya yang terluka.
Keika suaminya masih hidup, Oko rupanya punya kebiasaan mandi uap secara santai tiap malam, merias
diri, dan kemudian minum sedikit sake. Singkatnya, ia menghabiskan waktu untuk merias diri sebanyak
yang dihabiskan geisha yang terbesar bayarannya. Ini bukanlah jenis kemewahan yang dapat
dikembangkan oleh orang biasa, tetapi ia berkeras melakukannya, bahkan ia telah mengajar Akemi
mengikuti kebiasaan yang sama itu, sekalipun gadis itu menganggapnya menjemukan, dan alasannya tidak
dapat ia pahami. Oko tidak hanya suka senang; ia pun berketetapan untuk tetap muda selama-lamanya.
Malam itu, selagi mereka duduk di sekitar perapian ceruk, Oko menuangkan sake untuk Matahachi dan
mencoba meyakinkan Takezo untuk juga mencobanya. Ketika Takezo menolak, ia letakkan mangkuk itu ke
tangan Takezo, ia tangkap pergelangan tangannya, dan ia paksa Takezo mengangkat mangkuk itu ke
bibirnya.
“Laki-laku sudah sewajarnya minum,” umpatnya. “Kalau kau tidak dapat melakukannya sendiri, akan
kubantu.”
Berulang kali Matahachi menatap Oko denga perasaan tak enak. Sada akan pandangan Matahachi itu, Oko
bahkan semakin berani terhadap Takezo. Sambil meletakkan tangannya secara main-main di lutut Takezo,
mulailah ia mendendangkan lagu cinta yang sedang popular.
Sampai di sini, Matahachi pun merasa sudah sampai batas kesabarannya. Sambil tiba-tiba menoleh kepada
Takezo, ia berucap, “Kita mesti lekas meneruskan perjalanan!”
Ucapan ini mencapai sasarannya. “Tapi… tapi… ke mana kalian akan pergi?” Tanya Oko terbata-bata.
“Kembali ke Miyamoto. Ibuku dan tunanganku tinggal di sana.”
Oko hanya sekejap terkejut; sebentar kemudian ia sudah dapat menguasai dirinya kembali. Matanya
menyempit, senyumnya membeku, dan suaranya menjadi getir. “Nah, harap dimaafkan karena aku telah
menghambat kalian, telah menerima kalian, dan memberikan tempat pada kalian. Kalau memang ada gadis
yang menanti kalian, lebih baik kalian lekas-lekas saja pulang. Jangan kiranya aku menahan kalian!”
Sesudah menerima pedang ek hitam itu, Takezo tak pernah lagi terpisah darinya. Memegangnya saja
merupakan kenikmatan yang tak terlukiskan baginya. Sering ia meremas gagang pedang itu erat-erat, atau
menggesekkan sisinya yang tumpul pada telapak tangannya, hanya untuk merasakan betapa sesuai
lengkung dengan panjangnya. Bila tidur ia dekap pedang itu ke tubuhnya. Sentuhan dingin permukaan kayu
itu pada pipinya mengingatkannya pada lantai dojo, di mana ia pernah mempraktekkan teknik-teknik main
pedang pada musim dingin. Alat yang hampir sempurna, dan sekaligus merupakan benda seni dan maut
ini, membangkitkan kembali di dalam dirinya semangat tempur yang telah ia warisi dari ayahnya.
Takezo mencintai ibunya, tetapi ibu itu telah meninggalkan ayahnya dan pergi ketika Takezo masih kecil,
meninggalkannya sendirian dengan Munisai, seorang ayah yang gila tata tertib, yang tak tahu bagaimana
memanjakan anak dalam suasana yang tidak menguntungkan seperti itu. Apabila ayahnya ada, anak itu
selalu merasa kikuk dan ketakutan, tidak pernah merasa santai. Ketika berumur sembilan tahun, begitu
besar hasratnya akan kata manis ibunya, hingga ia pernah melarikan diri dari rumah dan nekat pergi ke
Propinsi Harima, tempat ibunya tinggal. Takezo tak pernah mengerti mengapa ibu dan ayahnya bercerai,
dan pada umur sekian, penjelasan tentang itu pun tidak akan banyak menolong. Ibunya telah kawin dengan
Ebook by Kang Zusi
samurai lain, dan mendapat seorang anak lagi.
Begitu pelarian kecil itu sampai di Harima, ia tidak membuang-buang waktu lagi untuk menemukan ibunya.
Ibunya lalu membawanya ke daerah hutan di belakang kuil setempat, supaya tidak kelihatan orang, dan di
sana sambil berurai air mata ia pun memeluk anaknya itu erat-erat dan menyuruhnya kembali kepada
ayahnya. Takezo tak pernah melupakan adegan itu; setiap detailnya akan tetap hidup dalam kenangannya,
sepanjang umurnya.
Sebagai seorang samurai, tentu saja Munisai mengirimkan orang-orangnya untuk memperoleh kembali
anaknya, begitu ia mengetahui anaknya hilang. Sudah jelas ke mana perginya anak itu. Takezo pun
dikembalikan ke Miyamoto seperti seikat kayu bakar, diikat di punggung kuda yang tidak bersadel. Sebagai
pembuka, Munisai menyebutnya anak bandel yang kurang ajar, dan dengan keberangan yang hampir
mencapai histeris, ia sabet anaknya sampai ia tak kuat menyabet lagi. Takezo ingat lebih gamblang
daripada apa pun di dunia ini, betapa sengit ultimatum ayahnya waktu itu. “Kalau sekali lagi kau pergi ke
ibumu, tak akan kuakui kau sebagai anak.”
Tidak lama sesudah kejadian itu. Takezo mendengar kabar bahwa ibunya jatuh sakit dan meninggal.
Kematian itu berakibat berubahnya Takezo dari seorang anak pendiam dan pemurung menjadi anak
kampung yang jail. Munisai pun akhirnya menjadi takut. Ketika ia mendatangi anak itu dengan pentung,
anak itu menantangnya dengan tongkat kayu. Satu-satunya orang yang bisa menandinginya adalah
Matahachi, yang juga anak seorang samurai; semua anak lain tunduk pada perintah Takezo. Waktu ia
berumur dua belas atau tiga belas tahun, badannya sudah hampir setinggi orang dewasa.
Pada suatu kali, seorang pemain pedang pengembara bernama Arima Kihei menaikkan panji-panji berhias
emas, dan menyatakan siap melawan siapa saja penantang dari kampung itu. Takezo berhasil membunuh
orang itu tanpa kesukaran, dan mendapat pujian dari orang-orang kampung atas keberaniannya.
Namun penghargaan itu singkat saja umurnya, karena bersamaan dengan bertambahnya umur, ia pun jadi
semakin tak dapat dikendalikan dan brutal. Banyak orang yang menganggapnya sadis, dan apabila ia
muncul di suatu tempat, orang pun segera menyingkir. Sikap Takezo terhadap mereka semakin
menjelaskan sikap dingin mereka terhadapnya.
Ketika ayahnya yang tetap keras dan kasar akhirnya meninggal, unsur kejam di dalam diri Takezo lebih
membesar lagi. Kalau tidak karena kakak perempuannya, Ogin, Takezo barangkali sudah lebih tak bisa
dikendalikan lagi dan telah diusir dari kampung oleh penduduk yang marah. Untunglah ia menyayangi
kakaknya, dan karena tak tahan melihat air mata kakaknya, biasanya ia pun melakukan apa saja yang
diminta kakaknya.
Pergi perang bersama Matahachi merupakan titik balik bagi Takezo. Hal itu menunjukkan bahwa
bagaimanapun ia mau merebut kedudukan di tengah masyarakat, sejajar dengan orang-orang lain. Tetapi
kekalahan di Sekigahara sekonyong-konyong telah menghilangkan harapan-harapan seperti itu, dan ia pun
mendapati dirinya sekali lagi tercebur ke dalam kenyataan gelap yang menurut anggapannya telah ia
tinggalkan. Namun ia seorang pemuda yang diberkati sifat riang yang mulia, yang hanya dapat berkembang
di zaman perjuangan. Selagi tidur, wakjahnya setenang wajah bayi, sama sekali tak terusik oleh pikiranpikiran
hari esok. Memang ia mengalami juga mimpi-mimpi, baik di waktu tidur maupun terjaga, tapi tidak
banyak ia mengalami kekecewaan yang sebenar-benarnya. Karena modalnya hanya sedikit, maka hanya
sedikit pula ia kehilangan; sekalipun dalam makna tetentu ia sudah tercerabut, namu ia terbebaskan juga
dari belenggu.
Melihat napasnya yang dalam dan tetap, sementara ia memeluk erat pedang kayunya itu, barangkali
Takezo sedang bermimpi; senyuman halus tersungging pada bibirnya, sedangkan bayangan kakak
perempuannya yang lembut dan kota kelahirannya yang damai berpancaran turun seperti air terjun dari
gunung, di hadapan matanya yang terpejam dan berbulu lebat itu, Oko menyelinap ke dalam kamarnya
sambil membawa lampu. “Sungguh wajah yang damai,” bisik Oko dengan kagum, lalu ia pun mengulurkan
tangan dan menyentuh sedikit bibir Takezo dengan jemarinya.
Kemudian ia mematikan lampu dan berbaring di samping Takezo. Seraya meringkuk seperti kucing, sedikit
demi sedikit ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Takezo, sementara wajahnya yang putih dan gaun malam
warna-warni yang betul-betul terlampau muda untuknya itu terbenam dalam kegelapan. Yang kedengaran
saat itu hanyalah titik-titik embun yang jatuh di ambang jendela.
“Ingin tahu juga, apakah dia masih perjaka,” kagumnya sambil mengulurkan tangan untuk menyingkirkan
pedang kayu itu.
Tapi begitu ia menyentuh pedang itu, Takezo langsung berdiri dan berteriak, “Pencuri! Pencuri!”
Oko terlempar ke lampu, hingga bahu dan dadanya luka, dan Takezo memelintir tangannya tanpa ampun
lagi. Oko menjerit kesakitan.
Karena kagetnya, Takezo pun melepaskannya. “O. jadi ini tadi Ibu? Aku pikir pencuri.”
“Oooh,” rintih Oko. “Sakit!”
“Maaf, aku tidak tahu.”
“Kau ini tak kenal kekuatan badan sendiri. Hampir lepas tanganku.”
“Aku sudah minta maaf. Mau apa Ibu di sini?”
Oko tak menghiraukan pertanyaan Takezo yang polos itu; ia tidak merasakan lika tangannya; dicobanya
melingkarkan anggota badannya itu ke leher Takezo, dan gumamnya, “Kau tak perlu minta maaf. Takezo
Ebook by Kang Zusi
…” Ia pun menggosokkan punggung tangannya lembut-lembut ke pipi Takezo.
“Hai! Apa pula ini? Apa Ibu gila?” teriak Takezo sambil meloloskan diri dari sentuhan wanita itu.
“Jangan ribut begitu, tolol. Kau tahu perasaanku padamu.” Oko terus mencoba membelai Takezo, tapi
Takezo menepak-nepaknya, seperti orang diserang gerombolan lebah.
“Ya, dan aku sangat berterima kasih. Kami berdua tak akan melupakan betapa besar kebaikan Ibu, yang
telah menerima kami dan segalanya itu.”
“Maksudku bukan itu, Takezo. Aku bicara tentang perasaan wanitaku – tentang perasaan yang indah dan
hangat terhadapmu.”
“Tunggu dulu,” kata Takezo sambil melompat berdiri. “Akan kunyalakan lampu.”
“Oh, bagaimana kau bisa begini kejam,” rengek Oko, dan bergerak lagi akan memeluk Takezo.
“Jangan!” teriak Takezo marah. “Hentikan, sungguh! Hentikan!”
Ada sesuatu dalam suara Takezo yang membuat Oko takut dan menghentikan serangannya, sesuatu yang
tegas dan mantap.
Takezo merasa tulang-tulangnya bergoyang dan giginya gemeretuk. Tidak pernah ia menghadapi lawan
yang demikian berat. Bahkan ketika telentang di bawah kuda-kuda yang mencongklang lewat di
Sekigahara, tak pernah jantungnya demikian berdentam. Ia pun duduk ngeri di sudut kamar
“Kuminta ibu pergi dari sini,” mohonnya. “Kembalilah ke kamar ibu sendiri. Kalau tidak, akan kupanggil
Matahachi. Akan kubangunkan seisi rumah!”
Oko tidak beranjak. Ia duduk saja di kegelapan dengan napas berat, dan dengan mata menciut ia pun
menatap Takezo. Ia tak mau ditolak. “Takezo,” gumamnya lagi. “Apa kau tidak memahami perasaanku?”
Takezo tidak menjawab.
“Tidak memahami?”
“Ya, tapi apa Ibu memahami perasaanku: diserang selagi tidur, dibikin takut setengah mati, dan dianiaya
seekor macan dalam gelap?”
Kini giliran Oko yang diam. Dari kedalaman kerongkongannya keluar bisikan seperti suara geraman, dan ia
pun mengucapkan setiap suku katanya ini dendam. “Begitu tega kau mempermalukan aku?”
“Aku mempermalukan ibu?”
“Ya ini sungguh membikin malu.”
Keduanya begitu tegang waktu itu, hingga tak terdengar oleh mereka ketukan pintu, yang agaknya sudah
berlangsung beberapa lama. Ketukan itu dipertegas lagi oleh teriakan-teriakan. “Ada apa di dalam? Apa kau
tuli? Buka pintu!”
Berkas cahaya tampak di celah daun jendela. Akemi terbangun. Kemudian langkah kaki Matahachi
terdengar mendekat, dan suaranya berseru, “Ada apa?”
Kemudian dari gang rumah, Akemi berseru resah, “Ibu! Apa Ibu di situ? Jawab, Bu!”
Oko menyerobot cepat kembali ke kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar Takezo. Ia menjawab
dari situ. Orang-orang lelaki di luar rupanya mendobrak daun jendela dan menyerbu ke dalam. Sampai di
kamat perapian, Oko melihat enam atau tujuh pasang bahu lebar menyerbu dapur yang berdekatan dan
berlantai kotor. Letaknya agak di bawah, karena memang dibuat lebih rendah dari ruangan-ruangan lain.
Seorang di antaranya berteriak, “Tsujikaze Temma di sini. Kasih lampu!”
Orang-orang itu menyerobot masuk ke dalam ruang tamu. Mereka bahkan tidak melepas sandal, suatu
tanda kekasaran yang sudah melekat. Mereka mulai melongok ke sana kemari –– ke lemari, ke laci-laci, ke
bawah tatami jerami tebal tang menutup lantai. Temma mendudukkan diri denga megahnya di dekat
perapian, sambil mengawasi kaki tangannya menggeldah ruangan-ruangan itu dengan sistematis. Ia betulbetul
menikmati pekerjaan itu, tapi dengan segera ia bosan karena tidak melakukan apa-apa.
“Terlalu lama!” geramnya sambil menghantamkan tinju ke tatami. “Kau pasti menyimpannya sebagian di
sini. Di mana barang itu?”
“Aku tak merngerti apa yang kau bicarakan,” jawab Oko sambil melipat dengan sabar kedua tangannya di
perut.
“Jangan bicara begitu, perempuan!” lenguh Temma. “Mana barang itu? Aku tahu barang itu ada di sini!”
“Aku tak punya apa-apa!”
“Tak punya?”
“Tak punya.”
“Kalau begitu, barangkali memang kau tidak memilikinya. Barangkali salah infrmasi yang kuterima….” Ia
pun memandang Oko dengan tajam, sambil menarik-narik dan menggaruk-garuk jenggotnya. “Cukup, anakanak!”
gunturnya.
Sementara itu, Oko sudah duduk di kamar sebelah. Pintu dorongnya terbuka lebar, seakan-akan hendak
mengatakan bahwa Temma dapat memeriksa terus tempat yang dicurigainya.
“Oko,” panggil Temma kasar.
“Apa maumu?” terdengar jawaban dingin
“Bagaimana kalau minum sedikit?”
“Mau sedikit air?”
“Jangan paksa aku…,” ancam Temma memperingatkan.
“Sake ada di sana. Minumlah kalau mau.”
Ebook by Kang Zusi
“Ai, Oko,” kata Temma melunak. Ia hampir-hampir mengagumi Oko karena sikap keras kepalanya yang
dingin. “Jangan begitu. Aku sudah lama tak berkunjung. Apa begini caranya menyambut teman lama?”
“Berkunjung!”
“Sudahlah kau ikut bersalah juga. Sudah banyak yang kudengar tentang apa yang dilakukan ‘janda tukang
moxa dari berbagai orang, sampai rasanya tak mungkin semua itu bohong. Kudengar kau menyuruh
anakmu yang cantik itu memereteli mayat-mayat. Nah, kenapa dia mesti melakukan hal seperti itu?”
“Tunjukkan padaku buktinya!” jerit Oko. “Mana buktinya!”
“Kalau ada rencanaku menggalinya, mana mungkin aku mengingatkan Akemi sebelumnya? Kau tahu
sendiri aturan permainannya. Ini wilayahku, dan aku harus memeriksa rumahmu. Kalau tidak, semua orang
akan menyangka mereka bisa lepas begitu saja sesudah melakukan hal seperti itu. Kalau begitu, di mana
nanti tempatku? Aku harus melindungi diriku, tahu!”
Oko menatap Temma dalam kediaman baja, kepalanya setengah tertoleh kepadanya, sedangkan dagu dan
hidungnya terangkat bangga.
“Baiklah, akan kulepaskan kau kali ini. Tapi ingat, aku bersikap baik sekali kepadamu sekarang.”
“Baik kepadaku? Siapa? Kau? Menggelikan!”
“Oko,” bujuk Temma, “ke sinilah, dan tuangkan minuman untukku.”
Tapi ketika Oko tidak juga memperlihatkan tanda-tanda akan bergerak, ia pun meledak, “Anjing gila kau!
Apa kau tidak tahu, kalau kau bersikap baik padaku, tidak bakal kau hidup seperti ini?”
Temma mereda sedikit, kemudian nasihatnya, “Pikirlah dulu.”
“Aku memang tenggelam dalam kebaikan hati Tuan,” terdengar jawaban yang berbisa.
“Kau tak suka padaku?”
“Coba jawab pertanyaan ini: Siapa yang membunuh suamimu? Aku yakin kau ingin aku percaya bahwa kau
tidak tahu, kan?”
“Kalau kau mau membalas dendam pada pelakunya , aku akan membantumu dengan senang hati. Aku bisa
membantu dengan jalan apa pun.”
“Jangan berlagak bodoh!”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah banyak mendengar dari orang banyak. Apa mereka tidak mengatakan padamu bahwa kau
sendirilah yang membunuhnya? Apa kau belum mendengar bahwa Tsujikaze Temma itulah pembunuhnya?
Semua orang tahu. Boleh saja aku janda seorang bandit, tapi aku belum jatuh begitu rendah sampai mau
main ke sana kemari dengan pembunuh suamiku.”
“Kau rupanya memang harus mengatakannya: tak bisa kau membiarkan saja hal itu, ya!” Sambil tertawa,
Temma mengosongkan sakenya dalam sekali teguk, dan menuang lagi. “Kau tahu, mestinya kau tidak
mengatakan hal-hal seperti itu. Itu tak baik untuk kesehatanmu atau kesehatan anakmu yang manis!”
“Aku akan mendidik Akemi dengan semestinya, dan sesudah dia kawin, aku akan kembali menghadapimu.
Ingat kata-kataku ini!”
Temma tertawa lagi hingga bahu dan seluruh tubuhnya berguncang. Setelah mereguk seluruh sake yang
dapat ditemukannya, ia pun memberi isyarat kepada salah seorang kaki-tangannya yang ditempatkan di
sudut dapur, tombaknya tegak sejajar dengan bahunya. “He, kau,” katanya dengan suara menggelegar,
“geser papan langit-langit itu dengan pangkal tombakmu!”
Orang itu tunduk pada perintah Temma. Ia mengitari kamar sambil menyodok-nyodok langit-langit, dan
kekayaan Oko pun berjatuhan ke lantai, seperti hujan es.
“Seperti sudah kuduga,” kata Temma sambil berdiri dengan kikuknya. “Coba lihat, anak-anak. Bukti! Dia
telah melanggar peraturan, tak sangsi lagi. Bawa dia keluar dan kasih hukumannya!”
Orang-orang itu pun berduyun-duyun ke kamar perapian, tapi sekonyong-konyong mereka terhenti. Oko
berdiri mematung di pintu, seakan menantang mereka untuk menjamahnya. Temma, yang telah turun ke
dapur, memanggil tak sabar, “Apa yang kalian tunggu? Bawa dia kemari!”
Tak ada yang bergerak. Oko terus menatap orang-orang itu dari atas, dan orang-orang itu tetap saja seperti
lumpuh. Temma pun memutuskan untuk mengambil alih. Sambil mendecapkan lidahnya ia mendekati Oko,
tetapi ia pun tiba-tiba terhenti di depan pintu. Di belakang Oko, tidak kelihatan dari dapur, berdiri dua
pemuda berwajah ganas. Takezo menggenggam rendah pedang kaunya, siap mematahkan tulang kering
pendatang pertama atau siapa pun yang cukup bodoh untuk mengikutinya. Di pihak lain, Matahachi
menggenggam pedang tinggi-tinggi, siap menebaskannya ke leher pertama yang berusaha menerobos
pintu masuk. Akemi tidak kelihatan.
“O, jadi begitu ya,” rintih Temma, yang tiba-tiba ingat adegan di sisi gunung. “Aku pernah lihat orang itu
berjalan bersama Akemi beberapa hari yang lalu – yang memegang tongkat itu. Siapa yang satunya?”
Matahachi ataupun Takezo tidak menjawab. Ini berarti mereka bermaksud menjawab dengan senjata.
Ketegangan memuncak.
“Mestinya tidak ada lelaki di rumah ini,” raung Temma. “Hai, kalian berdua… Kalian pasti dari Sekigahara!
Hati-hatilah kalian – kuperingatkan kalian.”
Kedua pemuda itu sama sekali tidak bergerak.
“Tak ada di daerah ini yang tidak kenal nama Tsujikaze Temma! Akan kutunjukkan pada kalian, apa yang
kami lakukan terhadap gelandangan!”
Ebook by Kang Zusi
Sunyi. Temma memberi isyarat pada kaki-tangannya untuk menyingkir. Seorang di antaranya terjatuh ke
perapian. Ia menjerit, dan ranting-ranting menyala yang kejatuhan tubuhnya menjadi bunga api ke langitlangit.
Dalam beberapa detik saja, ruangan sudah penuh oleh asap.
“Aarrrghh!”
Temma menerjang ke ruangan itu, Matahachi pun menebaskan pedang dengan kedua tangannya, tapi
orang tua itu terlalu cepat baginya, hingga tebasan itu mental mengenai sarung pedang Temma. Oko telah
melarikan diri ke sudut terdekat, sementara Takezo menanti dengan edang kayu eknya yang terpasang
horizontal. Ia mengincar kaki Temma, lalu mengayunkan pedangnya dengan segenap kekuatan. Pedang itu
mendecit di kegelapan, tapi tidak terdengar suara benturan. Manusia lembu itu telah melenting ke udara
pada waktunya, dan ketika turun ia menerjang Takezo derngan kekuatan batu besar.
Takezo merasa seakan berkelahi dengan seekor beruang. Inilah orang terkuat yang pernah dihadapinya,
temma mencengkeram lehernya dan mendaratkan dua-tiga pukulan yang membuat tengkorak Takezo
seperti pecah. Kemudian Takezo mendapat kesempatan lagi, sehingga Temma terlempar ke udara. Ia
mendarat ke dinding, mengguncangkan rumah dan segala isinya. Ketika Takezo mengangakt pedang
kayunya untuk dihantamkan ke kepala Takezo, bandit itu berkelit, langsung berdiri dan melarikan diri,
dikejar oleh Takezo.
Takezo sudah memutuskan untuk tidak membiarkan Temma lolos. Itu berbahaya. Hatinya sudah bulat.
Kalau berhasil menangkap orang itu, ia takkan setengah-tengah membunuhnya. Ia akan memastikan benar
bahwa tak ada sepenggal nafas pun tertinggal.
Itulah sifat Takezo. Ia makhluk ekstrem. Waktu kecil pun sudah ada sifat primitif dalam darahnya, sifat yang
mengingatkan orang pada prajuritu-prajurit ganas jepang kuno, sifat yang sekaligus liar dan murni. Sifat itu
tak kenal cahaya peradaban ataupun tempaan pengetahuan. Tidak kenal pula sikap lunak. Itu ciri alamiah,
suatu ciri yang membuat ayahnya tak bisa menyukai anak itu. Munisai telah mencoba dengan cara apa pun
yang khas bagi golongan militer untuk mengatasi kebuasan anaknya dengan menghukumnya keras-keras
dan sering-sering, tetapi akibatnya hanya membuat anak itu lebih liar, seperti celeng liar yang kebuasan
sejatinya muncul pada waktu ketiadaan makanan. Semakin orang kampung menghinakan pemuda kasar
itu, semakin ia bersikap seolah ia berkuasa atas mereka.
Ketika anak alam itu sudah besar, ia pun mulai bosan dengan berlagak sebagai pemilik dusun itu.
Terlampau mudah baginya mengancam orang-orang dusun yang sifatnya takut-takut. Ia mulai memimpikan
hal-hal yang lebih besar. Sekigahara telah memberikan kepadanya pelajaran pertama tentang apa
sebenarnya dunia ini. Impian-impian di masa muda porak-poranda – meski ia tak punya banyak impian.
Baginya tidak ada yang namanya merenungkan kegagalan dalam usaha ‘sejati’ yang pertama ataupun
mempertanyakan suramnya masa depan. Ia belum tahu arti disiplin pribadi, dan ia menerima seluruh
bencana berdarah itu dengan tenang saja.
Dan kini, kebetulan saja ia tertumbuk pada kakap yang sungguh besar – Tsujikaze Temma, pemimpin para
bandit! Inilah lawan yang ia hasratkan bertanding di Sekigahara.
“Pengecut!” bentaknya. “Jangan lari! Dan ayo lawan aku!”
Takezo berlari seperti kilat, melintasi lapangan yang gelap kelam, sambil meneriakkan kata-kata ejekan.
Sepuluh langkah di depannya Temma melarikan diri seperti terbang. Rambut Takezo menyapu telinganya.
Ia merasa bahagia – lebih bahagia daripada kapan pun dalam hidupnya. Makin jauh ia berlari, makin dekat
ia pada kegairahan binatang semata-mata.
Maka ia pun melompat ke punggung Temma. Darah menyembur di ujung pedang kayu itu, dan jeritan yang
membekukan darah mengoyak malam yang tenang. Tubuh bandit yang besdar dan berat itu jatuh ke bumi
dengan suara yang berdebam dan terguling. Tengkoraknya hancur, matanya lepas dari ceruknya. Dua-tiga
pukulan berat dijatuhkan lagi ke tubuh itu, dan tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.
Takezo mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya.
“Puas, Kapten?” tanyanya penuh kemenangan.
Dengan sikap acuh tak acuh, kembalilah ia ke rumah. Orang yang tidak tahu kejadian barusan akan
menyangka ia hanya keluar malam untuk jalan-jalan, sama sekali tanpa urusan di dunia ini. Ia merasa
bebas, tidak menyesal karena tahu kalau orang itu yang menang, ia sendiri akan terbaring di sana, tanpa
nyawa dan sendirian.
Dari kegelapan terdengar suara Matahachi, “Takezo, kaukah itu?”
“Ya,” jawab Takezo kering. “Ada apa?”
Matahachi berlari mendekat dan katanya sambil terengah-engah, “Aku bunuh satu! Bagaimana
denganmu?”
“Aku bunuh satu juga.”
Matahachi mengangkat pedangnya yang berlumuran darah sampai kepangan gagangnya. Sambil
melebarkan bahunya, dengan penuh kebanggaan ia berkata, “Yang lain-lain lari. Bajingan-bajingan pencuri
ini pengecut! Tak punya nyali! Cuma bias melawan mayat, ha! Ini baru perkelahian, ha-ha-ha!”
Kedua pemuda itu penuh percikan darah kental, dan mereka puas seperti sepasang anak kucing yang
makan kenyang. Sambil berkeciap senang, mereka pun menuju lampu yang tampak dari jauh. Takezo
dengan pedang berdarah, Matahachi dengan pedang yang juga berdarah.
Ebook by Kang Zusi
Seekor kuda gelandangan melongokkan kepalanya ke jendela dan melihat-lihat sekitar rumah. Dengusnya
membangunkan kedua orang yang sedang tidur. Sambil memaki binatang itu, Takezo menampar telak
hidungnya. Matahachi meregangkan badan, menguap, berucap betapa enak tidurnya.
“Matahachi sudah cukup tinggi,” kata Takezo.
“Apa kau kira sudah sore?”
“Tidak mungkin!”
Sesudah tidur nyenyak, peristiwa-peristiwa malam sebelumnya sudah terlupakan sama sekali. Untuk kedua
orang ini, yang ada hanya hari ini dan besok.
Takezo berlari ke belakang rumah dan melepas baju sampai pinggang. Sambil merundukkan badan di sisi
sungai gunung yang bersih dan sejuk itu ia memercikkan air ke wajahnya, membasahi rambutnya, dan
membasuh dada dan punggungnya. Seraya menengadah ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali,
seakan-akan mencoba mereguk sinar matahari dan seluruh udara yang ada di langit. Masih mengantuk,
Matahachi masuk ke kamar perapian. Ia mengucapkan selamat pagi kepada Oko dan Akemi dengan riang.
“He, kenapa pula kalian, wanita-wanita yang manis ini, cemberut begitu?”
“Apa betul begitu kelihatannya?”
“Ya, betul sekali. Kelihatannya seperti kalian sedang berkabung. Apa yang mesti dirisaukan? Kami telah
membunuh pembunuh suami ibu dan menghantam kaki-tangannya; mereka tidak akan lekas lupa.”
Kekecewaan Matahachi tidak sukar diterka. Semula ia pikir janda dan anak gadisnya itu akan senang sekali
mendengar berita kematian Temma. Memang malam sebelumnya Akemi bertepuk tangan gembira ketika
pertama kali mendengar tentangnya. Tetapi Oko dari semula sudah tampak tidak enak, dan hari ini, ketika
membungkuk kesal di dekat api, ia tampak lebih muram lagi.
"Ada apa dengan Ibu?" tanya Matahachi. la berpendapat Oko adalah wanita yang paling sukar disenangkan
hatinya di dunia ini. "Inilah balasannya!" katanya pada diri sendiri sambil mengambil teh pahit yang
dituangkan Akemi untuknya dan berjongkok.
Oko tersenyum lesu, iri kepada anak muda yang belum banyak mengecap asam garam kehidupan di dunia
ini. "Matahachi," katanya letih, "kau rupanya belum mengerti. Temma punya beratus-ratus pengikut."
"Tentu saja. Orang brengsek seperti dia selalu punya banyak pengikut. Kami tidak takut akan macam
orang-orang yang ikut dengan orang seperti itu. Kalau kami dapat membunuh dial kenapa kami mesti takut
kepada anak buahnya? Kalau mereka mencoba menyerang kami, Takezo dan aku akan..."
"... tak berbuat apa-apa!" sela Oko.
Matahachi membusungkan dadanya clan katanya, "Siapa bilang begitu? Datangkan mereka sebanyakbanyaknya!
Mereka tak lebih dari serombongan cacing. Atau Ibu pikir Takezo dan aku ini pengecut? Mau
merangkak mengundurkan diri? Ibu kira siapa kami ini?"
"Kalian bukan pengecut, tapi kalian kekanak-kanakan! Bahkan terhadap aku! Temma punya adik lelaki
bernama Tsujikaze Kohei, dan kalau dia datang mencari kalian, kalian berdua jadi satu pun tak akan punya
kesempatan menang!"
Ini bukan macam pembicaraan yang suka didengar oleh Matahachi, tapi sementara Oko meneruskan
pembicaraannya ia mulai berpikir barangkali Oko ada benarnya. Tsujikaze Kohei agaknya memiliki
gerombolan besar pengikut di sekitar Yasugawa di Kiso. Dan bukan hanya itu, ia ahli berkelahi dan luar
biasa mahir dalam menangkap orang yang lepas dari tangkapannya. Sebegitu jauh belum ada orang yang
dapat hidup normal sesudah Kohei secara terbuka menyatakan akan membunuhnya. Jalan pikiran
Matahachi hanyalah, kalau orang menyerang kita di tempat terbuka, itu mudah. Tapi lain sekali halnya kalau
orang itu menyerang selagi kita tidur nyenyak. ,
"Itulah kelemahanku," demikian diakuinya. "Aku tidur seperti orang mati”
Sementara duduk bertopang dagu dan berpikir, Oko pun sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada lagi
yang dapat dilakukannya kecuali meninggalkan rumah itu beserta cara hidupnya dan pergi jauh dari situ. Ia
pun bertanya pada Matahachi, apa yang hendak dilakukannya beserta Takezo.
"Aku akan membicarakannya dengan dia" jawab Matahachi. "Ke mana pula dia pergi tadi?"
Ia pun berjalan ke luar clan mencari ke sekitar situ, tapi Takezo tidak tampak di mana pun. Sejenak
kemudian ia memayungi matanya dengan tangan, memandang ke kejauhan, dan melihat Takezo sedang
menaiki kuda.

Pesta Bunga
PADA abad tujuh belas, jalan raya Mimasaka merupakan jalan utama. Jalan itu membentang dari Tatsuno
di Provinsi Harima, berkelok-kelok melewati dataran yang dalam peribahasa dilukiskan sebagai "berbukitbukit".
Seperti halnya pancang-pancang yang menandai perbatasan Mimasaka-Harima, jalan itu menelusuri
rangkaian pegunungan yang seakan tanpa akhir. Para musafir yang muncul dari Celah Nakayama biasa
memandang ke lembah Sungai Aida, dan di situ sering kali mereka terkejut melihat sebuah kampung yang
cukup besar.
Sebetulnya Miyamoto lebih tepat dinamakan perserakan dusun daripada sebuah kampung yang
Ebook by Kang Zusi
sesungguhnya. Sekelompok rumah berderet di sepanjang sisi-sisi sungai, yang lain berkerumun jauh di atas
perbukitan, dan yang lain lagi mengambil tempat di tengah dataran terbuka berbatu-batu, sehingga sukar
dibajak. Jika dilihat secara keseluruhan, jumlah rumahrumah itu cukup memadai untuk suatu pemukiman
pedesaan pada waktu itu.
Sampai kira-kira setahun sebelum itu, Yang Dipertuan Shimmen dari Iga memiliki sebuah puri, tak sampai
satu mil jauhnya dari sungai-sebuah puri kecil sebagaimana puri-puri lain, tapi puri yang memikat para
tukang clan pedagang untuk selalu datang. Lebih jauh ke utara terdapat tambang perak Shikozaka yang kini
sudah lewat zaman keemasannya, tapi dahulu pernah memiliki daya tarik bagi para penambang dan manamana.
Para musafir yang bepergian dari Tottori ke Himeji atau dari Tajima ke Bizen lewat pegunungan itu biasanya
menggunakan jalan raya tersebut, dan biasanya mereka juga singgah di Miyamoto. Miyamoto memiliki rona
eksotik sebuah kampung yang sering dikunjungi oleh penduduk yang datang dari beberapa provinsi dan
dapat membanggakan tidak hanya losmennya, melainkan juga toko pakaiannya. Rombongan perempuan
malam juga berlabuh di sana.
Leher mereka dipupur putih seperti mode waktu itu. Mereka biasa mondar-mandir di depan rumah
usahanya, seperti kelelawar putih di bawah tepi atap. Itulah kota yang ditinggalkan oleh Takezo clan
Matahachi untuk pergi berperang.
Sambil memandang puncak-puncak atap Miyamoto, Otsu duduk melamun. Ia gadis lembut, berkulit terang
clan berambut hitam mengilat, sosok tubuh dan anggota badannya indah dan kelihatan rapuh. Sosoknya itu
menyiratkan kesan kudus, hampir-hampir seperti peri. Tidak seperti gadis-gadis petani yang tegap dan
merah sehat, yang bekerja di sawah di bawah sana, gerak-gerik Otsu halus. Jalannya anggun, lehernya
jenjang dan kepalanya tegak. Kini, selagi duduk di ujung emperan kuil Shippoji, ia tampak bagai patung
porselen.
Sebagai bayi temuan di kuil gunung ini, ia punya sifat menyendiri yang jarang ditemukan pada gadis umur
enam belas tahun. Keengganannya bergaul dengan gadis-gadis lain seumurnya clan dari dunia kerja,
membuat matanya memancarkan pandangan kontemplatif dan sungguh-sungguh tajam, yang cenderung
menolak lelaki yang terbiasa dengan perempuan sembarangan. Matahachi, tunangannya, hanya satu tahun
lebih tua darinya, dan sejak ia meninggalkan Miyamoto bersama Takezo pada musim panas sebelumnya,
Otsu tidak mendengar kabar apa-apa tentangnya. Bahkan sampai bulan pertama dan kedua tahun baru ini
la merindukan berita tentang Matahachi, namun kini bulan keempat sudah dekat, dan ia tidak lagi berani
berharap.
Dengan malas pandangannya mengawang ke awan-awan, dan pelan-pelan muncullah pikiran di kepalanya.
Sebentar lagi sudah satu tahun penuh.
"Saudara perempuan Takezo pun tidak mendengar berita tentang Takezo. Bodoh aku, kalau aku
menyangka di antara mereka ada yang masih hidup." Sekali-kali ia mengucapkan kata-kata itu pada
seseorang, dengan harapan atau dengan suara dan mata mengimbau, agar orang lain itu membantahnya
dan memintanya untuk tidak berputus asa. Tapi tak seorang pun memperhatikan keluhannya. Bagi orang
kampung yang bersahaja, yang sudah terbiasa dengan pasukan Tokugawa yang menduduki kuil Shimmen
sederhana itu, tidak ada alasan lagi untuk menyimpulkan bahwa mereka masih hidup. Tak seorang pun
anggota keluarga Yang Dipertuan Shimmen pulang dari Sekigahara, dan itu wajar sekali. Mereka keluarga
samurai; mereka telah kalah. Tak akan mereka berkehendak memperlihatkan wajahnya kepada orangorang
yang mengenalnya. Tapi bagaimana dengan prajurit biasa? Apakah tidak wajar kalau mereka
pulang? Bukankah mereka sudah akan pulang lama berselang, kalau mereka memang masih hidup?
"Kenapa," demikian tanya Otsu, entah untuk keberapa kalinya, "kenapa orang-orang pergi berperang?" Kini
ia sudah bisa menikmati kesenduan duduk sendiri di emperan kuil clan merenungkan hal yang muskil itu. Ia
dapat menyendiri berjam-jam lamanya di tempat itu, tenggelam dalam angan-angan murung. Tiba-tiba ada
suara lelaki menyerbu pulau kedamaiannya. “Otsu!"
Gelandangan yang telah membangunkan mereka dengan ringkiknya itu, berputar-putar di kaki gunung,
bertelanjang punggung.
"Seperti tak ada masalah di dunia ini baginya," kata Matahachi pada diri sendiri dengan rasa iri. Dengan
tangan mencorong di depan mulut ia berseru, "Hei, Takezo! Pulang! Kita mesti bicara!"
Sesaat kemudian mereka sama-sama berbaring di rumput sambil mengunyah-ngunyah rumput,
membicarakan apa yang akan mereka lakukan kemudian.
Matahachi berkata, "Jadi, menurut pendapatmu kita mesti pulang?"
"Ya, memang begitu. Kita tak dapat tinggal dengan kedua wanita ini selamanya."
"Ya, memang tidak."
"Aku tak suka perempuan." Setidak-tidaknya itulah keyakinan Takezo. "Baik. Kalau begitu, ayo kita pergi."
Matahachi berguling dan memandang ke langit. "Sekarang, sesudah bulat pikiran kita, ingin rasanya aku
cepat-cepat pulang. Tiba-tiba aku menyadari sangat kehilangan Otsu. Sungguh aku ingin melihatnya
segera. Lihat di atas itu! Ada awan yang bentuknya seperti raut muka Otsu. Lihat! Bagian itu seperti
rambutnya sesudah dikeramas." Matahachi menjejak-jejak tanah sambil menunjuk langit.
Mata Takezo mengikuti bayangan kuda menjauh, yang baru saja dilepaskannya. Seperti kebanyakan
Ebook by Kang Zusi
pengembara yang diam di padang-padang, kuda gelandangan dianggapnya makhluk yang baik wataknya.
Apabila kita tidak membutuhkannya lagi, ia pun tidak meminta apa-apa dari kita; begitu saja ia pergi sendiri
ke tempat lain.
Dari rumah, Akemi memanggil mereka makan malam. Mereka pun berdiri.
"Ayo balapan!" teriak Takezo.
"Ayo!" Matahachi menimpali.
Akemi bertepuk tangan gembira ketika kedua pemuda itu sama-sama berlari melintasi rumput yang tinggi,
meninggalkan awan debu di belakang mereka.
Sesudah makan malam, Akemi termenung. la baru saja mendengar bahwa kedua orang itu telah
memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Sungguh menyenangkan bahwa mereka tinggal di rumah itu,
dan ia ingin hal itu berlangsung selamanya.
"Tolol kau!" umpat ibunya. "Kenapa pula kau sedih?" Oko sedang mengatur riasannya, sama rumitnya
seperti biasa. Sementara memaki anak gadisnya, ia pun menatap Takezo di dalam cermin. Takezo
menangkap pandangannya, dan tiba-tiba teringatlah ia akan bau harum tajam wanita itu ketika menyerbu ke
dalam kamarnya.
Matahachi menurunkan guci sake besar dari sebuah rak, lalu mengempaskan diri di samping Takezo dan
mulai mengisi sebuah botol pemanas
kecil, seolah-olah ia adalah tuan rumah. Karena malam itu malam terakhir, mereka merencanakan untuk
minum sepuas-puasnya. Oko pun agaknya mencurahkan perhatian khusus kepada wajahnya.
"Jangan sampai ada setetes pun yang tak terminum!" katanya. "Tak ada gunanya menyisakan sesuatu
untuk tikus-tikus di sini."
"Atau cacing-cacing!" sambut Matahachi.
Dalam waktu singkat mereka telah mengosongkan tiga guci besar. Oko menyandarkan badan pada
Matahachi dan mulai membelainya sedemikian rupa, hingga Takezo memalingkan kepala karena malu.
"Aku... aku... tak bisa berjalan," gumam Oko mabuk.
Matahachi mengawalnya ke kasurnya, sementara kepala Oko tersandar berat ke bahunya. Sampai di sana,
Oko menoleh pada Takezo dan katanya dengki, "Kau, Takezo, tidurlah sendirian. Kau suka tidur sendiri.
Betul, kan?"
Tanpa gumaman apa pun Takezo merebahkan diri asal saja. Ia sudah sangat mabuk, dan hari sudah larut
malam.
Ketika ia terbangun, hari telah tinggi. Begitu membuka mata, ia pun merasakannya. Terasa olehnya rumah
itu kosong. Barang-barang yang hari sebelumnya ditumpukkan Oko dan Akemi untuk perjalanan telah
hilang. Tidak ada pakaian, tak ada sandal-dan Matahachi pun tak kelihatan.
la memanggil, tapi tak ada jawaban, clan ia pun tidak mengharapkannya lagi. Rumah yang kosong
memancarkan suasananya sendiri. Tak ada orang di halaman, tak ada orang di belakang rumah, tak
seorang pun di lumbung. Satu-satunya jejak teman-temannya hanyalah sisir merah terang yang tergeletak
di samping mulut pipa air yang terbuka.
"Matahachi babi!" katanya pada diri sendiri.
Mencium bau sisir, kembali ia teringat bagaimana Oko mencoba menggodanya malam hari belum lama ini.
"Inilah yang mengalahkan Matahachi," pikirnya. Memikirkan hal itu saja darahnya menggelegak.
"Hai, tolol!" teriaknya keras. "Bagaimana dengan Otsu? Apa yang akan kauperbuat dengan dia? Apa tidak
sudah terlalu sering dia kautinggalkan, babi?"
Diinjaknya sisir merah itu. la ingin berteriak berang, bukan untuk diri sendiri, melainkan karena rasa kasihan
pada Otsu, yang dapat dibayangkannya dengan jelas sedang menanti di kampung sana.
Selagi ia duduk sedih di dapur, kuda gelandangan itu melongok tenang di pintu. Karena Takezo tidak
menepuk hidungnya, ia pun pergi ke meja cuci dan dengan malasnya menjilati butir-butir padi yang
menempel di sana.
Otsu menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertampang muda datang mendekati dari sumur. Orang itu hanya
mengenakan cawat yang hampir tidak dapat memenuhi fungsinya, dan kulitnya yang tertempa cuaca
berkilau seperti emas redup patung Budha. Ia biarawan Zen yang tiga-empat tahun lalu datang ke tempat
itu dari Provinsi Tajima. Sejak itu ia tinggal di kuil itu.
"Akhirnya datang musim semi," kata biarawan itu, puas pada diri sendiri. "Musim semi suatu berkah, tapi
berkah campuran. Begitu keadaan sedikit panas, kutu-kutu busuk itu pun melanda negeri. Mereka mencoba
mengambil alih negeri, persis seperti Fujiwara no Michinaga, si bangsat lihai, anak buah seorang regent."
Sebentar kemudian ia pun meneruskan monolog itu.
"Aku baru saja mencuci pakaianku, tapi di mana akan kukeringkan jubah tua yang sudah compang-camping
ini? Aku tak dapat menggantungkannya di pohon prem. Dosa besar sekali clan menghina alam, kalau aku
menutup bunga-bunga itu. Cobalah pikir, aku orang yang punya selera, tapi aku tak dapat menemukan
tempat menggantungkan jubah ini! Otsu! Pinjami aku kayu jemuran."
Wajah Otsu memerah melihat biarawan bercawat cekak itu. Ia pun berseru, "Takuan! Bapak tak bisa ke
mana-mana setengah telanjang begitu, sebelum pakaian Bapak kering!"
"Kalau begitu, aku akan tidur. Bagaimana kalau begitu?"
Ebook by Kang Zusi
"Oh, Bapak ini keterlaluan!"
Sambil mengangkat satu tangannya ke langit dan satu lagi menunjuk tanah, Takuan menirukan gaya
patung kecil Budha yang setiap tahun sekali biasa diurapi para pemujanya dengan teh khusus.
"Sebenarnya aku menanti saja sampai besok! Karena hari ini tanggal delapan, hari ulang tahun sang
Budha, aku bisa berdiri saja seperti ini dan membiarkan orang-orang menunduk hormat padaku. Kalau
mereka menuangkan teh manis ke badanku, akan kukejutkan mereka dengan menjilat bibirku." Dan dengan
wajah saleh ia pun melagukan sabda pertama sang Budha, "Di langit sana dan di bumi ini hanya aku yang
suci." •
Otsu pun tertawa geli melihat lagak Takuan yang kurang pantas itu. "Bapak betul-betul mirip, lho!"
"Tentu saja mirip. Aku ini titisan Pangeran Sidharta."
"Kalau begitu, berdiri saja baik-baik di situ. Jangan bergerak! Aku akan ambil teh untuk pengurapannya."
Pada saat itu seekor tawon menyambar kepala Takuan, dan gaya reinkarnasinya pun seketika berganti
dengan gerak tangan yang kacau. Melihat celah dalam cawatnya yang longgar itu, sang tawon menukik
lagi, dan Otsu pun tertawa terbahak-bahak. Sejak datangnya Takuan Soho, nama yang diberikan
kepadanya sesudah menjadi pendeta, bahkan bagi Otsu yang pendiam itu pun tak ada hari tanpa hiburan
berupa apa yang dilakukannya atau dikatakannya.
Namun sekonyong-konyong Otsu berhenti tertawa. "0, saya tak bisa lagi membuang-buang waktu sepezti
ini. Ada ha1-hal penting yang harus saya kerjakan:'
Sementaca ia memasukkakan kakinya yang putih kecil itu ke dalam sandal, Takuan bertanya polos,
"Kerjaan apa?"
"Kerjaan apa? Apa Bapak sudah lupa juga? Pertunjukan pantomim Bapak tadi yang mengingatkan saya.
Saya harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok. Pendeta tua menyuruh saya mengambil bunga
untuk menghias kuil bunga. Kemudian saya harus menyiapkan segalanya untuk upacara pengurapan. Dan
malam ini saya harus membuat teh manis."
"Di mana kau mengambil bunga?"
"Dekat sungai, di lapangan bawah."
"Aku akan mengawanimu."
"Tanpa pakaian?"
"Kau tak akan bisa memetik bunga secukupnya, kalau sendirian. Kau perlu bantuan. Lagi pula, manusia
dilahirkan tanpa pakaian. Ketelanjangan itu sifat alamiahnya."
"Mungkin saja, tapi saya tidak menganggap itu alamiah. Sudahlah, lebih balk saya pergi sendiri."
Dengan harapan dapat menghindar, Otsu pun bergegas memutar ke belakang kuil. Sebuah keranjang ia
sandangkan ke punggung. la ambil sebuah sabit, lalu la pun menyelinap ke luar pintu samping, tapi
beberapa saat kemudian ia sudah melihat kembali Takuan menempel di belakangnya. Sekarang ia
mengenakan kain pembalut besar, semacam yang biasa digunakan orang untuk membawa tilam.
"Apa ini lebih cocok untukmu?" serunya sambil menyeringai.
"Tentu saja tidak. Bapak kelihatan lucu. Orang bisa mengira Bapak gila." "Kenapa?"
"Entahlah. Cuma, jangan jalan di samping saya!"
"Tapi sebelum ini tak pernah rasanya kau keberatan berjalan di samping seorang pria."
"Takuan, Bapak ini betul-betul mengerikan!" la pun berlari jauh ke depan, diikuti langkah-langkah panjang
Takuan, seperti sang Budha turun dari pegunungan Himalaya. Kain pembalutnya mengepak-ngepak liar
ditiup angin.
"Jangan marah, Otsu! Kau tahu, aku hanya menggoda. Dan lagi temanteman lelakimu tak suka kalau kau
terlalu banyak cemberut."
Delapan atau sembilan ratus meter di bawah kuil itu, bunga-bunga musim semi bermekaran di kedua tepi
Sungai Aida. Otsu meletakkan keranjangnya di tanah, dan di tengah lautan kupu-kupu yang sedang
berterbangan mulailah ia mengayunkan sabitnya dengan gerakan setengah lingkaran, memotong bungabunga
itu di dekat akarnya.
Sejenak kemudian Takuan pun terpekur. "Sungguh damai di sini," desahnya, yang kedengaran religius dan
kekanak-kanakan sekaligus. "Nah, kalau kita dapat menghabiskan hidup kita di surga penuh bunga, kenapa
kita semua ini lebih suka menangis, menderita, dan tersesat dalam pusaran derita dan kemarahan, dan
menyiksa diri dalam nyala api neraka? Kuharap setidak-tidaknya kau tak usah mengalami segalanya itu."
Otsu secara berirama mengisi keranjangnya dengan bunga-bunga rumput yang kuning cemerlang, seruni,
aster, apiun, dan violet musim semi. Ia menjawab, "Takuan, daripada berkhotbah, lebih baik Bapak
waspada terhadap tawon-tawon itu."
Takuan menganggukkan kepala sambil mendesah putus asa. "Aku bukannya bicara tentang tawon, Otsu.
Aku cuma mau menyampaikan padamu ajaran sang Budha tentang nasib perempuan."
"Nasib perempuan sama sekali bukan urusan Bapak!"
"O, kau keliru! Sudah tugasku sebagai pendeta untuk mencampuri kehidupan orang banyak. Aku setuju, ini
jenis pekerjaan yang suka mencampuri urusan orang, tapi tidak lebih sia-sia daripada urusan seorang
pedagang, penjual pakaian, tukang kayu, atau samurai. Pekerjaan ini ada karena dibutuhkan."
Otsu pun melunak. "Rasanya Anda benar."
"Memang demikianlah yang terjadi selama ini. Golongan pendeta tidak bagus hubungannya dengan kaum
Ebook by Kang Zusi
perempuan, selama kira-kira tiga ribu tahun. Kau tahu, agama Budha mengajarkan bahwa perempuan itu
jahat. Iblis. Utusan neraka. Bertahun-tahun aku menggeluti kitab suci, karena itu bukan kebetulan bahwa
kau dan aku selamanya berselisih."
"Dan menurut kitab suci Bapak, kenapa perempuan itu jahat?"
"Karena dia menipu lelaki."
"Apa lelaki tidak menipu perempuan juga?"
"Ya, tapi... sang Budha sendiri lelaki."
"Apa menurut Bapak, kalau dia perempuan, keadaannya akan sebaliknya?" "Tentu saja tidak! Bagaimana
mungkin seorang iblis dapat menjadi
Budha?"
"Takuan, itu tidak masuk akal."
"Kalau ajaran agama itu hanya pikiran sehat, kita tak akan membutuhkan nabi-nabi untuk
menyampaikannya pada kita."
"Nah, itu, sekali lagi Bapak memutarbalikkan semuanya untuk keuntungan diri sendiri!"
"Komentar khas perempuan. Kenapa mesti menyerangku pribadi?"
Otsu menghentikan ayunan sabitnya lagi, wajahnya memperlihatkan sikap jemu.
"Takuan, kita hentikan saja omongan ini. Saya sedang tak senang bicara hari ini."
"Diam, perempuan!"
"Kan dari tadi Bapak yang terus bicara?"
Takuan memejamkan mata, seolah-olah mengerahkan kesabaran. "Biar kujelaskan sekarang. Ketika sang
Budha masih muda, dia duduk di bawah pohon bodhi. Iblis-iblis perempuan menggodanya siang-malam.
Dengan sendirinya dia lalu tidak menghargai tinggi perempuan. Sekalipun begitu, karena dia memang maha
pengampun, di masa tuanya dia mengambil beberapa murid perempuan."
"Karena dia sudah bijaksana atau pikun?"
"Jangan menghujat!" Takuan memperingatkan dengan tajam. "Dan jangan lupa Bodisatwa Nagarjuna yang
juga membenci-maksudku takut-pada perempuan, seperti juga sang Budha. Bahkan dia pun sampai
mengagungkan empat jenis perempuan, yaitu saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang
penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang tunduk. Berulang-ulang dia memuji kebajikan mereka itu
dan menasihatkan pada orang laki-laki untuk memperistri perempuan-perempuan jenis itu tadi."
"Saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang
tunduk.... Saya lihat Bapak sudah menyusun semua itu untuk keuntungan lelaki."
"Itu cukup wajar, bukan? Di India kuno lelaki lebih dihormati dan perempuan kurang dihormati dibandingkan
dengan di Jepang. Tapi kuminta kaudengarkan nasihat yang diberikan Nagarjuna pada perempuan."
"Nasihat apa?"
"Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, jangan kamu mengawini laki-laki..."
"Itu lucu!"
"Masih ada kelanjutannya. " Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, kawinlah dengan kebenaran."'
Otsu memandangnya dengan hampa.
"Lihat tidak?" kata Takuan sambil mengibaskan tangannya. "Kawinlah dengan kebenaran, itu berarti kau tak
boleh diberahikan semata-mata oleh makhluk hidup, tapi harus mencari yang abadi."
"Tapi, Bapak," kata Otsu tak sabar, "apa sih 'kebenaran' itu?"
Takuan menjatuhkan kedua tangannya ke samping dan memandang ke tanah. "Yah, kalau dipikir-pikir,"
katanya sambil berpikir, "aku sendiri tidak begitu yakin."
Tawa Otsu pun pecah, tapi Takuan tidak mengacuhkannya. "Ada yang aku tahu pasti. Kalau diterapkan
pada kehidupanmu, kawin dengan kejujuran artinya kan tak boleh berkeinginan pergi ke kota, melahirkan
anak-anak yang lemah dan sentimental. Kau mesti tetap di kampung, yang jadi milikmu, dan di situlah kau
mesti menelurkan anak-anak yang bagus dan sehat."
Otsu mengangkat sabitnya tak sabar. "Takuan," bentaknya jengkel, "Bapak datang kemari ini untuk
membantu saya memetik bunga atau tidak?" "Tentu saja. Karena itulah aku di sini." "Kalau begitu, jangan
berkhotbah lagi, dan pegang sabit ini."
"Baiklah, kalau kau memang tidak menginginkan bimbingan spiritual dariku, aku pun tak akan
memaksakannya padamu," katanya berpura-pura tersinggung.
"Sementara Bapak bekerja, saya akan lari ke rumah Ogin, untuk melihat apa dia sudah menyelesaikan obi
yang akan saya pakai besok."
"Ogin? Kakak perempuan Takezo itu? Aku sudah pernah melihatnya, kan? Bukankah dia pernah datang ke
kuil denganmu?" Dan Takuan pun menjatuhkan sabitnya. "Aku ikut."
"Dengan pakaian begitu?"
Takuan berpura-pura tidak mendengar. "Dia barangkali akan menyuguhi kita teh. Aku sudah haus setengah
mati."
Karena sudah capek sekali berdebat dengan biarawan itu, Otsu pun mengangguk lemah, dan bersamasama
mereka berjalan menyusuri sungai.
Ogin, seorang gadis berumur dua puluh lima; tidak lagi dianggap orang sedang mekar-mekarnya, tapi sama
sekali tidak jelek tampangnya. Walaupun para calon cenderung mundur karena reputasi adik lelakinya, tapi
Ebook by Kang Zusi
tak kurang orang yang melamarnya. Pembawaan dan pendidikannya yang baik segera tampak oleh semua
orang. la menolak semua pinangan, semata-mata karena ia ingin mengurus adik lelakinya lebih lama lagi.
Rumah yang ditinggalinya dibangun oleh ayah mereka, Munisai, ketika masih memegang tanggung jawab
latihan militer keluarga Shimmen. Sebagai hadiah atas kerjanya yang sangat baik, ia dianugerahi hak utama
menggunakan nama Shimmen. Rumah itu menghadap ke sungai, dikitari oleh tembok kotor yang tinggi,
didirikan di atas pondasi batu, dan jauh lebih besar dari yang diperlukan oleh seorang samurai biasa di
pedesaan. Dahulu rumah itu megah, tapi kini telah reyot. Bunga-bunga iris liar berkecambah dari atapnya,
dan dinding dojo, di mana Munisai dahulu biasa mengajarkan seni perang, kini terlapisi seluruhnya oleh
kotoran burung layang-layang putih.
Ketika Munisai tak disukai lagi, ia kehilangan status dan mati sebagai orang miskin. Suatu kejadian yang
bukan tidak umum di zaman yang penuh kekalutan. Segera sesudah kematiannya, para pembantunya pun
pergi, tapi karena mereka semua orang asli Miyamoto, banyak yang masih sering singgah. Apabila singgah,
mereka meninggalkan sayur-sayuran segar, membersihkan kamar-kamar yang tidak dipakai, mengisi guciguci
air, menyapu jalanan, dan dengan cara-cara lain yang tak terhitung jumlahnya mereka berusaha
memelihara rumah tua itu. Mereka juga senang mengobrol dengan anak perempuan Munisai.
Ketika Ogin yang sedang menjahit di kamar dalam mendengar pintu belakang terbuka, ia menyangka yang
datang adalah salah seorang dari bekas-bekas pembantu itu. Karena sedang tenggelam dalam
pekerjaannya, ia pun terlompat ketika mendengar Otsu menyalaminya.
"Oh," katanya. "Kamu rupanya. Bikin kaget aku saja. Aku baru menyelesaikan obi-mu. Mau kaupakai besok,
kan?"
"Betul. Ogin, aku mau mengucapkan terima kasih, karena kau sudah mau bersusah payah. Sebetulnya aku
bisa menjahitnya sendiri, tapi di kuil begitu banyak pekerjaan, sampai tak ada waktu lagi."
"O, aku senang bisa membantu. Aku punya lebih banyak waktu dari yang kubutuhkan. Kalau tak ada
kesibukan, aku mulai melamun."
Otsu mengangkat kepala, dan terlihat olehnya altar keluarga. Di atasnya menyala lilin, di atas piring kecil.
Dalam cahaya suram itu la melihat dua tulisan gelap yang dilukis sangat saksama dengan kuas. Keduanya
dilekatkan di papan, dengan sesajian air clan bunga di depannya:
Roh Shimmen Takezo yang telah pergi, Umur 17.
Roh Hon'iden Matahachi yang telah pergi, Umur sama.
"Ogin," kata Otsu resah. "Apa kau sudah mendapat kabar bahwa mereka terbunuh?"
"Ah, belum.... Tapi apa lagi yang lain dari itu? Aku sudah pasrah. Aku yakin mereka tewas di Sekigahara."
Otsu menggelengkan kepala keras-keras. "Jangan katakan itu! Bikin sial! Mereka belum mati, belum!
Kurasa mereka akan muncul hari-hari ini."
Ogin memandang jahitannya. "Apa kau mimpi tentang Matahachi?" tanyanya lembut.
"Ya, selalu. Kenapa?"
"Itu artinya dia sudah mati. Aku sendiri tidak mimpi yang lain kecuali adikku."
"Ogin, jangan bilang begitu!" Otsu pun berlari ke altar dan mencabut tulisan itu dari papannya.
"Kusingkirkan barang-barang ini. Cuma mengundang yang jelek-jelek."
Air mata melelehi wajahnya ketika la mengembus lilin itu. Tak puas dengan itu, dicengkeramnya bunga dan
mangkuk air, lalu ia berlari melintasi kamar sebelah, menuju beranda. Di sana dilontarkannya bunga itu
sejauhjauhnya clan dituangkannya air di pinggir sana. Air tumpah tepat di kepala Takuan yang sedang
jongkok di bawah.
"Aaii! Dingin!" lengking Takuan sambil melompat, dan dengan kalutnya ia mencoba mengeringkan rambut
dengan salah satu ujung kain pembalutnya. "Apa pula yang kaulakukan ini? Aku datang kemari mencari
secangkir teh, bukan mandi!"
Otsu pun tertawa sampai keluar air mata. "Maaf, Takuan. Betul-betul minta maaf. Saya tak lihat."
Sebagai tanda minta maaf, ia pun membawakan Takuan teh yang sudah dinantikannya. Ketika ia kembali
ke dalam, Ogin yang memandang tajam ke beranda itu bertanya, "Siapa itu?"
"Biarawan musafir yang tinggal di kuil. Yang kotor itu. Kau pernah melihatnya, denganku, ingat tidak? Waktu
dia sedang berjemur telungkup sambil memegang kepala, memandang ke tanah. Ketika kita bertanya
kepadanya apa yang dilakukannya, dia mengatakan kutu-kutunya sedang mengadakan pertandingan gulat.
Dia bilang dia telah melatih kutu-kutu itu untuk menghiburnya."
"0, dia!"
"Ya, dia. Namanya Takuan Soho."
"Aneh ya."
"Ya, begitulah paling tidak."
"Apa yang dipakainya itu? Kelihatannya bukan jubah pendeta."
"Memang bukan. Itu kain pembalut."
"Kain pembalut? Eksentrik. Berapa umurnya?"
"Katanya tiga puluh satu tahun, tapi kadang-kadang aku merasa seperti kakaknya; dia begitu tolol. Salah
seorang pendeta mengatakan, biarpun kelihatannya begitu, dia biarawan hebat."
Ebook by Kang Zusi
"Mungkin saja. Kita tak dapat selalu menilai orang dari tampangnya."
"Dari mana dia itu?"
"Dia lahir di Provinsi Tajima, dan mulai mempersiapkan diri menjadi pendeta ketika umur sepuluh tahun.
Kemudian dia masuk kuil sekte Zen Rinzai, kira-kira empat tahun kemudian. Pergi dari sana dia menjadi
pengikut pendeta sarjana dari Daitokuji dan melakukan perjalanan bersamanya ke Kyoto dan Nara.
Belakangan dia belajar dengan pimpinan Gudo dari Myoshinji, Itto dari Sennan, dan satu deretan panjang
orang suci lain yang terkenal. Dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk belajar!"
"Barangkali itu sebabnya dia agak lain."
Otsu melanjutkan ceritanya. "Dia diangkat menjadi pendeta tetap di Nansoji dan ditunjuk sebagai kepala
biara Daitokuji dengan maklumat Kaisar. Tak pernah aku tahu alasannya dari siapa pun. Dia sendiri tak
pernah menceritakan masa lalunya. Tapi, karena beberapa alasan, tiga hari sesudahnya dia melarikan diri."
Ogin menggelengkan kepala.
Otsu melanjutkan. "Orang bilang jenderal-jenderal terkenal seperti Hosokawa dan orang-orang bangsawan
macam Karasumaru sudah berulang-ulang mencoba meyakinkannya untuk tinggal menetap. Mereka
malahan sudah menawarkan membangun kuil untuknya dan menyumbangkan uang untuk perawatannya,
tapi dia tidak tertarik. Dia bilang lebih suka mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman
kutu-kutunya. Kurasa dia agak sinting."
"Barangkali menurut anggapannya kita ini yang aneh."
"Memang begitu yang dikatakannya." "Berapa lama dia akan tinggal di sini?"
"Mana bisa tahu? Dia biasa muncul suatu hari, dan menghilang hari berikutnya."
Seraya berdiri di dekat beranda, Takuan berseru, "Aku bisa mendengar semua yang kalian bicarakan!"
"Tapi rasanya kami tidak membicarakan yang jelek," jawab Otsu riang.
"Kalaupun kalian membicarakan yang jelek, aku tak peduli, kalau itu menghibur kalian, tapi setidak-tidaknya
kalian dapat memberiku kue manis untuk teman minum teh ini."
"Itu dia," kata Otsu. "Dia memang seperti itu sejak dulu."
"Apa maksudmu, aku seperti itu?" Mata Takuan pun berseri-seri. "Dan kau sendiri? Kau kelihatannya saja
tidak tega melukai seekor lalat, tapi tindakanmu jauh lebih kejam dan bengis daripadaku."
"O, betul begitu? Dan bagaimana saya bisa kejam dan bengis begitu?"
"Kau meninggalkan aku di luar sini tanpa daya, tanpa apa-apa kecuali teh, sedangkan kau duduk
merintihkan kekasihmu yang hilang. Kejam!"
Di kuil Daishoji dan Shippoji lonceng berdentang-dentang. Lonceng mulai berdentang selewat subuh, dan
kadang-kadang masih terdengar dentangnya sampai jauh lepas tengah hari. Pada pagi hari orang-orang
berduyun-duyun ke kuil: gadis-gadis dengan obi merah, istri-istri pedagang dengan warna kimono yang
lebih lembut, dan di sana-sini wanita tua dengan kimono warna gelap menggandeng tangan cucu-cucu
mereka. DI kuil Shippoji, ruang utama yang kecil penuh dengan umat. Tetapi para pemudanya kelihatannya
lebih tertarik mencuri-curi pandang ke Otsu daripada mengikuti upacara keagamaan ini.
"Dia ada di sini," bisik seorang pemuda.
"Semakin cantik saja," bisik pemuda lain.
Di dalam ruang itu ada sebuah kuil mini. Atapnya dari daun-daun potion jeruk dan tiang-tiangnya dililit
bunga-bunga liar. Di dalam "kuil bunga" ini ada patting Budha berwarna hitam, setinggi kira-kira setengah
meter. Tangannya yang satu menunjuk ke langit dan satunya lagi ke tanah. Patting ini berdiri di dalam
semacam baskom dari tanah liar. Orang-orang melewati patung itu sambil mengguyurkan teh manis ke
kepalanya dengan menggunakan sendok besar dari bambu. Takuan berdiri di dekatnya, membawa minyak
suci dan mengisikannya ke dalam tabung-tabung bambu kecil untuk dibawa pulang para pengunjung
sebagai pembawa berkah. Sambil menuangkan minyak ia menghimbau mereka untuk memberikan
sumbangan.
"Kuil ini miskin, maka tinggalkan sumbangan sebanyak yang Anda sanggup. Terutama Anda-anda yang
kaya. Saya tahu siapa Anda, Anda memakai sutra halus dan obi bersulam. Anda punya banyak uang. Anda
pasti punya banyak kesusahan juga. Jika Anda meninggalkan uang sebanyak lima puluh kilo, kesusahan
Anda akan berkurang lima puluh kilo juga."
Di sebelah lain kuil bunga itu, Otsu duduk menghadap meja berplitur hitam. Wajahnya memancarkan rona
merah muda, seperti bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Ia mengenakan obi baru. Ketika menuliskan
kata-kata pesona di atas kertas lima warna, ia memainkan kuas dengan terampilnya. Sekali-sekali ia
mencelupkannya ke dalam kotak tinta berlak emas di sebelah sana. la menulis:
Dengan cepat dan saksama,
Pada hari yang sebaik-baiknya ini, Yaitu tanggal delapan bulan empat, Jatuhlah hukuman bagi
Para serangga yang menghabiskan panen.
Entah sejak kapan orang di daerah ini menganggap bahwa menggantungkan sajak bernada praktis itu di
dinding akan melindungi mereka dari hama, penyakit, dan juga nasib siaL Otsu menuliskan sajak itu sudah
berpuluh kali-ya, sudah demikian seringnya, hingga pergelangan tangannya mulai berdenyut dan tulisan
Ebook by Kang Zusi
tangannya mulai mencerminkan kelelahan.
Setelah berhenti sejenak, ia pun menegur Takuan, "Hentikanlah usaha merampok orang-orang ini. Terlalu
banyak Bapak mengambil."
"Aku bicara kepada mereka yang sudah terlalu banyak harta. Itu jadi beban mereka. Itulah inti amal, yaitu
meringankan mereka dari beban," jawab Takuan.
"Dengan jalan pikiran itu, pencuri biasa pun bisa jadi orang suci semuanya."
Takuan terlalu sibuk mengumpulkan mata uang emas untuk menjawab. "Sini, sini," katanya kepada orang
banyak yang berdesak-desak. "Jangan berdesakan, pelan-pelan, antrelah. Anda sekalian akan segera
mendapat kesempatan mengosongkan pundi-pundi Anda."
"Hei, Pendeta!" kata seorang pemuda yang mendapat peringatan karena mendesakkan diri ke tengah.
"Maksud Anda saya?" kata Takuan sambil menunjuk hidungnya.
"Ya. Bapak terus menyuruh kami menunggu giliran, tapi Bapak mendahulukan perempuan."
"Saya suka perempuan sama dengan lelaki di belakangnya."
"Bapak ini mestinya salah seorang biarawan bejat yang selalu kami dengar ceritanya itu."
"Cukup, berudu! Kaukira aku tidak tahu kenapa kau di sini! Kau tidak datang untuk menghormat sang
Budha atau membawa pulang kebaikan. Kau datang untuk bisa memandang Otsu lebih jelas! Nah, akuilah
sekarang betul, kan? Tak bakal kau mendapat perempuan, kalau kau berlaku seperti orang kikir."
Wajah Otsu berubah merah tua. "Takuan, hentikan. Hentikan sekarang juga, kalau tidak, saya betul-betul
marah!"
Untuk mengistirahatkan matanya, Otsu kembali menghentikan pekerjaannya, lalu melayangkan pandang
kepada orang banyak. Tiba-tiba terpandang olehnya sesosok wajah.
Continue reading...
 

1001 cerita dunia Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice